NovelToon NovelToon
Hantu Nenek Bisu

Hantu Nenek Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Mata Batin / TKP / Hantu
Popularitas:826
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11: Bangkitnya Sang Penjaga

Langit malam itu gelap. Awan menggumpal pekat seperti jelaga menutupi bulan. Angin berhembus kencang, membawa serta bau tanah basah dan... sesuatu yang lain. Warga desa Karangjati mulai gelisah, lebih banyak yang memilih tetap di rumah. Bahkan suara jangkrik seakan enggan berbunyi.

Namun di satu rumah paling ujung desa—rumah tua beratap genteng miring yang sebagian kusennya sudah lapuk—ada seorang lelaki tua sedang duduk bersila di ruang tamunya. Pak Bolot.

Di depannya, kotak kayu tua yang tadi dibuka kini terbuka sepenuhnya. Di dalamnya, selain keris kecil berukir, tampak beberapa benda lain—cermin hitam kecil, seuntai benang merah, dan sebutir mata kucing yang tampak membatu. Barang-barang itu sudah lama tak tersentuh. Tapi malam ini, mereka kembali dipanggil.

Di Warung Bu Warti – Malam Hari

Sementara itu, di warung Bu Warti, beberapa warga tetap ngumpul. Udin, Pedot, dan dua pemuda lain duduk di bangku panjang, wajah mereka cemas.

Udin: “Aku ora enak ati, Tot… rasa-rasane desa iki ndadak kerasa sempit. Koyo ana sing ngintip...”

Pedot: “Iya, Din. Aku tadi magrib lihat di pinggir jalan, deket pos ronda… ada bayangan tinggi. Tapi pas tak samperin, hilang.”

Udin: “Lha kok ora ngomong sira?”

Pedot: “Wong aku yo mlayu. Aku takut, Din... jujur ae... sok jago tok ki nggo gaya…”

Bu Warti: Menyela sambil membersihkan piring “Kalian jangan terlalu panik. Tapi juga jangan menyepelekan. Ki Surya belum pergi dari desa ini. Entah niatnya apa...”

Udin: Mengangguk pelan “Pak Bolot wae wis metu kotake... Iki pertanda apa maneh?”

Di Rumah Pak Bolot

Pak Bolot duduk bersila. Tangannya gemetar saat mengangkat cermin hitam.

Pak Bolot: Berbisik “Kulo nyuwun pangestu, Mbah Sastro... kulo mlebet maneh dalan iki bukan kersane dhewe... tapi demi desa... demi Surti…”

Dia mulai membaca mantra pelan. Tapi tiba-tiba, angin dalam rumah menderu kencang. Jendela tertutup sendiri, lampu redup berkedip. Cermin hitam dalam genggamannya bergetar.

Pak Bolot: Tegas “Yen pancen awakmu isih ana, Surti... munculah. Aku ora bakal lari maneh.”

Tiba-tiba, cermin itu memantulkan bayangan seorang wanita. Bukan di depan Pak Bolot, tapi di belakangnya. Seorang wanita renta dengan mulut menganga lebar—tanpa lidah—berdiri di sudut ruangan. Wajahnya pucat, bajunya koyak, dan matanya hitam legam.

Pak Bolot tak bergeming.

Pak Bolot: “Kowe dadi setan... tapi aku isih eling caramu nangis waktu aku gagal nulungi kowe... Surti... iki Bolot.”

Sosok itu menghilang perlahan. Hanya suara ratapan kecil yang tersisa.

Keesokan Paginya – Di Rumah Mbah Tejo

Pak Lutfi dan Mbah Tejo tengah menumbuk rempah di halaman, saat tiba-tiba Pak Bolot datang dengan membawa keris kecil dan cermin hitam.

Pak Bolot: “Aku siap.”

Mbah Tejo: Melongo “Wah... Pak Bolot... beneran njenengan wis bangkit maneh?”

Pak Bolot: “Iki bukan soal aku. Ini soal kita. Nenek Bisu bukan sekadar arwah penasaran. Tapi sekarang... ada kekuatan lain sing numpang. Aku kira... Ki Surya bukan dukun biasa. Dia... penarik. Makhluk-makhluk halus tertarik datang lewat dia.”

Pak Lutfi: “Kalau benar begitu, kita harus segera bertindak. Kita perlu pelindung desa. Dulu kita punya pagar ghaib di batas hutan. Tapi sekarang… sudah hilang.”

