"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang berbunga-bunga
Di atas punggung Kaan, Murni mencoba menjaga jarak sejauh mungkin, tapi percuma saja, bahu Kaan yang lebar justru membuatnya tak punya banyak ruang untuk menghindar. Aroma sabun bercampur keringat tipis dari leher Kaan sesekali tercium samar, membuat wajah Murni memanas. Murni mencoba menahan rasa kikuknya, iapun menunduk, menyembunyikan ekspresi gugupnya di balik rambutnya yang tergerai.
"Berat nggak?” tanya Murni pelan, mencoba mencairkan suasana.
“No." Jawab Kaan singkat.
Beberapa detik hening, sampai akhirnya Kaan menambahkan dengan nada datar, “Kamu ringan. Seperti... batok kelapa.”
Murni spontan mengerutkan dahinya, “Hah?”
“Yeah, batok kelapa... yang kosong.” Kaan menoleh sedikit, seolah menanti reaksi dari Murni.
Murni menatapnya tak percaya, lalu menahan tawa. “Itu maksudnya aku kopong gitu mas?”
“No, bukan itu maksudnya,” Kaan buru-buru menjelaskan, suaranya tetap datar, tapi ekspresinya sedikit gelisah. “Batok kelapa itu kan... ringan. Dan... natural.”
Lalu Kaan bergumam dengan nada pelan, “Kayaknya, saya harus belajar cari perbandingan lain.” Dan gumaman nya itu bisa didengarkan oleh murni dengan jelas.
Murni akhirnya benar-benar tertawa lepas. “Mas Kaan... humor kamu tuh kayak sandal jepit ketinggalan di masjid.”
“Uh... kenapa?” Tanya Kaan polos.
“Garing dan bikin kesel.”
Kaan terdiam sebentar. “Tapi... nyaman dipakai.”
Murni tertawa lagi, kali ini sampai menepuk bahu Kaan tanpa sadar. Meski candaannya terdengar kaku, ekspresi dan nada bicara Kaan yang datar plus aksennya itu justru membuat semuanya terasa lebih lucu.
Dan untuk sesaat, perjalanan pulang yang berdebu itu terasa seperti kenangan manis yang tak ingin cepat berakhir.
.
.
.
Sementara itu, bu Mita tengah menjemur pakaian di halaman rumahnya. Tangan kirinya masih menggenggam baju basah yang hendak dijepitkan ke tali jemuran, ketika matanya menangkap dua sosok dari kejauhan yang perlahan berjalan mendekat ke arahnya.
Gerakan bu Mita terhenti, matanya menyipit, mencoba memastikan lebih jelas dua sosok itu. Hingga saat ia mengenali dua orang itu, perlahan senyum tipis mengembang di wajahnya.
Murni tampak duduk di punggung Kaan, sembari melingkarkan kedua tangannya di bahu pria itu, sementara Kaan berjalan dengan langkah pelan dan tenang. Sesekali mereka terlihat berbincang. Terlihat Murni tampak terkekeh, bahkan menepuk pelan punggung Kaan sambil tertawa kecil, sementara Kaan tetap dengan wajah datarnya yang khas, namun tidak tampak terganggu sedikit pun.
Senyum bu Mita semakin melebar. Entah sejak kapan, putrinya itu bisa kembali tersenyum seriang itu saat berbicara dengan seseorang. Sudah lama ia tidak melihat tawa lepas itu terdengar dari bibir Murni. Sejak insiden berapa tahun silam terjadi, hari yang takkan pernah mereka bicarakan lagi. Hari ketika Murni yang riang seketika menjadi pendiam dan tertutup.
Sesaat, kenangan samar beberapa tahun silam kembali berkelebat di benak bu Mita. Namun seperti biasa, ia buru-buru menepisnya, seolah jika terlalu lama dikenang, luka itu akan kembali terbuka.
Ia menunduk sejenak, menggenggam baju basah di tangannya lebih erat, dan dalam diam ia berdoa.
Semoga... tidak akan pernah ada kejadian seperti itu lagi. Dan semoga... putrinya itu bisa terus tersenyum ceria, seperti hari ini.
Kaan melangkah melewati pekarangan rumah, Murni kemudian mengangkat tangannya dan melambai kecil ke arah ibunya yang berdiri di dekat jemuran.
“Assalamualaikum mak… kita pulang,” ucapnya riang, meski wajahnya masih sedikit memerah karena canggung.
Kaan hanya menundukkan kepalanya dengan sopan ke arah bu Mita.
"Waalaikumsalam." Sambut bu Mita sembari menggantungkan baju terakhir ke jemuran, lalu mengusap tangannya ke rok kainnya.
