Sudah menginjak usia 30 tahun, Rendra belum juga menemukan jodohnya dan membuat dua sahabatnya Dimas dan Gilang ikut pusing memikirkan siapa yang akan dinikahinya.
Namun tanpa diketahui, selama ini diam-diam Rendra menyukai Dina adik dari sahabatnya Dimas, seorang perawat yang baru saja lulus kuliah.
Perbedaan umur juga sifat membuat Dimas menentang hubungan Rendra dengan adiknya.
"Lo sahabat gue, Dina adik gue. Terus gue bela siapa kalau kalian bermasalah?" ucap Dimas yang membuat Rendra menahan rasa cintanya.
Lalu bagaimana kisah cinta mereka? Mampukah Rendra meyakinkan Dimas dan apakah Dina yang selalu bergantung pada Rendra akan menerima cintanya?
~Spin off dari "Turun Ranjang"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ningsihe98, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LARANGAN
Dina menghampiri Riko di perpustakaan sesuai permintaan lelaki itu tadi pagi, data penyuluhan Pagi ini Dina menemui Riko di perpustakaan untuk memberikan data penyuluhan yang dimintanya.
"Kak, ini data penyuluhannya."
"Terima kasih," ucap Riko tersenyum kemudian fokus pada laptop yang masih ia buka.
"Laporannya di kumpulkan kapan? biar Dina bant," ucap Dina.
"Hari ini dikumpulkan, tidak usah. Semuanya sudah selesai hanya tinggal data ini saja," ucap Riko tersenyum.
Dina hanya mengangguk dan memilih duduk untuk beristirahat sebentar, lagipula Ghea sudah sibuk dengan laporan skripsinya dan Dina juga sedang menyusunnya ia lebih baik untuk mengerjakannya di perpustakaan.
"Kamu sedang menyusun skripsi?" tanya Riko.
"Sudah hampir selesai, tinggal revisi langsung sidang," jawab Dina.
"Sudah berpikiran akan di lanjutkan atau bekerja di mana?" tanya Riko sambil mengetik data di laptopnya.
"Belum ada, kemarin sempat magang di rumah sakit tapi karena sudah mau skripsi jadi berhenti," ucap Dina.
"Kebetulan Paman saya kepala rumah sakit, kalau kamu berminat bekerja di sana bisa hubungi saya," tawar Riko.
"Beneran kak?"
"Saya sebelumnya magang di sana, kalau kamu mau bisa saya bantu."
"Baik, terimakasih kak," jawab Dina tersenyum.
Riko mengangguk seraya tersenyum ke arah Dina yang sudah kembali fokus pada tugasnya.
...***...
Rendra berjalan ke arah parkiran, kebetulan hari ini jadwal mengajarnya telah selesai. Ia mencari kunci motornya di dalam saku namun tidak ada, ia mencari ke semua saku celananya. Tapi tidak ada, ia teringat kunci motornya berada di kantor.
Rendra memang jarang membawa tas untuk mengajar, semuanya ia taruh di kantor dari mulai laptop dan materi. Biasanya jika akan mengadakan ujian ia baru akan membawa pulang laptopnya itu.
"Masih ada jadwal ngajar?" tanya seseorang menyapa Rendra.
"Enggak Pak, saya mau ngambil kunci motor," ucap Rendra menuju mejanya.
Tak sengaja Rendra melihat Mauren yang berada di sana dan terjut saat Rendra datang di sapa oleh Rektor yang tak lain Paman Mauren.
"Om kenal sama dia?" tanya Mauren berbisik pada Pamannya itu.
"Dia Dosen di sini, dia dulu murid om, dapat beasiswa juga di kampus ini, IPK nya juga tertinggi se-Jawa Barat dulu, dia om ajak buat ngajar di sini dan untungnya dia mau," ucap Paman Mauren.
Mauren hanya mengangguk tak percaya, ternyata Rendra seorang yang menurutnya kegatelan dan soakrab itu memiliki prestasi yang luar biasa, ternyata otaknya berjalan lebih baik dari pada tingkah lakunya. Pantas saja tadi ia sangat malu saat Mauren berteriak di kantin.
"Saya pulang dulu, pak," pamit Rendra.
"Eh tunggu sebentar, kenalkan dia Mauren keponakan saya," ucap Paman Mauren.
Rendra menatap ke arah Mauren yang menatapnya cuek.
"Saya sudah kenal, kebetulan dia sahabat dari istri teman saya," ucap Rendra.
"Lho kalian sudah kenal, ya sudah kalau begitu kamu pulang bareng Rendra. Om masih ada urusan," ucap Paman Mauren.
"Pulang bareng?" ucap Mauren terkejut.
