Akan selalu ada cahaya selepas kegelapan menyapa. Duka memang sudah menjadi kawan akrab manusia. Tak usah terlalu berfokus pada gelapnya, cukup lihat secercah cahaya yang bersinar di depan netra.
Hidup tak selalu mudah, tidak juga selamanya susah. Keduanya hadir secara bergantian, berputar, dan akan berhenti saat takdir memerintahkan.
Percayalah, selepas gulita datang akan ada setitik harapan dan sumber penerangan. Allah sudah menjanjikan, bersama kesulitan ada kemudahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps. 9
...بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم...
..."Lambat laun rahasia yang ditutup rapat, akan terbongkar di waktu yang tepat."...
...—🖤—...
ANGGA membaca rekam medis Zalfa dengan pikiran bercabang. Dia sangat merasa bersalah, terlebih melihat kondisi Zalfa yang tidak kunjung mengalami peningkatan. Rasa sesal begitu menggerogoti hati, terlebih saat tahu bahwa perempuan itu akan melangsungkan pernikahan.
Namun, karena keteledorannya membuat rencana indah yang sudah dirancang sedemikian rupa itu hancur berantakan. Saat ini dia hanya bisa mengharapkan sebuah keajaiban, serta berusaha semaksimal mungkin, untuk hasil terserah Allah saja. Dia sudah berpasrah serta berserah.
Suara ketukan pintu dengan dibarengi salam membuyarkan segala lamunan Angga. Dia menampilkan senyum terpaksa, seolah senang akan kedatangan sosok tersebut.
"Pintunya aku buka nggak papa, kan, Mas?" tanyanya begitu lembut.
Angga mengangguk. "Buka aja, ganjal pakai sepatu."
Perempuan bernama lengkap Shareefa Zachira itu pun mengikuti titah Angga, dan memilih berdiri sedikit jauh dari tempat Angga duduk.
"Mas Angga lagi sibuk?" tanyanya sedikit basa-basi untuk mencairkan suasana yang terasa sangat canggung.
Angga bangkit dari duduknya, tidak nyaman jika harus berbincang dari jarak sejauh ini, terlebih perempuan yang hendak dijodohkan dengan dirinya ini selalu menunduk dalam. Angga merasa bingung, seindah itukah lantai ruangannya?
"Ada apa?" tanya Angga seramah mungkin. Dia tidak ingin mencoreng nama baik kedua orang tuanya, terlebih berlaku buruk pada wanita pun tidak ada dalam kamus hidupnya.
"Kalau Mas ada waktu, Bunda sama Tante Sonya meminta kita untuk melihat resort yang mereka sewa untuk acara pernikahan kita," jawabnya terdengar sangat berhati-hati, dan sedikit ragu.
"Kapan?"
"Kalau Mas berkenan pas jam makan siang," sahutnya masih enggan melihat sang lawan bicara.
"Ya."
Angga melirik arlojinya sebentar lalu berujar, "Kita makan siang dulu, baru jalan. Nggak papa, kan?"
Shareefa hanya mengangguk sebagai respons.
Angga jalan terlebih dahulu, sedangkan Shareefa mengintil di belakangnya. Bak, anak ayam yang tengah mengikuti induknya.
"Aduhh!" pekik Shareefa saat kepalanya menabrak punggung Angga yang tiba-tiba berhenti.
Angga menarik lengan baju Shareefa agar berdiri di sisinya. "Jalan di sebelah saya, tegakkan kepala kamu. Memangnya di bawah ada apa sih, sampai suka banget kamu lihatnya?"
Shareefa langsung menjauh dari Angga dan melepaskan tangan Angga yang berada di bajunya. "Maaf, Mas, aku nggak biasa jalan berdampingan sama laki-laki yang bukan mahram."
Angga menghela napas berat. "Bunda kamu salah memilih calon menantu. Saya nggak layak untuk menjadi suami kamu."
Adaptasi dengan orang baru memang sesulit itu, terlebih jika memiliki kepribadian yang sangat bertolak belakang. Dia sudah terbiasa bersama dengan perempuan seperti Nayya yang asik, santai, dan beragama sewajarnya. Tidak seperti Shareefa, yang bisa dibilang perempuan shalihah.
"Kamu yakin mau melanjutkan perjodohan ini? Saya sangat jauh dari kata shalih, untuk salat di awal waktu saja saya belum mampu. Apalagi harus menjadi imam dari perempuan sebaik dan se-shalihah kamu," imbuh Angga karena Shareefa tak kunjung buka suara.
"In syaa allah, Mas. Nggak ada Ibu yang mau menjerumuskan anaknya pada keburukan, kita bisa sama-sama belajar. Lagi pula aku pun nggak sebaik yang Mas pikirkan," ungkap Shareefa.
