Sebuah kisah tentang cinta yang berubah menjadi jeruji. Tentang perempuan yang harus memilih: tetap dalam pelukan yang menyakitkan, atau berjuang pulang ke dirinya sendiri.
Terjebak di Pelukan Manipulasi menceritakan kisah Aira, seorang perempuan yang awalnya hanya ingin bermitra bisnis dengan Gibran, pria karismatik .
Namun, di balik kata-kata manis dan janji yang terdengar sempurna, tersembunyi perangkap manipulasi halus yang perlahan menghapus jati dirinya.
Ia kehilangan kontrol, dijauhkan dari dunia luar, bahkan diputus dari akses kesehatannya sendiri.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah bagaimana seseorang bisa dikendalikan, dikurung secara emosional, dan dibuat merasa bersalah karena ingin bebas.
Akankah Aira menemukan kekuatannya kembali sebelum segalanya terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nandra 999, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab - 10 Aira yang Tertinggal di Masa Kecil
Dari balik tirai tipis yang menggantung kaku di jendela kamar, aku menatap langit yang tampak gelap meski hari baru saja sore. Rasanya seperti diriku—terlihat kuat dari luar, tapi mendung di dalam.
Aku duduk di pojok tempat tidur yang tak lagi nyaman, menyelimuti tubuhku dengan selimut tipis. Sudah beberapa hari ini aku merasa lebih hening dari biasanya, bahkan suara hatiku sendiri seolah enggan berbicara.
Dan di keheningan itu, aku kembali dihadapkan pada wajah-wajah masa lalu.
Wajah ibuku. Suara ayahku. Jeritan kecil dari diriku sendiri, Aira kecil yang dulu.
“Aira, kamu tuh gak pernah benar di mata Ibu!”
“Kalau kamu gak nurut, kamu bukan anak Bapak lagi!”
Kalimat-kalimat itu mengakar dalam memoriku.
Aku tumbuh dalam rumah yang penuh bentakan, bukan pelukan.
Penuh aturan, bukan pemahaman.
Aku terbiasa ditekan.
Maka ketika Gibran datang, membawakan pujian dan perhatian yang lembut… aku jatuh dengan mudah.
Karena kupikir, itulah cinta.
“Aira, kamu itu beda. Kamu perempuan kuat. Kamu pantas lebih.”
Itu yang Gibran ucapkan waktu pertama kami bertemu, ketika semua masih manis dan aku masih percaya.
Dia menawarkan kerja sama bisnis, katanya, tapi lambat laun aku seperti karyawan yang tak bergaji—bahkan tak punya hari libur.
Dan kemudian… aku jadi perempuan yang tidak bisa pergi.
Bukan karena aku tak tahu jalan keluar.
Tapi karena setiap kali aku melangkah, Gibran menghadang dengan wajah yang tak lagi hangat.
“Kalau kamu keluar rumah sekarang, jangan pernah balik lagi. Aku anggap kamu pengkhianat.”
Kalimat yang membuatku terpaku.
Kalimat yang membuatku tetap di rumah—meski tak merasa hidup di dalamnya.
Beberapa hari lalu, aku sempat meminta izin untuk menemui teman lamaku.
"Buat apa? Kamu tuh gak waras. Nanti kamu bilang-bilang ke orang aku jahat ya?"
Aku diam. Lagi.
Padahal yang ingin kutemui cuma satu sahabat perempuan yang dulu tahu kondisiku—yang mungkin bisa bantu aku kembali kontrol ke psikiater.
Tapi Gibran menganggap itu ancaman. Seolah aku sedang mencari senjata untuk menyerangnya.
Padahal yang aku cari… cuma ruang untuk bernapas.
Aku ingat betul, terakhir kali aku konsultasi ke psikiater adalah sebelum aku benar-benar tinggal di rumah Gibran.
Aku diberi obat tidur ringan, karena saat itu aku susah tidur, banyak mimpi buruk, dan sering menangis sendiri.
Gibran tahu semua itu.
Awalnya dia seolah mendukung. Tapi setelah beberapa minggu tinggal bersamanya, dia mulai memintaku berhenti kontrol.
"Kamu gak butuh obat. Kamu cuma butuh taat sama aku. Aku ini pasanganmu, bukan dokter!" katanya.
Dan aku menuruti, karena aku pikir itu bentuk cinta.
Ternyata itu awal dari pembatasan. Awal dari dikurungnya kebebasan berpikir dan merawat diri.
Pagi ini, aku duduk di halaman belakang rumah. Tanpa alas kaki, hanya menatap tanah merah yang mulai lembab karena hujan semalam.
Ada satu suara dalam hati kecilku yang terus berkata:
“Aira… kamu harus pulang."
