Ta'aruf yang dilakukan Ustad Yunus dengan Naya terhalang oleh restu orang tua.
Disaat itu, Papi Yohan seperti mendapatkan angin segar dan membuatnya makin gencar mendekatkan anaknya yang bernama Yumna untuk bersanding bersama Ustad Yunus. Sampai-sampai dia nekat melakukan ide diluar nalar.
Apakah ide tersebut? Dan apakah benar, anaknya Yumna adalah jodoh untuk Ustad Yunus? Atau malah Naya, yang ternyata adalah jodohnya?
Yuk simak selengkapnya hanya di novel ini~
jangan lupa juga untuk follow IG Author @rossy_dildara karena banyak visual novel dan informasi lainnya di sana☺️🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rossy Dildara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Maafkan aku
Tidak! Itu sungguh pilihan yang sulit bukan? Maka tak heran jika Yumna saat ini hanya bisa bergeming di tempat dengan wajah menegang.
"Kenapa kamu diam, Yum? Ayok jawab!" tekan Papi Yohan sekali lagi dengan mata melotot.
Yumna menggelengkan kepalanya. "Ini pilihan yang sulit, Pi. Aku enggak mau, aku nggak bisa memilih salah satu dari ...."
"Aaakkkkhhh kepalaku!!" Tiba-tiba, Papi Yohan menjerit sambil memegangi kepalanya. Dan sontak membuat anak dan istrinya terkejut.
"Papi kenapa?!" Mami Soora terlihat begitu panik, dia langsung mendekat dan ikut menyentuh kepala suaminya. "Cepat panggilkan Dokter, Yum! Cepat!" teriaknya.
"Iya, Mi!" Yumna langsung berdiri dari duduknya, kemudian berlari pergi untuk memanggilkan seorang dokter.
Setelah berhasil membawa dokter Papinya masuk ke dalam sana, Yumna dan Mami Soora pun keluar. Sebab diminta untuk menunggu diluar.
'Tuhan Yesus ... tolong angkat semua penyakit Papi. Sembuhkan lah dia dari virus tekotok. Aku juga nggak mau memutuskan hubungan dengannya, aku menyayanginya.' Bola mata Yumna tampak berkaca-kaca, memerhatikan Papinya yang berada di dalam sana lewat pintu kaca. Sedang diperiksa oleh dokter.
Melihat Papi Yohan sedang menahan sakit, membuat hati Yumna terasa teriris. Dia tak tega melihat itu semua, dia tak sanggup.
"Apa kamu nggak kasihan, ya, sama Papi?" tanya Mami Soora dengan lembut, lalu menarik tangan anaknya dan mengajaknya duduk bersama dikursi panjang di depan kamar rawat. "Kenapa kamu masih tetap egois saja sih, Yum? Padahal kondisi Papi sudah begini. Katanya tadi kamu bilang nggak mau kehilangannya? Hhhmmm??"
Yumna menoleh dengan raut bingung. "Iya, aku memang kasihan sama Papi, Mi, aku juga nggak mau kehilangannya. Tapi pilihan yang Papi ajukan itu sangat sulit, Mi. Aku enggak mau dua-duanya." Dia geleng-geleng kepala.
"Sulit gimana sih, Yum? Mami kalau jadi kamu sih lebih milih menikah dengan Boy," saran Mami Soora yang akan berusaha merayunya kembali. Sebelum rencananya sukses, dia tak akan menyerah. Apalagi pihak dari Ustad Yunus sendiri sudah setuju.
"Boy itu seorang Ustad, Mi. Dia dan aku beda agama. Aku juga nggak suka sama dia, dia bukan levelku," balas Yumna dengan menahan kesal di dada.
"Suka itu akan datang belakangan, Yum. Dan tentang beda agama ... itu nggak masalah. Tinggal kamunya saja yang ikut agamanya. Bersama Mami dan Papi juga." Mami Soora sudah merangkul bahu anaknya.
"Enggak! Aku nggak mau!" tegas Yumna yang masih bersikukuh. "Mana mungkin aku meninggalkan Tuhanku, hanya karena menikah dengan si Boy. Ditambah orang yang aku cintai itu hanya Kak Glenn, Mi! Hanya dia!"
"Yumna ...." Mami Soora memegang tangan sang anak dengan erat, sembari menghembuskan napasnya dengan berusaha sabar. "Sekarang Mami tanya sama kamu, apakah rasa cintamu kepada Glenn mengalahkan rasa sayangmu kepada Papi?"
"Enggak." Yumna menggelengkan kepalanya, tapi dia sudah menitihkan air mata. Rasanya terenyuh, tapi posisinya begitu sulit sekali. "Aku sangat menyayangi Papi, Mi."
"Terus ... kenapa kamu masih keras kepala begini? Jangan sampai kamu menyesal, Yum, jika semuanya sudah terlambat."
"Terlambat?!" Yumna sontak membulatkan mata.
"Iya. Terlambat." Mami Soora mengangguk. "Tentu kamu enggak mau, kan?"
