Prediksi Karmina mengenai kehidupan Dewa--ketua OSIS di sekolahnya--serta kematian misterius seorang mahasiswi bernama Alin, justru menyeret gadis indigo itu ke dalam kasus besar yang melibatkan politikus dan mafia kelas kakap. Akankah Karmina mampu membantu membalaskan dendam Dewa dan Alin? Ataukah justru mundur setelah mengetahui bahwa sasaran mereka bukanlah orang sembarangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peringatan
"Emang lagi apes aja kita ini. Bukannya dapetin flashdisk rahasia, malah ngabisin nyawa orang. Mana si Tata ditangkap polisi lagi. Sialan emang!" gerutu Jordi, teman Dewa yang usianya terpaut lima tahun lebih tua. Semburat kekesalan tergambar jelas di wajahnya yang terdapat luka pada bagian pipi kanan.
"Udahlah, nggak usah diungkit-ungkit. Lagian, udah bener kok kita ngehabisin si Sahar. Gara-gara itu orang, bokap gue meninggal," ujar Dewa, sambil mengambil parang dan batu asahan di dapur.
"Lo masih dendam sama si Sahar?" Jordi mengernyitkan kening, lalu menyalakan rokok dengan korek di tangannya.
"Gue nggak akan berhenti sebelum lima pelaku dalang pembunuhan bokap gue dihukum," tegas Dewa, melangkah ke kamar mandi untuk mengasah parangnya.
Jordi yang baru saja mengepulkan asap dari mulutnya, berdiri di depan pintu kamar mandi sambil memperhatikan Dewa. "Gue pernah dengar dari si Bos kalau pelaku pembunuhan bokap lo itu pejabat besar. Apa itu benar?"
Dewa mengangguk. "Tadinya keluarga gue seneng, akhirnya kelima pelaku ditangkap. Tapi waktu di persidangan, mereka semua malah dibebasin karena terbukti nggak bersalah. Keparatnya lagi, preman yang udah gebukin bokap gue ngakunya nggak kenal sama lima bajingan itu. Gue makin gedeglah."
"Apa setelah itu keluarga lo ngajuin banding buat menjerat lima orang terduga pelaku?" Jordi menatap Dewa lebih serius dari sebelumnya.
"Susah, Di, apalagi lawannya orang-orang berkuasa. Mereka punya duit buat bayar pengacara bagus, sekaligus nyuap kepolisian biar kasusnya nggak diusut sampai tuntas, sedangkan nyokap gue cuma perawat biasa yang duit gajinya cuma cukup buat nutupin semua kebutuhan hidup," tutur Dewa sambil mengasah parang.
Jordi tertawa miris mendengar penjelasan Dewa. "Jadi, itu alasannya lo gabung sama si Bos buat memberantas tikus-tikus got? Hmm ... masuk akal juga," katanya mengangguk takzim, "eh, kira-kira lo tau nggak alasan bokap lo dihabisi itu apa?"
Dewa mengedikkan bahu. "Bokap nggak pernah cerita-cerita soal kerjaannya kayak gimana. Gue sama nyokap cuma dikasih tau dia bakal kerja di mana. Selebihnya, bokap cuma nyari nafkah dan jarang pulang kayak Bang Toyib."
"Bokap lo intel?" Jordi mengernyitkan kening.
Dewa berhenti sejenak, tertegun mendengar pertanyaan Jordi. Ia mengembuskan napas berat, kemudian berkata, "Selama bokap hidup, gue sama nyokap cuma tau kalau dia tuh buruh harian lepas. Tapi sejak kasus kematian bokap dibuka, gue sama nyokap kaget kalau selama ini dia tuh anggota intelkam Polri setelah dikasih tau sama Om Guruh."
Jordi mengangguk takzim. "Pantesan kalau gitu. Berarti tugas bokap lo nggak maen-maen, bahkan sampai ngelibatin pejabat segala. Kayaknya bokap lo tau soal rahasia kelima pembunuhnya, deh. Makanya dihabisi," tuturnya begitu antusias.
