Nayla Arensia hanyalah gadis biasa di kota Valmora hingga suatu malam, dua pria berpakaian hitam datang mengetuk pintunya. Mereka bukan polisi, bukan tamu. Mereka adalah utusan Adrian Valente, bos mafia paling kejam di kota itu.
Ayah Nayla kabur membawa hutang seratus ribu euro. Sebagai gantinya, Nayla harus tinggal di rumah sang mafia... sebagai jaminan.
Namun Adrian bukan pria biasa. Tatapannya dingin, kata-katanya tajam, dan masa lalunya gelap. Tapi jauh di balik dinginnya, tersembunyi luka yang belum sembuh dan Nayla perlahan menjadi kunci untuk membuka sisi manusiawinya.
Tapi bisakah cinta tumbuh dari ancaman dan rasa takut?
Atau justru Nayla akan hancur sebelum sempat menyentuh hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bakwanmanis#23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Kesepakatan Berdarah
Suasana vila pagi ini tidak seperti biasanya. Udara terasa lebih dingin, lebih berat. Bahkan suara burung-burung pun seolah enggan berkicau. Ada ketegangan di udara yang tak bisa dijelaskan, dan itu bukan berasal dari dalam diriku melainkan dari seluruh rumah ini.
Aku duduk di kursi kerja kecilku, mencoba mengetik laporan yang diberikan Adrian semalam. Namun, pikiranku terus terganggu oleh kalimat terakhirnya sebelum kami berpisah di balkon.
"Dan jika aku tak punya pilihan itu lagi?"
Kalimat itu terus berputar dalam pikiranku. Seolah Adrian sudah pasrah dengan jalan hidup yang dipenuhi darah dan dendam. Aku ingin percaya dia bisa berubah. Tapi apa mungkin? Seseorang yang tumbuh dalam dunia gelap seperti itu, apakah bisa keluar tanpa luka yang membunuh?
Pintu ruang kerja tiba-tiba terbuka. Adrian masuk bersama seorang pria asing. Postur tubuh pria itu tinggi, rahangnya tajam, dan sorot matanya menyeramkan. Di balik jas hitamnya, terselip gagang pistol.
“Nayla, keluar. Sekarang,” ucap Adrian tanpa melihatku.
Aku bangkit, namun tak segera pergi. Tatapan mataku bertemu dengan mata pria asing itu. Entah kenapa, ada firasat buruk yang menyelinap ke tubuhku.
Begitu pintu tertutup, aku tidak pergi jauh. Diam-diam, aku berdiri di balik dinding, mencoba mendengar pembicaraan mereka.
“Kau pikir kau bisa main bersih sekarang, Adrian?” suara pria itu dalam dan menghina. “Karena seorang gadis kecil?”
“Aku tidak sedang membahas Nayla di sini,” jawab Adrian tajam. “Aku hanya tidak ingin bekerja sama dengan bajingan sepertimu lagi, Dmitri.”
Dmitri. Aku mengenal nama itu dari berita kriminal internasional. Seorang mafia lintas negara yang dikenal kejam dan tak punya belas kasihan.
“Kau berutang darah, Valente. Dan hutang itu belum lunas.”
“Ambil yang kau mau. Tapi jangan sentuh dia,” suara Adrian lebih rendah, namun menahan kemarahan.
“Dia adalah kelemahanmu sekarang. Aku akan mencobanya suatu saat nanti, hanya untuk memastikan... kau tetap mengingat siapa yang berkuasa.”
Pintu tiba-tiba dibuka dengan kasar. Aku tersentak dan pura-pura melangkah dari arah berbeda, seolah baru datang dari dapur. Dmitri melintas di depanku, menatapku dengan senyum tipis seperti binatang buas yang mencium aroma mangsanya.
“Apa kabar, nona cantik?” katanya dengan logat asing.
Aku menelan ludah. “Baik.”
“Jaga dirimu. Dunia ini tidak selalu punya tempat untuk perempuan baik.”
