NovelToon NovelToon
Tergila-gila Padamu

Tergila-gila Padamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: dochi_19

Benarkah mereka saling tergila-tergila satu sama lain?

Safira Halim, gadis kaya raya yang selalu mendambakan kehidupan orang biasa. Ia sangat menggilai kekasihnya- Gavin. Pujaan hati semua orang. Dan ia selalu percaya pria itu juga sama sepertinya.

...

Cerita ini murni imajinasiku aja. Kalau ada kesamaan nama, tempat, atau cerita, aku minta maaf. Kalau isinya sangat tidak masuk akal, harap maklum. Nikmati aja ya temen-temen

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dochi_19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

si gadis bermasalah

"Safira hari ini gak masuk?" tanya Aditya seraya menjatuhkan pantatnya di kursi sebelah Gavin. Nampan yang berisi makanan ia letakkan di atas meja.

"Gak," jawab Gavin. Tangan kanannya menyuap lauk tapi matanya fokus pada layar ponsel di tangan kirinya.

"Yah, sayang banget, ya. Kalau Safira ada pasti lebih seru," ujar Lisa yang juga ikut makan siang di meja itu bersama kekasihnya Reza.

"Ada bagusnya, sih. Gue gak bakalan jadi kambing congek di sini." Aditya menanggapi.

"Makanya cari pacar sana!" seru Lisa. Dia terkekeh.

"Maaf, ya. Yang ngantri itu banyak, cuma gue masih pilih-pilih."

"Bilang aja gak laku-laku."

Reza mengabaikan Aditya dan Lisa yang masih adu mulut. Fokusnya beralih pada Gavin yang sibuk dengan ponsel. "Grafik itu bukan tugas sekolah, kan?"

Gavin mengangguk. "Ya, ini data grafik kantor."

"Ada masalah di kantor?"

"Nggak. Ini data perusahaan Halim."

Reza terkejut. Bahkan Aditya dan Lisa pun langsung diam. Ketiganya menatap Gavin.

"Jadi, Halim Grup udah milik kamu?" Aditya bertanya.

"Belum."

Ketiganya pun dibuat takjub dengan jawaban optimis Gavin. Seolah ucapannya akan menjadi nyata dalam beberapa tahun ke depan.

"U-um, maaf..."

Aditya menoleh pada sumber suara, yang ternyata Maura. Reza dan Lisa juga ikut menatap penasaran.

"Aku mau balikin ini punya Gavin." Maura menyodorkan iPad di tangannya.

Gavin pun keluar dari fokusnya lalu mengambil kembali iPad miliknya. Dia melupakan itu semalam dan baru ingat tadi pagi. Untung saja datanya sudah ia hapus dan salin ke alamat e-mail utama.

"Makasih."

"Iya, sama-sama." Maura tersenyum.

Lisa menatap curiga lalu bertanya, "siapa kakak ini?"

"Aku Maura. Maaf aku tidak menyadari ada junior di sini. Sepertinya aku juga belum memperkenalkan diri pada kalian berdua." Maura menatap Aditya dan Reza.

"Nggak usah sungkan. Ayo duduk!" Aditya menarik Maura duduk di sebelahnya.

"Emang gak masalah aku ikut kalian?" tanya Maura seraya melirik Lisa dan Reza yang seperti risih dengan keberadaanya. Sedangkan Gavin sibuk bersama iPad.

"Gak kok, santai aja," jawab Aditya.

"Jadi, kak Maura ini kelas 3?" Lisa bertanya. Matanya menilai penampilan Maura.

"Iya. 3-F."

Lisa melotot. "Kelas F?"

"I-iya." Maura sedikit minder apalagi Lisa menatapnya dengan intens.

"Emang kenapa kalau kelas F? Jangan salah ya, Maura ini pintar. Buktinya dia ikut perlombaan bareng Gavin." Aditya membela Maura membuat gadis itu menatapnya seolah berkata berterima kasih.

