Prolog:
Claretta Fredelina Beryl adalah seorang wanita dewasa yang belum juga menikah di usianya yang ke 28 tahun.
Dan karena itu Letta sering kali di teror dengan pertanyaan "kapan nikah?" Bahkan keluarga besarnya sampai mengatur sebuah perjodohan dan kencan buta untuknya, tapi dengan tegas Letta menolaknya namun tetap saja keluarganya menjodoh-jodohkannya.
Tanpa keluarga Letta ketahui, sebenarnya Letta mencintai seorang pria namun sayangnya pria itu bukanlah pria yang berstatus lajang. Yah, Letta mencintai seorang pria yang sudah menjadi seorang suami. Meskipun Letta mencintai pria itu Letta tidak pernah memiliki niat untuk menjadi orang ketiga dalam hubungan pria itu.
Lalu bagaimana jika tiba-tiba Letta berubah pikiran? Apa yang menyebabkan Letta berani menjadi orang ketiga di rumah tangga yang harmonis itu? Yuk simak ceritanya!
Selamat Membaca Guy's!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 18 (Antara Cinta dan Kesalahan)
Happy Reading (。•̀ᴗ-)✧
⋇⋆✦⋆⋇
Setelah pernyataan mengejutkan Letta di spa tadi siang, Nyonya Ana tak henti-hentinya membombardir putrinya dengan berbagai pertanyaan.
"Apa yang kamu bilang tadi? Duda? Kamu bukan orang ketiga kan, sayang? Astaga, jangan-jangan kamu penyebab perceraian mereka!" serunya panik.
Awalnya Letta memilih mengabaikan ocehan sang Mami. Tapi semakin lama, telinganya juga panas. Hingga akhirnya ia menoleh santai dan menjawab dengan nada datar, "Emang salah kalau Letta cuma mau melindungi dia?"
Nyonya Ana langsung menghentikan langkahnya. "Apa maksud kamu?" tanyanya serius, mendekat pada Letta yang tengah duduk santai di sofa ruang keluarga, sambil menikmati segelas jus yang disediakan oleh pelayan.
Keduanya baru saja tiba kembali di mansion keluarga Beryl setelah seharian menghabiskan waktu bersama—berbelanja, spa, dan berbincang panjang lebar soal pria yang tengah mengisi hati Letta. Waktu terasa cepat berlalu hingga mereka tiba di rumah menjelang sore.
Letta meletakkan gelasnya, lalu menatap ibunya. "Letta cuma pengen membebaskan dia dari perempuan toxic itu. Salah?"
Nyonya Ana menaikkan alis. "Maksud kamu... istrinya Zidan?"
Letta langsung menggeleng. "Mantan, Mi. MANTAN. Jangan sebut dia istri Zidan lagi, karena sekarang status Zidan adalah calon suami Letta."
Nyonya Ana hanya mengangkat tangan menyerah. "Iya-iya, terserah kamu deh," katanya pasrah. "Tapi... jadi maksud kamu, mantannya Zidan itu gimana? Jahat?"
Letta menghela napas sebelum menjawab. "Nggak jahat sih, cuma... Letta nggak suka kelakuannya. Gaya hidupnya tinggi, padahal kemampuan ekonominya biasa aja. Akhirnya Zidan yang harus banting tulang buat memenuhi standar hidup mantan istrinya itu. Letta nggak tahan lihatnya."
Penjelasan Letta tampaknya mulai meluluhkan hati sang Mami. Wajah Nyonya Ana pun berubah, kini menunjukkan empati.
"Kalau begitu, Mami dukung kamu buat... ngerebut dia," ucapnya serius, tak disangka-sangka.
Letta nyaris tertawa mendengarnya. Tapi sebelum ia sempat menyahut, sebuah suara berat terdengar dari arah pintu.
"Ngerebut siapa?"
Letta dan Nyonya Ana sontak menoleh bersamaan. Di ambang pintu, berdiri Tuan Sebastian dengan ekspresi datar dan alis terangkat.
Keduanya langsung terdiam. Jantung Letta berdetak cepat, sedangkan Nyonya Ana buru-buru duduk tegak.
Wah, bisa panjang urusannya kalau Paduka Raja ini tahu rencana Letta... dan dukungan penuh dari sang Ratu, batin Letta panik.