Bu Mita berjalan lebih dulu masuk ke dalam rumah, begitupun dengan Kaan yang ikut masuk ke dalam. Bu Mita mengangkat alisnya karena heran, tapi juga tersenyum geli ketika melihat Murni yang belum turun juga di gendongan Kaan, padahal mereka sudah masuk ke dalam rumah.
"Kamu tuh kenapa Mur? Kayak anak kecil aja digendong segala,” ledek Bu Mita sambil berjalan pelan hendak ke dapur.
Kaan yang baru saja membuka pintu kamar Murni, akhirnya menoleh dan menjawab datar, “Murni jatuh di tempat kerja, dan.. lututnya luka.”
Seketika senyum bu Mita seketika luntur.
“Astaghfirullah… jatuh? Serius?” Bu Mita langsung ikut masuk ke dalam kamar, dan menatap cemas ke arah Kaan yang sedang membantu Murni duduk di tepi ranjang.
Murni buru-buru mengibaskan tangannya. “Ndak parah mak, Murni cuma kepleset aja… tadi juga udah diobatin.” Jelas Murni agar ibunya itu tidak kepalang khawatir.
Tapi Bu Mita sudah duduk di sisi ranjang, menyingkap pelan celana Murni yang masih menutupi lututnya. Dan saat itu juga ia melihat bekas perban dan bercak darah kecil yang masih tersisa di ujung kain.
“Kamu ini, gimana sih Mur, sampai bisa luka begini?” gumamnya cemas, dengan nada suara yang lantang seolah sedang memarahi Murni saja.
Kaan berdiri di dekat pintu, mendengar bagaimana ucapan-ucapan khawatir yang terdengar seperti memarahi yang bu Mita lontarkan kepada putrinya. Sorot mata Kaan tertuju menatap ekspresi kikuk dan juga geli dari Murni ketika dikasih wejangan agar hati-hati di tempat kerja oleh ibunya.
Setelah puas memberikan kata-kata pengingat pada Murni, bu Mita menoleh pada menantunya, “Terima kasih ya, nak Kaan. Kalau nggak ada kamu, mungkin anak ibu yang ceroboh ini udah luka parah.”
Kaan mengangguk pelan. “Saya hanya melakukan yang seharusnya.” Jawabnya singkat.
Murni menoleh sekilas ke arahnya dan tersenyum tipis, “Mas Kaan langsung lari waktu aku jatuh, sampai bekalnya tumpah semua…”
Bu Mita menoleh cepat, “Lho, jadi bekalnya belum sempat kamu makan Mur?"
Kaan menjawab pertanyaan itu dengan wajahnya yang terlihat sedikit kaku. “Yeah… tapi jatuh semua.”
Murni ikut menimpali, “Tapi isinya kayaknya masih utuh mak. Nanti Murni beresin.”
“No! Tidak usah, kamu harus istirahat,” sahut Kaan cepat, lalu berbalik ke arah pintu. “Saya bersihkan dulu. Kalau ada apa-apa bilang saya.” Tambahnya sebelum keluar dari kamar.
Begitu Kaan keluar, "Mur," panggil bu Mita, membuat Murni menoleh ke ibunya yang masih menatapnya lekat-lekat.
“Kenapa mak?” tanya Murni.
Bu Mita mendesah pelan. “Ndak ada apa-apa… cuma emak masih belum terbiasa aja lihat kamu diperlakukan kayak gitu.”
“Kayak gimana?”
“Kayak... diperhatiin,” jawab Bu Mita sambil mengelus rambut anaknya.
“Kamu memang belum lama nikah Mur, kita sekeluarga juga belum tahu banyak soal Kaan… tapi pas emak lihat cara dia memperlakukan kamu, kayaknya bule itu orang baik Mur." Ungkap bu Mita dengan jujur.
Murni tertunduk, senyumnya perlahan memudar jadi sesuatu yang lebih hangat.
“Iya mak… Murni juga ngerasa gitu, tapi semoga aja prasangka kita ini benar ya mak." Balasnya.
"Aamiin, emak selalu berdoa yang terbaik buat putri cantik emak ini." Ujar bu Mita, lalu mencubit pipi Murni.
"Ish, jangan gitu mak, sakit." Pekik Murni, "eh, tapi kayaknya ini bukan mimpi lah Mak." Ujarnya tiba-tiba.
"Ya bukan mimpi Mur, perasaan kamu aja." Balas bu Mita dengan terkekeh geli.
Ya, dia juga tahu, pasti putrinya itu masih merasa belum sepenuhnya percaya jika ia sudah menikah dan memiliki suami secara tiba-tiba.
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