"Rendra, saya titip Mauren antar dia pulang, saya masih ada urusan lain."
Rendra berpikir sejenak sebelumnya akhirnya ia memilih menerimanya.
"Baik pak, Mauren ayo!" ajak Rendra akhirnya karena tak mungkin ia menolaknya.
Mauren menatap Pamannya dengan tatapan sedikit kesal. Yang benar saja ia di suruh mengambil data ke kampus dan sekarang di suruh untuk pulang bersama Rendra.
Rendra memberikan satu helmnya pada Mauren yang langsung diambil gadis itu.
"Gue baru tahu lo dosen di kampus om gue, tapi kok bisa?" tanya Mauren di motor.
Rendra hanya diam tak menggubris ucapan wanita yang di boncengnya itu.
"Kata om gue, lo itu pinter, tapi kenapa orang pinter bisa pecicilan?" tanya Mauren kembali.
Rendra masih diam, ia memilih fokus mengendarai motornya tanpa mempedulikan ucapan Mauren.
Hingga mereka sampai di komplek perumahan Mauren, wanita itu turun dari motor dengan wajah juteknya, bagaimana tidak selama perjalanan Rendra mendiamkannya padahal ia sudah bertanya beberapa kali padanya.
"Lo beneran budeg ya gara-gara gue teriak?" tanya Mauren.
"Apa?" tanya Rendra pura-pura tak mendengar.
"Lo budeg, lo budeg, lo budeg tahu!" teriak Mauren kesal.
"Apa? Bisa lo ulang?" tanya Rendra.
"Tahu ah, males!" kesal Mauren membuka helmnya.
Rendra hanya tersenyum kecil kemudian mengambil helm dari tangan Mauren, gadis itu merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan.
Di sebrang jalan motor matic putih tiba-tiba berhenti dan Rendra yang tengah menengok ke arah sebrang sepertinya mengenal motor dan juga pengendara tersebut, dan siapa lagi kalau bukan gadisnya Dina. Sial kini Dina tengah menengok ke arahnya dan Mauren bahkan dari helm yang ia kenakan ia sudah tahu gadis itu tengah cemberut menatap ke arahnya.
"Thanks udah nganter," ucap Mauren.
Rendra tak menjawab ucapan Mauren ia lebih fokus pada Dina. Melihat Dina yang masih diam di sebrang menatap ke arahnya seperti ia sedang tertangkap basah berselingkuh.
Tanpa menjawab ucapan Mauren, Rendra langsung melajukan motornya sedangkan Dina setelah melihat Rendra dengan wanita lain ia kembali menjalankan motornya dengan cepat.
"Lha, itu cowok emang bener-bener budeg ya, gue udah bilang makasih juga malah kabur," kesal Mauren.
Rendra terus mengejar motor Dina, namun wanita itu sudah lebih cepat mengendarai motornya. Dina sesekali melihat ke kaca spion, namun tidak ada motor Rendra yang mengejarnya dan Dina bertambah kesal sepertinya Rendra sudah memiliki pacar baru bahkan terlihat sangat cantik.
"Dina!" teriak Rendra saat sampai di rumah Dina.
Dina tak menyaut, ia memilih memakirkan motornya dan membuka helmnya. Rendra yang sudah lelah mengejar Dina langsung memakirkan motornya dan menemui gadis itu.
"Kamu kenapa bawa motor cepet banget?" ucap Rendra.
"Biarin, lagian Dina ini yang bawa motor," ucapnya cuek.
"Tapi nggak baik bawa motor kayak emak-emak, ngebut di jalanan udah kayak valentino rossi," ucap Rendra.
"Kamu teh kenapa marah-marah?" tanya Rendra masih menahan tangan Dina.
"Ih A'Rendra lepasin," ucap Dina.
Rendra melepaskan tangannya dari Dina, gadis itu menatap menunduk tanpa mau menatap Rendra.
"Kenapa? Dari tadi lho Aa manggil sama ngejar kamu di jalan kamu malah ngebut," ucap Rendra.
"Emang tadi A'Rendra ngejar Dina?" tanyanya.
"Iya tadi tuh Aa ngejar kamu, lagian kamu teh kenapa malah langsung tancap gas."
"Gapapa, lagian tadi lihat A'Rendra masa perempuan."
"Oh Mauren?"
"Nggak ada yang nanya namanya," ucap Dina kesal.
"Tadi Aa habis nganterin dia pulang, dia keponakannya Rektor kepala di kampus, dia itu sahabatnya Teteh kamu," jelas Rendra.
"Nggak mau tahu juga!" jawab Dina cuek.