“Eh, Papi sudah pulang,” ucap Nyonya Ana cepat, berusaha mengalihkan perhatian suaminya dari pembicaraan yang sempat ia dengar.
Tuan Sebastian melangkah masuk dengan wajah datar. Tatapannya tajam mengarah ke arah istri dan putrinya, mencerminkan satu hal: dia tahu ada sesuatu yang tidak beres.
“Apa yang kalian bicarakan tadi?” tanyanya dengan tenang, namun tegas. “Merebut? Maksudnya merebut apa?”
Letta dan Nyonya Ana saling pandang. Jantung Letta langsung berdebar kencang. Tuan Sebastian berjalan mendekat dan duduk bersama mereka, sorot matanya tak melepaskan Letta.
“Princess,” panggilnya pelan namun cukup membuat Letta siaga satu.
“Eh, iya, Pi?” sahut Letta sambil memasang senyum manis andalannya, berusaha menutupi kegugupan.
Tuan Sebastian menghela napas panjang. “Kamu tahu, Papi itu bisa membaca situasi. Jadi jangan pernah mencoba menyembunyikan apapun dari Papi.”
Letta menelan ludah, mencoba tetap tenang. Namun kalimat berikutnya membuatnya tak bisa berpura-pura lagi.
“Setelah ini, temui Papi di ruang kerja. Kita perlu bicara.”
Tanpa menunggu tanggapan, Tuan Sebastian bangkit dan berjalan pergi, meninggalkan Letta dan Nyonya Ana dalam diam.
Letta segera menoleh ke arah ibunya dengan pandangan penuh harap. “Mi... bantuin dong...” ucapnya lirih.
Namun Nyonya Ana hanya mengangkat tangan seolah menyerah. “Eh, Mami nggak mau ikut campur ya. Itu kan rencanamu sendiri.”
“Lho, tadi Mami bilang—”
“Udah, udah. Sekarang Mami mau mandi dulu. Gerah banget, seharian keliling,” potong Nyonya Ana sambil beranjak dari sofa.
Letta hanya bisa mendesah pasrah, menatap punggung ibunya yang meninggalkannya sendirian—menuju 'pengadilan' sang Papi yang terkenal tak bisa dikibuli.
Akhirnya, Letta pun ikut beranjak dari ruang keluarga. Mau tak mau, ia harus menyiapkan diri sebelum bertemu dengan sang Papi di ruang kerja. Ia melangkah ke kamarnya, menata pikiran sambil membersihkan diri.
Selama itu pula, pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan pertanyaan yang akan diajukan Tuan Sebastian, dan lebih penting lagi—jawaban apa yang harus ia berikan.
Setelah selesai bersiap, Letta berjalan menuju ruang kerja ayahnya. Di depan pintu, ia menarik napas panjang, lalu mengetuk dengan pelan.
Tok... Tok...
“Masuk,” suara Tuan Sebastian terdengar tegas dari dalam.
Dengan ragu, Letta membuka pintu dan melangkah masuk. Ia berdiri sejenak di ambang pintu, sampai suara sang Papi memanggil lagi, “Kemarilah.”
Letta melangkah pelan ke arah Papinya yang duduk di balik meja kerja, tatapannya tajam namun tidak meledak-ledak. Dalam hati, Tuan Sebastian menggeleng pelan melihat sikap Letta. Sekarang baru takut? Kemarin saat membuat rencana, ke mana nyalinya itu pergi? batinnya.
“Papi mau ngomong apa sama Letta?” tanya Letta akhirnya, mencoba membuka percakapan.
Tuan Sebastian menatap Letta lekat-lekat sebelum menjawab, “Papi rasa kamu sudah tahu apa yang ingin Papi bicarakan, Princess.”
Letta menunduk, mendesah pelan. Ia tahu, tidak ada gunanya lagi berpura-pura. Papinya sudah tahu.
“Papi tidak akan marah,” lanjut Tuan Sebastian dengan nada yang lebih tenang. “Tapi kamu harus sadar, tindakan kamu itu salah.”
Letta hanya bisa diam. Hatinya mulai terasa berat, apalagi saat melihat sorot mata ayahnya yang dipenuhi kekecewaan.