Setelah dia pergi, Adrian berjalan melewatiku, tidak berkata apa pun. Tapi tatapannya cukup untuk memberiku pesan jelas: Kau tidak seharusnya mendengar semua itu.
_______
Beberapa jam setelah pertemuan itu, Adrian menghilang. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Marta pun hanya menjawab singkat, “Tuan sedang mengurus urusan penting.”
Aku mencoba tetap sibuk. Tapi otakku tidak bisa berhenti memikirkan pembicaraan tadi pagi. Kata-kata Dmitri terus menghantui:
"Dia adalah kelemahanmu sekarang."
Dan untuk pertama kalinya, aku sadar aku memang mulai menjadi kelemahan Adrian. Tapi lebih dari itu, aku juga mulai memiliki kelemahanku sendiri: perasaan yang mulai tumbuh untuk lelaki dingin, penuh luka, dan berbahaya itu.
Malam itu hujan turun deras. Aku duduk di balkon kamarku, menatap gelapnya kota Valmora dari kejauhan. Kilatan petir menyambar langit, dan gemuruhnya membuat tubuhku menggigil. Tapi lebih dari rasa dingin, aku merasa… takut.
Ketukan di pintu membuatku menoleh cepat. Adrian berdiri di sana, basah kuyup, matanya merah, dan bajunya berantakan. Di tangannya, ada luka sobek, dan darah masih menetes di lantainya.
“Ya Tuhan, kau kenapa?” Aku segera menghampirinya.
Dia tidak menjawab. Hanya menatapku lama, lalu berkata lirih, “Aku butuh tempat yang tenang.”
Aku membantunya masuk dan duduk di sofa kecil di dalam kamarku. Luka di tangannya tidak terlalu dalam, tapi cukup untuk membuatku panik.
“Kau harus ditangani. Aku... aku cari kotak P3K dulu.” Aku berdiri, tapi Adrian menarik tanganku.
“Diam di sini,” katanya pelan.
Aku menatapnya, bingung. Matanya tidak lagi penuh kebencian atau amarah. Kini yang kulihat hanyalah… kelelahan.
“Dmitri menekan aku untuk kembali ke jalur kotor. Perdagangan manusia. Senjata. Pembunuhan politik.”
“Dan kau menolak?”
Dia mengangguk.
“Kau tahu akibatnya, kan?”
Dia tertawa pendek, getir. “Tentu. Aku sudah dapat bonusnya malam ini. Luka ini... dari orang-orang Dmitri.”
Aku menunduk, mengambil kain basah dan membersihkan tangannya.
“Aku tidak tahu kenapa kau membiarkanku tetap di sini, Adrian. Tapi jika satu-satunya alasan adalah karena ayahku, kau bisa membebaskanku.”
Dia menatapku. “Kau bukan di sini karena ayahmu. Kau di sini karena aku tak bisa membiarkanmu pergi.”
Aku berhenti bergerak.
“Awalnya hanya permainan. Tapi sekarang aku... butuh kau.”
Aku ingin menertawakan kalimat itu. Butuh? Aku? Seorang mafia, pria paling berbahaya di Valmora, mengatakan bahwa dia butuh aku?
Namun matanya tak berbohong. Di balik semua kekejamannya, aku melihat seorang pria yang hanya ingin dimengerti. Yang ingin seseorang melihatnya lebih dari sekadar raja dunia hitam.
“Aku tidak bisa janjikan aku akan bertahan di dunia ini, Adrian. Tapi aku juga tidak bisa pura-pura tak peduli padamu.”
Dia tersenyum tipis.
“Aku tidak minta kau bertahan. Aku hanya ingin kau ada di sini... malam ini.”
Dan malam itu, aku membiarkannya tertidur di sofa kamarku, dengan luka yang sudah kubalut seadanya dan pikirannya yang tak kunjung tenang. Di luar, hujan masih turun. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa... mungkin aku telah menemukan badai yang sama denganku.