Pak Bolot: “Kita buat ulang. Malam ini, kumpulkan beberapa orang pilihan. Aku, sampeyan, Tejo, lan bocah-bocah sing gelem nulung.”

Di Pos Ronda – Malam Hari

Malam harinya, beberapa pemuda berkumpul di pos ronda. Udin membawa kentongan, Pedot bawa senter besar, Andik dan Roso bawa tombak bambu—sekadar jaga-jaga.

Pak Bolot datang dengan pakaian serba hitam. Ia tampak sepuluh tahun lebih muda malam itu.

Udin: “Pak Bolot... njenengan kayak pendekar film wayang wae...”

Pak Bolot: “Kowe ngomong opo?”

Pedot: “Ndak usah digubris, Pak. Udin itu mulutnya kaya radio rusak.”

Mereka semua tertawa kecil, meredakan tegang sejenak.

Pak Bolot: “Kita bakal ngelilingi desa, lempar bunga setaman dan rajah di tiap penjuru. Kalian jangan pisah. Satu barisan. Ngerti?”

Udin, Pedot, Andik, Roso: “Ngerti, Pak!”

Barisan kecil itu mulai bergerak. Sepanjang jalan, Pak Bolot melafalkan rajah pelindung. Suara jangkrik kembali terdengar—anehnya, semakin mereka mendekat ke batas hutan, suara alam makin hening.

Dekat Kebun Tua

Di batas kebun tempat dulu Surti alias Nenek Bisu tinggal, udara berubah drastis. Dingin menggigit. Angin berhenti. Langit seperti ditarik mendung.

Tiba-tiba…

Andik: “Pak... itu apa di sana?”

Di antara semak-semak, sesosok bayangan tinggi berdiri. Tapi bukan hanya satu. Perlahan, satu per satu, sosok-sosok hitam seperti kabut tebal mulai muncul. Tak berbentuk jelas, tapi wajah-wajah mereka tampak mengerikan.

Pak Bolot: “Wong-wong... ayo rapet! Baca doa ini bareng aku!”

Mereka mulai membaca, meski ketakutan. Tapi salah satu bayangan mulai melayang ke arah mereka. Udin gemetar.

Udin: “Pak Bolot... aku... aku pengen pulang wae…”

Pak Bolot: “Tahan, Din! Iki cobaanmu. Yen kowe lari saiki, roh-roh kuwi bakal ngikuti terus…”

Pedot: “Uwis Pak, cepetan... aku ndak pengen mati ijon!”

Pak Bolot menghunus keris kecilnya, menancapkan ke tanah, dan menaburkan bunga setaman.

Pak Bolot: “Ya Gusti, pangapunten... saiki aku njaluk pangestu kanggo ngusir roh-roh iki saka bumi Karangjati!”

Angin meledak seperti pusaran. Daun-daun beterbangan, dan sosok-sosok hitam mulai lenyap satu per satu, seperti tersedot ke dalam lubang tak kasat mata.

Setelah semuanya tenang, hanya suara nafas mereka yang tersisa.

Pak Bolot: Menatap mereka semua “Ini baru permulaan. Desa kita belum aman. Tapi malam ini... kita berhasil jaga satu batas.”

Udin: Menarik napas panjang “Pak... njenengan sakti banget. Aku wes percaya.”

Pedot: “Iyo... teryata njenengan ora bolot... cuma pura-pura...”

Pak Bolot: Tersenyum “Hehe... nek aku ora pura-pura bolot, aku ora iso nguping rahasia wong-wong desa...”

Mereka tertawa—lega tapi penuh waspada. Di balik hutan, mata lain masih mengintip.

Pagi itu, udara di Desa Karangjati tampak biasa-biasa saja. Embun masih menempel di ujung-ujung daun, ayam berkokok, dan aroma nasi liwet dari dapur warga mulai menyebar. Tapi bagi mereka yang semalam ikut ronda bersama Pak Bolot, pagi ini tidaklah biasa. Wajah-wajah mereka terlihat letih, namun juga waspada.

Di warung Bu Warti, Udin dan Pedot duduk sambil menyeruput teh hangat. Sorot mata mereka saling bertukar cerita yang tak perlu diucapkan—mereka sama-sama tahu, desa mereka sedang tidak baik-baik saja.

Udin: “Tot, sampeyan ngerasa ora? Kok aku semalam itu rasane... ada yang ngawasi dari balik pepohonan. Tapi bukan roh-roh halus... lebih ke... manungsa.”