"Kayaknya, sih, iya. Tapi gue tetep nggak terima, walaupun bokap gue punya gelar kehormatan gugur dalam tugas," ucap Dewa, sambil membasuh parang dengan air, kemudian beranjak dari kamar mandi.
"Ya udah, sih, mau gimana lagi? Toh bokap lo nggak bakal ujug-ujug bangkit dari kubur buat balas dendam kayak di film-film horor," seloroh Jordi diiringi senyum sinis.
"Gue tau. Sekarang saatnya gue balas dendam sama keluarga mereka. Lagian, posisi gue saat ini nggak aman. Lo tau, kan, apa yang terjadi sama gue setelah si Sahar ketauan dibunuh? Kayaknya emang bener, istri si Sahar sengaja nyuruh orang buat nyerang gue karena nggak puas kalau cuma si Tata yang ditangkap polisi. Keluarga Sahar pasti ketar-ketir kalau tau gue mulai beraksi buat ngehancurin para petinggi busuk itu satu per satu," tutur Dewa, sembari mengelap parang menggunakan kain kering.
Dari arah depan rumah Dewa, Karmina bergegas masuk tanpa izin. Ia mencari-cari pemilik rumah, hingga akhirnya menemukan Jordi dan Dewa di dapur. Matanya langsung teruju pada parang yang dipegang oleh Ketos.
"Ngapain lo ke sini? Datang-datang bukannya ngucap salam, malah nyelonong masuk gitu aja. Lo itu nggak tau sopan santun, ya," cerocos Dewa memelototi Karmina.
Alih-alih menanggapi omelan Dewa, Karmina menunjuk parang di tangan lelaki itu dengan gemetar. "L-Lo ngapain pegang senjata tajam? Jangan bilang kalau lo mau ngelakuin hal aneh! Apa lo nggak takut ditangkap polisi? Ibu lo baru aja meninggal, lo malah mau bertingkah."
"Bisa nggak, sih, sekali aja lo nggak usah ikut campur urusan gue?" bentak Dewa merasa gusar, melempar parang yang baru diasahnya ke lantai.
"Siapa dia, Wa? Pacar lo?" Jordi tiba-tiba menyela.
"Kita nggak pacaran!" jawab Dewa dan Karmina secara serentak, sambil bersungut-sungut.
"Widih! Kompakan gitu," decak Jordi melongo.
Dewa menarik lengan Karmina menuju ke ruang tengah. Dilepaskannya genggaman dari tangan Karmina sambil mendorong gadis bertubuh mungil itu.
"Pergi lo dari sini! Lo nggak berhak ngurusin hidup gue! Ngerti?" hardik Dewa sambil menunjuk wajah Karmina.
"Gue nggak akan pergi sebelum lo berjanji buat berhenti ngelakuin pembunuhan lagi," bantah Karmina memelototi Dewa.
Semakin kesal, Dewa menghampiri Karmina, lalu menarik kerah bajunya. Dengan sorot mata yang tajam, lelaki itu menatap nyalang gadis menyebalkan di hadapannya, sembari mendengkus sebal. Adapun Karmina, tetap memandang Dewa tanpa berkedip, seolah menantang sang ketua OSIS.
"Yok! Ciuman! Ciuman! Ciuman!" sorak Jordi dari ambang pintu dapur sembari bertepuk tangan.
Dewa melepaskan Karmina, kemudian menoleh ke arah Jordi. "Lo bisa diem, nggak, sih? Sekali lagi bikin rusuh, gue tebas leher lo," sungutnya, sesekali menunjuk lelaki itu.
"Hehe ... maap, maap. Oke, silakan lanjutin aja. Gue mau nyeduh kopi dulu," kata Jordi cengengesan, kemudian berlalu dari pintu dapur.