Lisa tersenyum kikuk. "Maaf kak, aku gak bermaksud kasar. Kakak tahu sendiri 'kan rumor yang beredar soal kasta di sekolah ini."

Maura tersenyum. "Kamu tenang aja, aku maklum dengan sifat keturunan orang kaya seperti kalian. Lagian aku juga yang gak tahu malu duduk dengan kelas A."

"Udah dong, jangan bahas itu mulu. Kita kan sama-sama murid di sekolah ini, jadi bebas bergaul dengan siapa saja." Reza menengahi.

"Makasih ya kalian semua."

Lisa dan yang lain tersenyum. Terkecuali Gavin yang masih sibuk dengan dunianya sejak awal. Lalu Gavin pun kembali ke dunia nyata.

"Maura nanti sore kita diskusi, ya."

"Tapi aku ada kerja sampingan."

Gavin mengerutkan dahi. Memusatkan perhatian mutlak pada Maura, ia bertanya dengan bingung, "Bukannya kamu kerja malam?"

Semua orang di meja itu mulai tertarik setelah Gavin menyebut 'kerja malam'. Pikiran mereka berkelana.

"Malamnya aku kerja di sana. Sore aku kerja di restoran yang waktu itu kita ketemu."

"Kamu itu robot, ya? Apa gak ada waktu kosong? Aku gak bisa kalau di hotel."

Tiga orang di sana melotot kaget. Mereka berasumsi Gavin bertemu Maura di 'hotel' dan 'melakukan pekerjaan'.

"T-tunggu dulu. Ini maksud kalian apa, sih?" Lisa akhirnya bertanya.

"Kalian ngapain di hotel?!" Aditya lebih heboh. Untung meja mereka lebih private, tidak dekat dengan yang lain.

Maura yang langsung mengerti segera menjelaskan, "ini bukan seperti yang kalian bayangkan. Aku bekerja sebagai pelayan di restoran hotel."

Tiga orang itu mengangguk dan bergumam mengerti secara bersamaan.

"Jadi kapan kita bisa ketemu?" Gavin bertanya to the point. Menatap Maura yang duduk di depannya dengan serius.

Maura pun gugup. "A-aku usahakan selesai lebih cepat."

"Bagus, aku jemput nanti."

Maura pun mengangguk.

.

.

Safira terbangun dengan badan yang bermandikan keringat. Karena kondisinya tidak baik semalam, jadi ia izin sekolah di hari perdana Masa Orientasi. Meskipun tidak diperbolehkan ikut tapi ia penasaran ingin sekedar melihat. Setelah tadi pagi minum obat, ia tidur dan bangun siangnya. Badannya sudah jauh lebih baik sekarang. Ia pun memutuskan untuk mandi. Ia sengaja tidak mandi berlama-lama takut kedinginan lalu besoknya tidak bisa sekolah lagi. Setelah berganti pakaian, ia duduk santai di sofa yang menghadap langsung pada kaca mengarah ke balkon. Ibunya nanti pasti marah. Memikirkannya saja membuat ia bad mood. Dia mengambil ponsel yang sebelumnya di simpan di meja samping tempat tidur.

SafHalim : kamu lagi di mana? Udah pulang sekolah?

Gavin tak kunjung membalas pesannya. Mungkin masih di sekolah, pikirnya. Tapi lama-lama ia bosan juga. Tiba-tiba ada pesan masuk. Setelah dilihat ternyata bukan Gavin pengirimnya.

Lisa : Safira kamu di rumah?

SafHalim : Iya, ada apa?

Lisa : Aku mau nengokin kamu

SafHalim : Kamu ke sini aja. Aku kirim lokasinya

Lisa : Udah di depan 😁

SafHalim : Hah?

Safira pun langsung memanggil bi Surti lewat telepon di kamarnya. Setelah menunggu ternyata benar saja Lisa sudah ada di rumahnya. Sekarang di kamarnya tersenyum lebar.

"Gimana bisa cepet banget?" tanya Safira seraya membawa Lisa masuk ke dalam.