Yumna langsung termenung di tempat duduknya, dengan pikiran yang begitu semrawut. Kepalanya pun mendadak jadi pusing. 'Kenapa jadi begini, sih? Aahh ... bagaimana ini, Tuhan? Padahal harusnya hari ini aku dan Kak Glenn menikah. Tapi bagaimana nanti dengan kondisi Papi? Ini sangat sulit.'
Drrttt ... Drrttt ... Drrtt.
Lamunan Yumna seketika pecah, saat tiba-tiba ponselnya berdering di dalam kantong celana. Segera dia pun mengambilnya, dan tertera nama Glenn di sana.
"Sini ... biar Mami yang angkat." Mami Soora perlahan mengulurkan tangannya. "Mami yakin, kamu pasti berat untuk mengatakannya."
Seolah tahu isi perasaan Yumna, dan akhirnya perempuan itu memberikan ponselnya kepada sang Mami.
'Maafin aku Kak Glenn. Aku bingung,' batinnya dengan masih menangis. Tapi berkali-kali dia mengusap air mata di pipinya.
"Beb ... kamu kok nggak ada di apartemen? Ini MUA yang aku sewa udah datang lho, buat dandanin kamu. Sejam lagi kita harus sudah siap dan berada di gereja untuk pemberkatan." Suara Glenn terdengar jelas dari seberang sana.
"Kamu dan Yumna enggak akan melakukan pemberkatan, karena Yumna akan menikah dengan Boy," jawab Mami Soora. Dan sebelum pria itu kembali menimpali—dia sudah lebih dulu mematikan sambungan telepon dan mematikan ponselnya Yumna. "Untuk sementara waktu ... hapemu Mami pegang, ya? Mami juga nggak mau nantinya kamu berubah pikiran setelah mendengar suara Glenn."
Yumna mengangguk dengan terpaksa. Kemudian dia mengangkat bokongnya.
"Mau ke mana?" tanya Mami Soora memegang tangan Yumna.
"Toilet," jawab Yumna singkat, lalu menarik tangan sang Mami. Melihat Mami Soora mengangguk dia pun lantas melangkah lesu meninggalkannya.
"Jangan kabur ya, Yum!" tegur Mami Soora sedikit kencang sebelum akhirnya sang anak menghilang dari pandangan.
Perlahan dia pun menghembuskan napasnya dengan lega, kemudian tersenyum puas. 'Maafin Papi dan Mami, ya, Yum. Mami tau kok ... kamu sedih dan kecewa. Tapi Mami dan Papi yakin ... apa yang kami lakukan adalah yang terbaik untukmu. Boy jauh lebih pantas bersamamu, ketimbang Glenn yang sudah terlihat cacat dimata Mami dan Papi.'
***
Sementara itu di rumah Ustad Yunus.
Semenjak pulang dari masjid, setelah mendapatkan telepon dari Umi Mae—pria itu sampai sore tak kunjung keluar kamar.
Umi Mae yang terus memerhatikannya jadi khawatir sendiri. Akhirnya pekerjaannya yang tengah menyetrika baju itu dia tunda dan memilih untuk mencabut kabel setrikaan, sebelum akhirnya dia mengetuk-ngetuk kamar anaknya.
"Yunus ... Nak! Kok kamu seharian dikamar terus? Apa enggak laper dan bosen, ya? Ayok keluar!" titahnya yang masih mengetuk pintu.
"Maafin Umi kalau Umi punya salah padamu. Ayok sekarang keluar!"
Tok! Tok! Tok!
Sebuah pintu terketuk, tapi ini bukan ulah Umi Mae. Melainkan seseorang yang berada diluar rumah dan mengetuk pintu utama rumah tersebut.
Akhirnya Umi Mae memutuskan untuk berlalu dari pintu kamar Ustad Yunus, dan memilih untuk membuka pintu utama rumahnya.
Ceklek~
"Selamat sore, Bu." Roni berdiri di depan pintu dengan senyuman manis.
"Sore juga Pak Roni. Ada apa, ya, kemari?"
"Saya diminta oleh Pak Yohan untuk menjemput Ustad Yunus, dan membawanya ke rumah sakit, Bu," jawabnya. "Sebelumnya saya juga sudah ke masjid, tapi kata Ustad Hamdan ... Ustad Yunus pulang ke rumahnya."
"Yunus memang ada di rumah, Pak. Tapi untuk apa, ya, Yunus dibawa ke rumah sakit? Dia enggak sakit kok."
"Memang bukan Ustad Yunus yang sakit, tapi Pak Yohan, Bu. Dan beliau ingin ... Ustad Yunus datang untuk menjenguknya."
...Ada, ya, orang sakit maksa buat orang jenguk 🤣 sampai dijemput segala lagi...
hanya sebuah kalung saja 😂😂
mana ada sih anak rela harta orang tua dikasih sama mas boy 🤭
berarti terkotok kotok ... 🤭😂😂