“Papi tidak tahu pasti apa alasan kamu sampai melakukan semua ini. Tapi apa pun alasannya, tidak seharusnya kamu ikut campur dalam pernikahan orang lain. Itu bukan sikap yang bisa dibenarkan.”
Letta masih terdiam. Napasnya terasa sesak.
Tuan Sebastian bersandar di kursinya, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih datar namun penuh makna, “Papi sudah mencari tahu soal calon suamimu.”
Kepala Letta terangkat sedikit, terkejut namun tak berani membantah.
“Dan Papi cukup... terkejut. Bukan hanya karena dia bukan pria lajang, tapi juga karena dia baru saja bercerai. Dan yang lebih mengejutkan lagi, kabar yang Papi dapat menyebutkan bahwa penyebab perceraian itu... adalah kamu.”
Nada suara Tuan Sebastian semakin berat di akhir kalimat itu. Tak ada amarah yang meledak, namun justru itulah yang membuat Letta merasa lebih bersalah.
“Anak satu-satunya Papi, yang selalu Papi banggakan... menjadi alasan retaknya rumah tangga orang lain.”
Letta menunduk semakin dalam. Untuk pertama kalinya, keberaniannya benar-benar diuji.
“Sekarang, jawab pertanyaan Papi,” ujar Tuan Sebastian dengan nada tenang namun tegas. “Apa alasan kamu melakukan semua ini?”
Letta menatap ayahnya sesaat, lalu berkata, “Kalau Papi sudah mencari tahu tentang Zidan, harusnya Papi juga tahu kenapa Letta melakukan ini.”
Tuan Sebastian menggeleng pelan. “Papi hanya ingin dengar langsung dari kamu, bukan dari orang lain.”
Letta menghela napas dalam. Ia tahu ini adalah saatnya untuk bicara jujur.
“Papi tahu bagaimana mantan istrinya memperlakukan Zidan, kan?” ucap Letta pelan. “Iya, mereka menikah karena cinta. Tapi selama pernikahan itu, Zidan selalu jadi pihak yang berkorban. Letta nggak tahan lihat dia terus disakiti dan dimanfaatkan.”
Ia menatap ayahnya, mencoba menunjukkan ketulusan dalam kata-katanya. “Letta mencintai Zidan, Pi. Dan Letta nggak bisa diam saja melihat orang yang Letta cintai terus-menerus menderita.”
Tuan Sebastian mengangguk pelan, lalu menjawab dengan suara yang mengandung makna dalam, “Begitupun Zidan. Dia rela menderita karena ingin membahagiakan orang yang dia cintai.”
Letta terdiam, mulai menyadari arah pembicaraan ayahnya.
“Zidan, sama seperti kamu,” lanjut Tuan Sebastian. “Dia nggak ingin melihat orang yang dicintainya menderita. Makanya, dia kerja keras, banting tulang, demi memenuhi standar hidup yang diinginkan mantan istrinya. Papi rasa kamu paham maksud Papi.”
Letta tertunduk. Perkataan itu seperti tamparan lembut bagi hatinya.
“Tapi Letta benar-benar mencintai Zidan, Pi…” sahutnya pelan.
“Pertanyaannya sekarang,” potong Tuan Sebastian sambil menatap langsung ke mata putrinya, “apa Zidan juga mencintai kamu?”
Letta tak mampu menjawab. Ia hanya terdiam, karena dalam hati ia pun belum sepenuhnya yakin.
“Kamu harus tahu, sesuatu yang dipaksakan jarang berakhir baik,” ucap Tuan Sebastian menambahkan, lembut namun tajam.
Letta menarik napas panjang. “Kalau begitu… biarkan Letta mencobanya. Kalau ternyata semua ini hanya sia-sia, biar Letta yang menanggung risikonya. Letta janji, akan mengembalikan semuanya pada tempatnya.”
Tuan Sebastian menatap putrinya dengan pandangan sulit diartikan—antara cemas, kecewa, dan bangga sekaligus. Ia tahu Letta keras kepala, tapi ia juga tahu Letta berbicara dengan hati. Dan sebagai seorang ayah, itu adalah dilema yang tak mudah dijawab.
TBC...