"Aku tanya dulu alamat kamu sama kak Gavin," jawab Lisa. Safira mengangguk.

Lisa menatap kamar Safira. "Wah, Safira banget."

Kamar dengan nuansa earth tone itu begitu sederhana tapi nyaman di mata Lisa. Berbeda dengan kamarnya yang bernuansa pink dan ada banyak koleksi barang lucu. Sedangkan kamar Safira begitu rapih dan memukau.

"Emang aku gimana?" Safira duduk di kasurnya.

"Simple dan menawan." Lisa duduk di sebelahnya.

Safira terkekeh. "Kamu bisa aja."

Tapi sesuatu menarik perhatian Lisa. Kubikel seperti lemari ada di sana. Tidak cocok dengan kamar Safira. Dan sepertinya bukan permanen.

"Apa itu?" tanya Lisa mengusir rasa penasarannya.

"Ah, sebelum ujian aku belajar di sana. Tapi nanti juga dipindahkan," jawab Safira.

"Orang pintar emang beda, ya."

Safira teringat sesuatu. "Oh ya, apa kak Gavin belum pulang?"

"Tadi sih udah. Begitu acara selesai terus aku nungguin Reza, gak lama kelas 3 juga bubar. Emang kenapa?"

Safira menggeleng. "Gak. Cuma nanya aja."

"Gimana keadaan kamu? Mendingan?"

"Ya, jauh lebih baik. Mau nonton gak?"

"Kamu 'kan masih sakit."

Safira nyengir. "Aku punya bioskop sendiri."

"Wah, ayo kalau gitu."

Mereka pun pergi menonton.

.

.

Gavin baru saja memarkirkan mobilnya di restoran cepat saji tempat Maura bekerja. Dia membuka ponselnya lalu mengabari Maura untuk menemuinya di parkiran. Lalu matanya berfokus pada pesan dari Safira.

GavinP : Aku masih ada tugas. Nanti aku kabarin lagi

Tidak butuh waktu lama bagi Safira untuk membalasnya.

SafHalim : Oke, aku tunggu anak pintar

GavinP : Siap, nona manis 😘

SafHalim : Dilarang menggoda 😠

GavinP : Kenapa?

SafHalim : Kan kamunya gak ada di sini, kalau aku pengen gimana?

GavinP : Itu sih resiko kamu 😂

SafHalim : 😡

Gavin memutuskan mengerjai Safira dengan tidak membalas pesannya lagi. Dia ingin melihat ekspresi kesal itu nanti malam. Memikirkannya saja sudah membuat ia tersenyum. Dia melihat lagi ke arah restoran siapa tahu Maura sudah selesai dan sedang mencari mobilnya. Tidak jauh dari sana ada Maura bersama tiga orang pria berbadan besar juga berwajah sangar. Sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu. Ia pun memutuskan menghampiri mereka.

"A-aku belum dapat gaji, jadi tidak bisa membayar kalian." Maura berkata sambil terus menunduk.

"Gue gak mau tahu. Kewajiban lo itu cuma harus bayar. Sini! Lo punya duit berapa?" Pria itu berusaha merampas tas milik Maura yang di dalamnya ada laptop. "Nah, ini lo punya barang bagus."

"Jangan! Ini untuk sekolah. Satu-satunya yang aku punya." Maura berusaha mempertahankan tas miliknya. Tapi sayang kedua tangannya langsung dicekal oleh dua orang pria lainnya.

"Aku mohon. Aku janji akan bayar kalian setelah gaji cair. Jangan ambil itu!" Maura tanpa sadar sudah menangis dan memohon.

Pria itu menoyor kepala Maura. "Orang miskin kayak lo jangan sok sekolah di tempat mahal. Lebih baik kerja buat bayar hutang. Miskin aja belagu."

Ketiga pria itu kemudian tertawa.

"Berhenti!"

Gavin tiba di sana. Lalu menarik Maura dari ketiga pria itu. "Siapa kalian?"

"Lo yang siapa? Urusan gue belum selesai sama dia."

