Jangan main HP malam hari!!!
Itu adalah satu larangan yang harus dipatuhi di kota Ravenswood.
Rahasia apa yang disembunyikan dibalik larangan itu? Apakah ada bahaya yang mengintai atau larangan itu untuk sesuatu yang lain?
Varania secara tidak sengaja mengaktifkan ponselnya, lalu teror aneh mulai mendatanginya.
*
Cerita ini murni ide penulis dan fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar itu hanyalah karangan penulis, tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.
follow dulu Ig : @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 : Baju siapa yang tertinggal di ruang tamu
Varania berjalan gontai ke dalam rumahnya, ia menatap sekeliling yang terasa sunyi dan sedikit suram. Ia melepaskan kacamata lalu meletakkan diatas meja di ruang tengah.
"Ibuu!" Panggilnya menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Sendi-sendi di tubuhnya terasa sakit, ia juga sangat lelah padahal ia hanya bertemu Vedrigo dan tidak melakukan apa-apa. Biasanya bekerja dari pagi sampai malam tidak membuatnya kelelahan.
Tidak ada sahutan. Sepertinya Matilda sedang tidak berada di rumah.
"Baju siapa ini?" Varania menarik baju panjang yang tak sengaja ia duduki, memperhatikan dengan seksama. Baju itu berwarna putih dengan renda bunga kenanga di bagian bawahnya. Tampilannya nampak kuno.
Tidak ada orang zaman sekarang yang memakai baju seperti itu, Varania mengucek matanya beberapa kali untuk memastikan penglihatannya. Tidak berubah. Itu memang baju panjang yang aneh, bukan bajunya dan juga bukan baju ibunya.
Entah hidung Varania yang terlalu sensitif atau ia sedang terlalu lelah sehingga ia bisa mencium wangi aneh dari baju tersebut.
Bukan wangi bunga, dan juga bukan bau busuk yang menusuk hidung. Baju itu seperti baru dikeluarkan setelah disimpan dalam waktu yang lama, warnanya bahkan sudah agak pudar. Baju itu sedikit lembab dan memiliki wangi aneh yang sulit didefinisikan.
"Mungkin baju ibu," meski tidak yakin, Varania meletakkan kembali baju itu di sofa kemudian ia masuk ke kamarnya.
Varania duduk di depan cermin dekat jendela, mulai menghapus makeup yang membuat wajahnya tidak nyaman.
"Kenapa tambah pucat?" Kulit Varania sedikit demi sedikit kehilangan rona aslinya, tak ada lagi semburat merah di pipinya dan binar di matanya perlahan mulai hilang.
"Apa yang harus aku lakukan?" Varania menggigit bibir bawahnya, perasaan gelisah perlahan merasuk ke dalam hatinya, bertahan disana dan menimbulkan kelelahan aneh di tubuh fisiknya.
Tidak tahan lagi, Varania menyeret kakinya ke tempat tidur, berbaring telentang disana dan berharap bisa menghilangkan rasa lelahnya.
Mata Varania terpejam, keinginannya untuk terlelap semakin kuat. Ia harus segera tidur untuk menghilangkan kelelahannya, namun sesaat lagi ia akan benar-benar tertidur sebuah firasat aneh masuk ke dalam kepalanya.
Tiba-tiba saja ia merasa terancam, ia merasa sesuatu yang berbahaya akan benar-benar terjadi jika ia tidur sekarang.
"Nggak, aku nggak boleh tidur." Varania menggigit lidahnya sampai berdarah untuk mengusir rasa kantuknya. "Shit! Sakit... astaga!" Umpat Varania bangun dari tempat tidur.
Mandi!
Ya, mungkin dengan berendam di air dingin akan membuat kelelahan itu berkurang. Menahan rasa lelah yang mendera dirinya, Varania pergi ke kamar mandi.
Di kamar mandi Varania ada bak mandi berbentuk persegi panjang, cukup untuk menampung satu orang jika berendam di dalamnya. Tanpa membuka pakaian, Varania melompat ke dalam bak mandi.