Pedot: Mengerutkan dahi “Lha kowe ngerti sapa?”

Udin: “Ora ngerti. Tapi pas Pak Bolot ngucap rajah, aku ndelok sekilas ada bayangan orang di balik pohon aren. Bukan warga... soalnya kudungan ireng, tapi langkahnya diam.”

Pedot: “Apa jangan-jangan... Ki Surya?”

Udin: Menggeleng “Bukan. Ki Surya tinggi gede. Yang ini kecil, tapi gerakannya cepat.”

Mereka terdiam. Bu Warti yang sedang menghidangkan pisang goreng ikut nimbrung.

Bu Warti: “Dengar-dengar… katanya Pak Tejo semalam mendeteksi ada aura manusia yang 'berisi' roh gaib di tengah desa. Tapi tidak jelas siapa. Hati-hati saja.”

Sore Hari – Rumah Pak Lutfi

Pak Lutfi sedang duduk bersama Mbah Tejo dan Pak Bolot. Mereka membicarakan penguatan batas ghaib desa dan rencana memagari titik-titik rawan. Tapi percakapan mereka berubah arah ketika Mbah Tejo mendadak menatap langit-langit.

Mbah Tejo: Pelan “Loro panggonan wis bersih. Tapi satu titik... malah tambah peteng.”

Pak Lutfi: “Titik endi, Mbah?”

Mbah Tejo: “Tengah desa. Tepat di sekitar langgar tua belakang rumah Pak Raji.”

Pak Bolot berdiri cepat.

Pak Bolot: “Langgar tua itu udah lama kosong. Dulu pernah dipakai untuk ritual semedi... tapi setelah ada yang kesurupan, warga tak berani lagi mendekat.”

Pak Lutfi: “Kita perlu cek. Jangan-jangan sumber gangguan malah dari dalam desa.”

Di Rumah Pak Raji

Menjelang magrib, mereka bertiga mengunjungi rumah Pak Raji. Pria paruh baya itu menyambut mereka dengan ramah, meskipun agak kikuk.

Pak Raji: “Langgar itu memang masih berdiri, tapi tak pernah saya jamah lagi. Bahkan anak-anak saya larang main ke sana.”

Pak Bolot: “Pak, mohon ijin. Kami perlu masuk dan memeriksa.”

Pak Raji mengangguk pelan. Mereka bertiga menuju langgar tua itu. Bangunannya kecil, dinding kayu, dan atapnya sudah hampir runtuh di beberapa sisi. Aroma lembap dan lumut menyambut mereka begitu pintu digeser perlahan.

Mbah Tejo: Mengerutkan kening “Ada sesuatu di sini. Sesuatu yang bukan milik tempat ini...”

Pak Bolot menyalakan dupa dan menancapkan keris kecil ke tanah.

Tiba-tiba...

BRUK!

Suara keras dari atap membuat mereka semua mendongak. Seekor burung gagak hitam terjun masuk dan menabrak lantai, mati seketika. Darahnya muncrat ke dinding.

Pak Lutfi: Membaca ayat perlindungan pelan “Ini pertanda buruk.”

Pak Bolot: Mengangguk “Ada yang menanam sesuatu di sini. Kita harus bongkar tanah di bawah sajadah lama.”

Mereka menggali tanah tersebut, dan benar saja—sebuah kantong kain hitam ditemukan terkubur. Isinya? Campuran rambut manusia, potongan kuku, dan sebuah boneka kecil berbentuk wanita.

Pak Bolot: Membeku “Ini... santet panggilan. Yang membuat ini bukan warga biasa.”

Pak Lutfi: “Tapi siapa yang berani menaruh ini di tengah desa?”

Malam Hari – Ronda dan Gosip

Desas-desus mulai menyebar. Apalagi setelah kabar tentang temuan santet di langgar tua tersebar ke warga. Di pos ronda, Udin, Pedot, dan warga lainnya membicarakan hal itu.

Udin: “Aku curiga sama Pak Tono... akhir-akhir ini dia sering ke luar desa malam-malam.”

Pedot: “Tapi dia ramah, Din…”

Udin: “Ramah belum tentu bersih hatinya!”