Belum sempat Rendra menjelaskan Dimas keluar dari rumah karena mendengar suara keributan diantara keduanya dan ia terkejut ternyata yang sedang bertengkar adalah Dina dan Rendra. Rasanya aneh bagi Dimas melihat keduanya bertengkar.
"Kalian kenapa ribut-ribut?" tanya Dimas.
"Biasa, masalah rumah tangga, istrinya lagi cemburu," jawab Rendra.
Dina tampaknya tak peduli, gadis itu sudah masuk ke dalam rumah dengan wajah kesal meninggalkan Dina dan Rendra.
"Ada apa?" tanya Dimas.
"Tadi di jalan dia lihat gue nganterin si Mauren, dan pas gue ngejar dia langsung ngebut sampai rumah cemberut," terang Rendra.
"Mauren?" tanya Dimas kemudian duduk di kursi.
"Iya, tadi nggak sengaja pas pulang ketemu dia dan tenyata dia keponakan Rektor kampus, dan berakhir dengan gue jadi tukang ojegnya," ucap Rendra yang ikut duduk di teras dengan tangan yang masih memegang helm.
"Bagus bro, sekalian perdekatan juga. Terus gimana bisa ketemu Dina?" ucap Dimas sambil menepuk bahu Rendra.
"Waktu gue antar sampai depan komplek tiba-tiba ada Dina berhentiin motor di sebrang, dia ngelihat gue dan pas gue kejar dia bawa motor ngebut banget," ucap Rendra.
"Jadi barusan lo ngejelasin sama dia?" tanya Dimas yang diangguki Rendra.
Dimas terdiam sejenak, ia menarik nafasnya sepertinya kali ini ia harus berbicara serius pada Rendra.
"Ini nih yang bikin gue nggak bisa ngebiarin lo sama adek gue," ucap Dimas.
"Maksudnya?" tanya Rendra.
"Gue nggak tahu perasaan lo sama Dina sebenernya gimana, yang pasti gue tahu kalau lo sayang sama dia. Tapi coba sekarang lo lihat di saat kalian sekarang berantem gue harus gimana? Lo sahabat gue, Dina adek gue terus gue harus bela siapa kalau kalian bermasalah?" ucap Dimas.
Rendra terdiam, memang sejak awal Dimas tak pernah setuju jika Rendra bersama Dina dan memiliki perasaan lebih untuk adiknya itu.
"Dina itu sikapnya masih labil lo tahu juga kan dari dulu dia tuh paling manja apalagi sama lo karena lo selalu ngabulin apa yang dia mau, gue cuman berharap dia bisa dewasa dan ngebebanin lo lagi," ucap Dimas serius.
"Maksud lo apa, Dim? Gue nggak ngerasa terbebani sama Dina," ucap Rendra.
"Gue nggak mau lo terus manjain dan buat dia bergantung sama lo lagi, dia udah mau wisuda dan dia harus bisa dewasa dan nentuin jalan hidupnya sendiri. Kalau Dina terus sama lo, dia nggak bakal bisa dewasa, gue juga nggak mau lo terus prioritasin dia terus. Lo bisa ngejalanin hubungan dengan siapapun dan Dina juga dia bisa jalanin kehidupannya sendiri," ucap Dimas menatap Rendra.
Rendra masih terdiam ia menatap Dimas yang sedang menatapnya dengan tatapan serius, seperti kakak yang sedang memberi wewenang padanya. Rendra tahu perasaannya pada Dina tidak akan pernah di setujui Dimas hanya saja jika Dimas menyuruhnya untuk menjauhi Dina bukankah itu lebih sakit rasanya?
"Kalau itu mau lo, gue bakal lepasin Dina dan biarin dia buat belajar dewasa," ucap Rendra tersenyum simpul.
"Makasih lo udah mau ngertiin," ucap Dimas menepuk bahu Rendra.
Rendra mengangguk dengan hati yang masih merasakan sakit, mungkin ini terakhirnya bisa dekat dengan Dina. Sesuai dengan permintaan Dimas untuk menjauhi Dina agar gadis itu bisa lebih dewasa.
Tanpa disadari Dina sedari tadi mendengar percakapan mereka dari jendela ruang tamu. Dan entah mengapa saat Dimas menyuruh Rendra untuk menjauhinya rasanya tak rela, selama ini ia sadar selalu bergantung pada sahabat kakaknya itu namun jujur Dina merasa nyaman dan aman jika bersama Rendra dan kini Dimas tiba-tiba berkata demikian membuatnya merasa kecewa dan sedih.
...°°°°...
...Terimakasih yang sudah membaca kelanjutannya ...
...Jangan lupa vote dan komennya...
...^_^...