"Urusan apa?"

"Bapaknya punya hutang sama bos kita. Karna Bapaknya mati jadi dia yang harus bayar. Tapi kita udah dapat barang bagus ini." Pria itu mengangkat tas milik Maura.

Gavin mengeluarkan dompetnya lalu menyodorkan beberapa lembar seratus dollar Amerika. "Ini ambil! Tapi kembalikan tas itu."

Pria itu mengambil uangnya lalu menerawang semuanya. "Ini dollar asli 'kan? Siapa tahu cuma kertas mainan anak TK. Gue gak mau dollar!"

"Kalian bisa kembali lagi kalau uangnya palsu. Aku gak bawa uang lagi." Gavin menunjukkan dompetnya yang hanya tersisa beberapa lembar ratusan ribu rupiah.

Pria itu mengambil uang yang tersisa di dompet Gavin. "Buat ongkos pulang."

Tas milik Maura kemudian dilempar pada pemiliknya.

"Jangan ambil uang itu! Aku bisa bayar kalian nanti." Maura berusaha menghentikan pria yang semena-mena itu.

"Halah gak punya duit aja so' nolak pemberian orang. Gue pergi dulu nanti balik lagi." Ketiga pria itu pun pergi dari sana.

"Kamu gak apa-apa?"

Maura menggeleng. "Aku baik-baik aja. Berapa banyak uang yang kamu kasih tadi?"

"Aku gak tahu."

Maura mengira-ngira dengan mengkonversikan dollar pada rupiah. Dan jumlahnya membuat ia menghela napas. Gajinya saja tidak sebanyak uang di dompet Gavin. "Aku pasti ganti nanti."

"Iya, kamu tenang aja. Ayo pergi!"

Maura mengikuti Gavin menuju mobil pria itu.

.

.

Mereka sampai di dalam apartemen Gavin yang begitu mewah.

"Ayo duduk!"

Maura pun duduk di sofa besar. Rasanya uang yang tadi dikelurkan Gavin tidak ada harganya dibandingkan dengan semua perabotan yang tampak mewah ini. Apartemen ini begitu besar. Rumahnya saja tidak sebesar ini. Mungkin hanya seluas kamarnya saja. Di rumahnya yang dulu pun tidak sebagus tempat ini.

Gavin mengambil botol air minum dari kulkas lalu membawanya pada Maura. "Ini minum dulu."

"Makasih." Maura menerima botol itu lalu meminumnya perlahan.

"Jadi mereka tadi itu siapa?"

"Mereka preman suruhan rentenir."

"Rentenir? Bapak kamu di mana?"

"Dia sudah meninggal."

Gavin tersentak. "Maaf."

"Gak apa-apa. Itu setahun yang lalu. Dulu keluarga kami baik-baik aja. Tapi semenjak perusahaan Bapak bangkrut setahun yang lalu, semuanya dijual untuk menutup hutang sana-sini. Sekarang kami tinggal di rumah kecil. Aku bantuin Ibu kerja untuk menutup hutang sekaligus memenuhi kebutuhan kami. Belum lagi biaya sekolah adikku."

"Biaya sekolah kamu gimana?"

"Untungnya udah lunas. Meskipun ujungnya harus bayar hutang."

"Berapa semua hutangnya?"

"Satu milyar, dengan bunga yang terus bertambah. Tapi aku gak khawatir kok, karna lulusan SMA Harapan mungkin bisa dapat beasiswa kuliah lalu bisa sambil kerja. Aku yakin bisa melunasi semuanya."

Gavin salut dengan pemikiran positif Maura. Satu milyar mungkin bukan angka fantastis dibandingkan tabungannya. Tapi lain bagi Maura, jumlah itu bukan uang yang bisa dilunasi dalam waktu singkat. Tapi hidup tidak senaif pemikiran gadis itu.

"Jangan terlalu naif, Maura!"

.

.

TBC

1
hayalan indah🍂
bagus
Dochi19_new: makasih kak, pantengin terus ya kak 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!