Sementara Jordi menyeduh kopi, Dewa kembali menatap Karmina seraya menggerutu, "Lo tuh mau ngapain dateng ke sini? Udah gue bilang, gue nggak butuh bantuan lo! Lo itu bisanya cuma nambah beban hidup gue doang!"
"Gue pengin lo selamat, Dewa! Bisa nggak, sih, lo bertingkah wajar-wajar aja selayaknya ketua OSIS? Bayangin kalau sekolah kita kehilangan orang kayak lo. Pasti para berandalan bakal berbuat seenaknya lagi sama orang-orang lemah yang beneran pengin sekolah," terang Karmina menatap kedua mata Dewa dengan yakin.
Dewa mendesah kasar sembari mengusap rambutnya dari ubun-ubun hingga ke belakang kepala. Akibat terlalu ambisius menuntut balas dan menyelamatkan nama organisasi rahasianya di luar sekolah, ia lupa bahwa masih ada kewajiban yang tak kalah penting, yakni menjalankan tugas sebagai ketua OSIS.
"Gimana? Lo masih mau cari gara-gara di luar? Lo lebih milih jadi berandalan ketimbang pahlawan, gitu? Ayolah! Gue yakin, masih ada sisi baik dari diri lo," bujuk Karmina, memandang wajah Dewa yang mendadak kebingungan memikirkan nasib jabatannya di sekolah.
"Ya, udah deh, iya. Gue nggak bakal berulah lagi," gerutu Dewa kesal.
"Janji?" tanya Karmina memastikan.
Dari arah dapur, Jordi datang membawa segelas kopi hitam. Ia melirik sebentar ke arah Dewa, sambil sesekali memperhatikan Karmina.
"Ciyeee ... Perhatian banget, sih, lo sama Dewa," goda Jordi pada Karmina, kemudian menyenggol sikut Dewa. "Lo beruntung banget, Wa, masih ada yang perhatian sama lo, meskipun udah yatim-piatu."
"Dih! Apaan, sih?" ketus Dewa merasa risi.
Sejenak, Karmina terdiam memperhatikan Jordi yang berjalan menuju ruang tamu. Alih-alih menuntut ulang janji Dewa, gadis itu mengikuti Jordi, hingga duduk di kursi.
Jordi yang semula akan menyeruput kopi dengan tenang, seketika perhatiannya beralih pada Karmina. "Ngapain lo ngikutin gue?"
"Bang, lo nggak usah berbuat aneh-aneh, ya. Mending Abang malam ini tidur aja di rumah. Kasihan emak Abang, kalau Abang malah pulang tinggal nama," bujuk Karmina, semburat kecemasan terpancar jelas dari wajahnya yang manis nan lugu itu.
Mendengar peringatan Karmina, Dewa semakin dongkol. "Maksud lo apaan ngomong kayak gitu sama Bang Jordi?" tanya lelaki itu dengan dahi berkerut.
"Pokoknya kalian berdua nggak usah ke mana-mana. Mending diem aja di rumah. Kalian nggak mau, kan, pulang-pulang cuma tinggal nama?" jelas Karmina menatap Jordi dan Dewa secara bergantian.
"Argh! Omongan lo lama-lama makin ngawur aja! Cepetan pergi sonoh!" Dewa menarik lengan Karmina dengan kasar, kemudian mengusir gadis itu dari rumahnya. Dibantingnya pintu di depan muka Karmina, lalu lewat kaca jendela, ia memelototi gadis yang sudah berdiri di luar itu agar segera pergi.
Adapun Jordi, duduk termangu memikirkan ucapan Karmina. Sesekali, ia menyeruput kopi, sambil membayangkan betapa sedih sang ibu jika sampai kehilangan dirinya, anak bungsu yang paling disayang. Perlahan, kegelisahan mulai mengusik batin pemuda yang memiliki bekas luka di pipi itu, sehingga membuatnya tak tenang.