Angga tak menjawab, dia lebih memilih untuk kembali memacu langkah agar segera sampai di kantin.
"Nggak papa, kan duduk semeja berdua?" tanya Angga sedikit ragu.
Dia seperti menjadi sosok yang berbeda kala bersama Shareefa. Apa pun yang hendak dilakukan harus meminta persetujuan terlebih dahulu, takut membuat Shareefa tidak nyaman.
Shareefa menatap ke sekeliling yang kebetulan tengah ramai. "Nggak papa, Mas."
"Mau makan apa? Jangan jawab terserah. Saya bingung harus pesankan makanan apa untuk kamu."
Shareefa sedikit mengulum senyum. "Minum saja, Mas, teh tawar hangat."
"Saya ajak kamu makan siang, bukan minum siang. Masa saya makan, kamu nggak," protes Angga.
Kalau bersama Nayya lain lagi ceritanya. Perempuan itu yang paling heboh dan antusias soal memilih makanan, bahkan perempuan itu juga yang selalu berusaha mencari topik pembicaraan. Tidak seperti sekarang, dia yang justru mengambil alih semuanya, karena Shareefa lebih banyak diam.
"Ehmm, apa pun makanan yang Mas pesan aku makan," jawab Shareefa pada akhirnya.
Angga menghela napas berat. "Tongseng suka?"
Shareefa mengangguk singkat.
"Mas Dokter," sapa Harini ramah.
Angga tersenyum lebar menyambut kehadiran Harini. "Duduk, Bu, makan siang bareng."
Harini menolak. "Nggak ah, nanti saya jadi nyamuk."
Shareefa yang semula menunduk langsung mendongak dan menarik lepas kedua sudut bibirnya. "Makan rame-rame lebih enak, Bu."
Harini terkekeh dan akhirnya ikut bergabung. "Masya Allah, pasangan yang serasi yah. Kalau nikah jangan lupa undang-undang saya," godanya berhasil menghadirkan semburat merah muda di pipi Shareefa.
"Ibu mau pesan apa? Biar sekalian saya pesankan," seloroh Angga berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.
"Nasi sama ayam goreng, minumnya teh tawar hangat," sahut Harini.
Angga mengangguk lantas pamit untuk memesan makanan terlebih dahulu. Meninggalkan mereka yang sudah akrab dan asik berbincang.
"Ibu sudah lama kenal Mas Angga?"
"Hampir sebulanan, semenjak calon menantu saya koma dan dirawat sama Mas Dokter," sahut Harini sebisa mungkin menampilkan senyum.
"Innalillahi, turut berduka cita yah, Bu. Semoga calon menantunya lekas pulih," ungkap Shareefa seraya mendoakan.
"Aamiin, terima kasih."
Angga kembali datang dengan membawa nampan berisi makanan yang siap mereka santap.
"Jadi merepotkan, Mas Dokter alih profesi jadi pelayan," kelakar Harini diakhiri sebuah kekehan.
Angga tertawa kecil. "Mari makan," katanya lalu melahap tongseng beserta nasi putih yang masih mengepulkan asap.
Sedangkan Shareefa dan Harini menengadahkan tangan dan berdoa terlebih dahulu. Sangat berbanding terbalik dengan kebiasaan Angga yang sudah lebih dulu tancap gas menikmati hidangan.
"Mas Dokter ini baik banget, sebelum saya dan anak saya tahu Zalfa dirawat di rumah sakit. Mas Dokter yang membiayai pengobatan Zalfa, bahkan sampai sekarang," jelas Harini agar suasana makan terasa lebih hangat, karena dua lawan bicaranya ini lebih asik berkawan geming.
"Calon menantu Ibu yang tinggi kurus dan berkerudung? Dirawat di ICU, kan?" tanya Shareefa berhasil membuat Angga tersedak.
Harini mengangguk sebagai jawaban.
"Kamu tahu dari mana, Sha?" tanya Angga.
Shareefa meminum teh tawarnya sejenak lantas berucap, "Beberapa kali aku pernah lihat Mas Angga di ruangan itu. Lagi visit, kan?"
Angga menelan ludah susah payah. "Iya," singkatnya.
"Mas Dokter ini baik banget, siap siaga merawat Zalfa. Saya sangat berterima kasih atas itu," tutur Harini begitu tulus.
"Itu sudah menjadi tugas dan kewajiban saya, Bu."
"Pasien lebih penting, bukan begitu, Mas?"
Pertanyaan yang Shareefa layangkan justru membuat Angga panas dingin. Dia tak bisa buka suara, selain mengangguk singkat.
Angga menaruh curiga, bahwa Shareefa mengetahui sesuatu yang seharusnya tidak dia ketahui. Dan Angga cemas akan hal itu.
...🖤SEE YOU NEXT CHAPTER🖤...
love sekebon🥰