Pak Suro: Orang tua yang duduk dekat “Husss, ojo suudzon. Tapi memang akhir-akhir ini ada banyak pendatang baru yang kelihatan aneh. Terutama yang tinggal di rumah warisan Bu Marni…”

Pedot: “Yang rumah pojokan deket kebun sing angker kuwi?”

Pak Suro: “Iyo. Lha wong rumah itu kosong bertahun-tahun, tau-tau ada orang dari kota ngontrak. Tapi gak pernah sapa-sapa warga. Wong ndak tau jenenge sopo…”

Udin: “Wah... kudu dilacak iki!”

Di Rumah Kontrakan Baru

Malam itu juga, Pak Bolot, Mbah Tejo, dan Pak Lutfi mendatangi rumah kontrakan tersebut. Mereka membawa air doa, dupa, dan peralatan ritual ringan.

Rumah itu gelap. Tak ada suara dari dalam. Tapi Pak Bolot mengetuk tiga kali.

Pak Bolot: “Assalamu’alaikum...”

Tak ada jawaban. Tapi dari sela jendela, mereka bisa melihat cahaya kecil. Seperti lilin. Dan bayangan seseorang duduk bersila di dalam ruangan.

Pak Lutfi: “Kita pakai cara halus. Kalau dia bukan orang biasa, dia akan keluar dengan sendirinya.”

Pak Bolot menaburkan rajah di depan pintu dan menggantungkan cermin kecil di atas gagang pintu. Lalu mereka menunggu.

Tiba-tiba, daun pintu terbuka pelan. Dari dalam, keluar seorang lelaki kurus, berkumis tipis, mata cekung.

Lelaki itu: “Kalian... mencariku?”

Pak Bolot: Waspada “Kami hanya ingin tahu... kenapa tempat ini ditanami barang santet?”

Lelaki itu: Tertawa lirih “Bukan saya yang menanam. Tapi... saya tahu siapa yang menanamnya.”

Mbah Tejo: “Siapa?”

Lelaki itu: “Orang yang selama ini kalian percaya.”

Dan dengan kalimat itu, dia menutup pintu perlahan, lalu menghilang ke dalam kegelapan rumah.

Mata di Balik Tirai

Desa Karangjati malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Udara seakan membawa bisikan, dan angin menyelinap melalui celah-celah genteng, menggoda daun-daun untuk bergoyang resah. Warga yang biasanya masih berkumpul di pos ronda atau di warung Bu Warti selepas isya, malam itu memilih cepat pulang, menutup pintu dan jendela rapat-rapat.

Pak Lutfi, Mbah Tejo, dan Pak Bolot kembali dari rumah kontrakan yang tadi mereka datangi dengan perasaan campur aduk. Kalimat terakhir lelaki asing itu masih terngiang dalam benak mereka:

"Orang yang selama ini kalian percaya."

Pagi Hari di Langgar Desa

Pak Lutfi duduk di serambi langgar, membuka lembaran kitabnya dengan jemari gemetar. Bukan karena takut—tapi karena gundah. Ia tak pernah menyangka, serangkaian gangguan di desanya bisa sedemikian rumit dan berlapis. Sementara itu, Mbah Tejo duduk di dekatnya, menyiapkan segelas air doa.

Pak Lutfi: “Mbah… sampeyan percaya orang yang selama ini kita percaya bisa melakukan ini?”

Mbah Tejo: “Orang bisa berubah, Pak Lutfi. Kadang bukan karena ingin, tapi karena desakan... dendam, atau... perjanjian.”

Pak Lutfi: Menoleh pelan “Perjanjian?”

Mbah Tejo: “Iyo. Ada tanda-tanda gaib di tubuh lelaki tadi malam. Ada garis merah tipis di bawah matanya. Itu tanda seseorang yang pernah membuka gerbang dunia lain… dan menutupnya setengah hati.”

Pak Lutfi menunduk. Firasatnya mengatakan bahwa semua ini bukan hanya tentang hantu nenek bisu. Ada kekuatan yang lebih tua dan lebih kelam yang kini bangkit. Dan yang lebih mengerikan lagi—mungkin memang diundang.

Warung Bu Warti – Siang Hari

Udin dan Pedot kembali jadi bahan tawa warga. Sejak semalam mereka ngotot ingin menyelidiki rumah kontrakan itu, tapi begitu melihat bayangan orang dari celah tirai, mereka kabur tunggang-langgang.

Udin: “Aku sumpah, Tot! Di jendela itu ada mata! Cuma sepasang mata! Gak ada wajah, gak ada badan!”