Tak
Tak
Tak
Saat sedang memejamkan mata, terdengar suara pukulan di dinding kamar mandi. Varania membuka matanya, suara itu berhenti.
"Vara, kamu dimana? Ada Celine di depan!"
"Ibuu..." Varania langsung senang mendengar suara ibunya. Ia keluar dari dari dalam bak mandi tanpa menyadari segumpal rambutnya terjatuh dan mengembang dalam air.
"Ya ampun...Vara, kamu kenapa jadi basah kuyup gini? Perasaan di luar nggak hujan deh? Kamu main air di kamar mandi?" Tanya Matilda berkacak pinggang, matanya melotot menatap Varania dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Varania tersenyum canggung, ia hanya harus menyiapkan telinga untuk mendengar Omelan ibunya karena sudah membuat air dari baju dan rambutnya berceceran di lantai.
"Kamu memakai baju basah dan berjalan di dalam rumah? Cepat ganti baju dan pel lantainya. Tapi, sebelum itu kamu temui dulu Celine." Perintah Matilda menatap tajam lalu berlalu ke dapur untuk menyimpan bahan masakan yang tadi ia beli di pasar.
---
Setelah berganti pakaian, Varania menghampiri Celine yang sudah menunggu di teras depan.
"Hai, cel." Sapanya duduk di samping Celine.
"Hai," Celine tersenyum manis, memberikan kotak paket berwarna hitam, "papa membelikan untukmu."
Senyum senang Varania langsung hilang, ia tidak suka kedekatan Sheriff Austin dengan ibunya. Ia juga tidak suka pria itu memberikan hadiah.
Rasanya penolakan Varania terhadap kepala polisi itu sudah cukup selama ini, ia menghindar dan bahkan lebih sering menganggapnya tidak ada.
"Maaf, Cel, aku nggak bisa menerimanya." Tolak Varania.
Senyum Celine pun perlahan membeku, dalam hatinya mengumpat. Berani sekali anak wanita murahan itu menolak hadiah darinya. Celine mengepalkan tangan, tidak suka penolakan Varania.
"Ambillah, papa sudah susah payah membelikan untukmu." Kata Celine setengah memasak, ia mendorong paket itu ke tangan Varania.
Varania mendesah berat, lalu mengembalikan paket itu. "Aku benar-benar tidak menyukai kedekatan ibuku dengan ayahmu, Cel. Kita berteman baik, kuharap kamu mengerti bahwa ini sulit."
Celine memang selalu mengatakan bahwa dia tinggal di kota lain bersama ibunya. Kedua orang tua Celine sudah bercerai sejak dia kecil, tapi Varania tidak bodoh untuk tidak tahu apa yang sedang ibunya dan Sheriff Austin sembunyikan, kedekatan mereka sudah lama ada.
"Kenapa? Kamu tidak mau memiliki saudari perempuan sepertiku?" Tanya Celine menyunggingkan senyum mengejek. 'kamu harus tahu, vara, keluargaku hancur karena ibumu.'
"Kita bisa menjadi saudari tanpa harus..." Varania tidak bisa melanjutkan kata-katanya, matanya terpaku ke seberang jalan. Bayangan itu kembali ada, berdiri di bawah lampu jalan dan diam seperti biasa.
"Aku harus pergi sebentar. Kamu tunggu saja di dalam," kata Varania, lalu tanpa menunggu balasan Celine, ia melangkahkan kakinya menyeberangi jalan.
Klakson mobil dan motor terdengar nyaring dan memekakkan telinga saat ia berjalan tanpa memperhatikan situasi di jalan yang sedang lumayan ramai.
"Vara, kamu gila? Jangan menyeberang seperti itu!" Teriak Celine, ia memang membenci Varania tetapi tentu tidak lebih besar daripada membenci Matilda. Celine tetap tidak ingin Varania mati konyol dengan ia sebagai saksinya.
Suara Celine teredam dengan suara klakson dan umpatan para pengendara. Varania tidak peduli, matanya fokus pada bayangan itu. Kali ini, ia harus tahu kemana bayangan itu pergi dan siapa pemiliknya.