"Kalau suatu hari aku berhasil pergi dari rumah ini, bukan karena aku benci… tapi karena aku ingin hidup."
Di rumah ini, semuanya tentang Gibran.
Kalau aku sakit, aku salah.
Kalau aku diam, aku dianggap menyimpan dendam.
Kalau aku jujur, aku dianggap drama.
Semua berputar pada versinya.
Anak-anak laki-lakinya—yang sudah dewasa—tidak ikut campur. Tapi mereka tahu. Mereka lihat. Dan aku tahu itu dari cara mereka menunduk ketika kami bertengkar. Dari caranya pura-pura tak mendengar saat Gibran membentak di ruang tamu.
Salah satunya, si bungsu, pernah menatapku lama ketika aku duduk di tangga dapur. Tatapan yang tak bisa kuartikan—entah simpati atau hanya kebingungan. Tapi malam itu, aku menemukan sebuah catatan kecil di meja makan:
“Saya tidak buta. Saya tahu. Semoga kamu kuat.”
Air mataku jatuh. Untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa dilihat.
Bukan sebagai istri. Bukan korban. Tapi sebagai manusia yang terluka.
Tapi itu cukup, untuk membuatku tidak merasa sendirian lagi.
Sore itu, Gibran pulang.
Bersikap biasa. Bahkan sempat bercanda seperti tidak ada apa-apa.
"Kamu udah masak, kan? Aku lapar."
Dan aku menurut. Seperti biasa.
Karena aku tahu, kalau tidak, malamku akan berakhir dengan bentakan atau diam seribu bahasa.
Tapi malam itu juga aku membuat keputusan: aku akan mulai menyusun rencana keluar.
Tidak sekarang. Tapi sebentar lagi.
Aku harus menyelamatkan diriku sendiri—kalau tidak, tak ada yang akan melakukannya untukku.
Aku tahu, Gibran bukan hanya manipulatif. Dia tahu di mana titik lemahku. Dia hafal semua luka lamaku.
Dan karena itu, dia berani menyayatnya perlahan.
Air mata jatuh satu-satu, tanpa suara. Aku tidak menangis karena sedih, tapi karena aku sadar — aku ingin sembuh lagi.
Malam ini, aku menulis lagi di buku kecilku.
Aku tahu kamu dulu takut. Tapi sekarang aku di sini untukmu. Kita akan bertahan. Dan kita akan keluar dari sini. Bukan untuk membalas, tapi untuk menyembuhkan.
Ada momen saat aku berpikir untuk kabur. Naik ojek online, ke bandara, lalu cari tiket ke kota mana saja. Aku bahkan sempat membuka aplikasi, mengetik “Bandara” sebagai tujuan.
Tapi jari-jariku tak mampu menekan tombol “Pesan”.
Pikiranku dipenuhi pertanyaan: “Kalau aku kabur, siapa yang akan urus anak-anaknya? Nanti dia bilang ke semua orang aku gila. Siapa yang akan percaya padaku?”
Aku hanya bisa menghela napas dan mematikan layar ponsel.
Aku bukan hanya terjebak dalam hubungan. Aku terjebak dalam ketakutan yang dibuatnya, hari demi hari, tanpa jeda.
“Aku ingin lepas, Tuhan. Tapi aku takut kalau melepas malah membuatku mati.”
Aku gak tau entah ini cinta, ketakutan , atau trauma.
Di luar, hujan mulai turun. Tapi di dalam tubuhku badai sudah lama mengamuk.
Dan aku hanya bisa pura pura semuanya terlihat baik baik saja.
Mungkin aku terlalu terbiasa jadi korban. Mungkin aku takut sendirian. Atau… mungkin aku belum berdamai dengan masa lalu.
Aku menghela napas.
tentang bertahan karena cinta. Ini tentang bertahan karena luka. Luka yang belum sempat sembuh, sudah ditindih luka lain.
Dan aku masih di sini.
Pagi datang terlalu cepat. Sinar matahari menembus sela gorden, tapi tidak bisa menembus hatiku yang masih gelap.
Aku turun ke dapur, menyiapkan sarapan seperti biasa. Telur, nasi goreng, dan segelas teh manis. Tanganku gemetar saat menuang teh ke dalam gelas. Bukan karena air panas—tapi karena aku tahu sebentar lagi, dia akan bangun.
Dan seperti biasa, kalau dia tak suka rasa makanan, maka aku akan jadi sasaran.
Aku bahkan pernah dilempar piring hanya karena lauknya asin.
Sambil menunggu nasi matang, aku menatap pantulan wajahku di cermin kecil dekat kulkas. Ada kantung mata. Bibir pucat. Bekas luka di bawah telinga belum benar-benar hilang.
.