Pedot: Menyomot gorengan “Iyo, tapi aku tetep lari lebih dulu... hahaha!”

Bu Warti: Tertawa geli “Lha wong kowe berdua jago kandang. Giliran liat yang aneh-aneh, langsung mulih!”

Pak Suro: “Tapi kata tetanggaku, semalam ada suara tangis dari rumah itu. Tangis perempuan tua. Pelan... lirih... kadang di pojokan, kadang dari atap.”

Udin: Mendadak diam “Tot… ojo-jone-jone itu tangisan... nenek bisu…”

Suasana warung langsung hening.

Sore – Rumah Kontrakan, Terungkap Sebuah Nama

Pak Bolot malam itu nekad mengintai kembali rumah kontrakan itu. Kali ini ia tak sendiri. Bersama Pak Surip dan Pak Jarwo, dua warga senior yang juga penasaran, mereka menunggu di balik semak dekat pagar rumah kontrakan.

Di jendela rumah, tirai tipis bergoyang pelan. Matahari hampir tenggelam.

Pak Bolot: “Lihat... ada seseorang berdiri di balik tirai…”

Pak Surip: Mengusap dada “Aku kenal bayangan itu… mirip... mirip almarhum Pak Wiryo…”

Pak Jarwo: “Pak Wiryo sudah meninggal tujuh tahun lalu, Pak. Jangan ngawur.”

Tapi seketika, terdengar bisikan dari arah rumah…

Bisikan: “Bukan dia… tapi keturunannya…”

Pak Bolot tercekat.

Pak Bolot: “Keturunannya? Jangan-jangan… orang itu masih ada hubungan sama keluarga Pak Wiryo yang dulu pernah dituduh main ilmu hitam…”

Kilas Balik: Rumah Pak Wiryo

Tahun 1998, Pak Wiryo adalah salah satu tokoh terpandang. Namun, namanya hancur ketika istrinya ditemukan meninggal dengan luka mencurigakan dan suara tangisan gaib mulai terdengar dari rumah mereka. Mbah Tejo kala itu turut menangani kasus tersebut. Tapi karena tekanan warga dan bukti yang tidak cukup kuat, kasus itu mengendap.

Kini, rumah yang disegel itu telah dijual. Dan entah bagaimana, anak tiri Pak Wiryo—yang dulu dibawa kabur saudaranya ke kota—kembali dan menempati rumah tersebut.

Dan dialah yang kini menyewa rumah kontrakan di pojokan desa…

Malam – Pos Ronda

Udin, Pedot, dan warga lainnya berkumpul.

Udin: “Aku rasa kita perlu mengadakan musyawarah desa. Keadaan semakin aneh. Kambing Pak Slamet semalam mati mendadak dengan mata terbuka dan lidah menjulur. Mirip… mirip kematian nenek bisu waktu itu.”

Pedot: “Dan jangan lupakan... semalam Pak Suro bilang dengar suara adzan dari langgar tua, padahal tak ada satu pun yang mengaji di sana.”

Pak Jarwo: “Sudah waktunya kita bersatu. Jangan saling tuduh. Tapi... kita juga harus tahu siapa sebenarnya yang telah membuka pintu antara dunia ini dan dunia lain.”

Rencana Pengusiran dan Penyingkapan

Pak Lutfi, Mbah Tejo, dan para tokoh desa sepakat. Mereka akan mengadakan ritual pembersihan desa—pengusiran makhluk gaib dan penguatan pagar spiritual. Tapi mereka juga tahu, jika yang membuka pintu adalah manusia, maka manusia itu juga harus dihadapi.

Dan mereka kini tahu siapa sasarannya.

Malam Jumat berikutnya, mereka akan melakukan penguncian desa—ritual khusus di mana tak seorang pun boleh keluar masuk hingga fajar menyingsing.

Mbah Tejo: “Tapi ingat... malam itu, apapun yang terjadi, jangan membuka pintu, jangan menjawab panggilan, dan... jangan menatap langsung ke jendela.”

Pak Bolot: Mengangguk pelan, lalu bertanya nyaring “Lho, lha nek jendela rumahku bolong piye, Mbah?”

Semua warga: Serentak “Pak Bolot!”

1
Sokkheng 168898
Nggak sabar nunggu kelanjutannya.
BX_blue
Penuh kejutan, ngga bisa ditebak!
iwax asin
selamat datang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!