Mengisahkan kehidupan seorang siswa laki-laki yang telah mengalami patah hati setelah sekian lamanya mengejar cinta pertamanya. Namun, setelah dia berhenti ada begitu banyak kejadian yang membuatnya terlibat dengan gadis-gadis lain. Apakah dia akan kembali ke cinta pertamanya, atau akankah gadis lain berhasil merebut hatinya?
Ini adalah kisah yang dimulai setelah merasakan patah hati 💔
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Katsumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi Yang Canggung
...[POV Lisa]...
...----------------...
Cahaya matahari mulai menyusup masuk lewat celah tirai, menyapa wajahku yang masih terasa hangat oleh sisa-sisa kantuk. Suara hujan sudah tak terdengar... sepertinya sudah reda sejak tadi malam. Tapi tubuhku masih terasa berat. Hangat. Nyaman.
Sampai...
Eh...?
Aku langsung membuka mataku lebar-lebar.
Dan begitu menyadari posisi tubuhku... aku langsung membeku.
Aku?! Aku lagi... meluk dia?!
Kepalaku bersandar di dada Ferdi. Tangan kananku melingkar di pinggangnya, dan wajahku... nyaris nempel banget.
Duh... ini beneran terjadi...? Bukan mimpi, kan?
Dengan cepat aku menjauh sedikit, tapi gerakanku pelan-pelan, takut ngebangunin dia.
Wajahku... aku yakin udah merah banget sekarang.
Panas. Gila. Panas banget.
Aku langsung nutup wajahku pake dua tangan.
"Malunya... astaga malunya... rasanya pengen ngilang sekarang juga..."
Aku bisa denger suara napas Ferdi, pelan dan stabil. Dia masih tidur. Untung aja...
Matanya masih terpejam, seolah dia nggak sadar sama sekali soal posisi kita tadi.
Aku mengintip dari sela-sela jemari tanganku, melirik wajahnya sekilas.
Dan entah kenapa... dia kelihatan lebih tenang dari biasanya.
Mukanya damai banget.
Dan itu bikin aku makin panik sendiri.
Karena ingatan semalam mulai muncul satu per satu...
Petir yang menggelegar.
Listrik padam.
Tangisku yang hampir pecah.
Pelukanku yang erat...
Dan dia... dia yang mengusap kepalaku dengan lembut...
"Aku... tidur sambil meluk dia semalaman..."
Aku membatin, sambil nunduk makin dalam.
Dadaku berdebar kencang, seperti mau meledak.
Kepalaku panas.
Salah tingkah banget.
Aku pengen kabur... tapi juga gak mau bikin suara.
Dan saat aku lagi tenggelam dalam kekacauan pikiran sendiri, aku ngerasa Ferdi mulai bergerak sedikit.
Dia menggeliat pelan, seolah mulai sadar dari tidurnya.
Wah! Wah! Wah! Dia mau bangun?!
Aku panik.
Cepat-cepat ngerapihin posisi dudukku.
Tangan kiriku otomatis narik selimut buat nutupin sebagian wajahku, sementara tangan kanan masih nempel ke paha, kaku banget.
"Jangan bangun dulu... jangan sekarang... plis..."
Batinku meronta, sambil pura-pura tenang, padahal isi kepala dan hatiku udah kaya pasar malam.
Tolong... siapa pun... jangan biarin dia sadar dulu... aku belum siap lihat dia...
Belum siap jawab apa pun juga...
Pura-pura tidur.
Itu satu-satunya hal yang bisa kulakukan sekarang.
Begitu aku merasa Ferdi mulai bangun, aku langsung buru-buru nutup mata rapat-rapat dan menarik selimut sampai ke atas hidungku. Napasku kuatur pelan-pelan, jangan sampai kelihatan mencurigakan.
Jantungku masih berdebar kencang, parah banget.
Tolong, jangan sampai kedengeran...
"Dia masih tidur?" gumam Ferdi dengan suara serak khas orang baru bangun, disusul dengan suara nguap panjang.
Aku mendengarnya jelas.
Lalu suara gesekan kain, langkah kaki yang menjauh...
Dia bangun dari sofa.
Berjalan.
Menuju ke dapur... sepertinya ke arah kamar mandi.
Begitu suara langkahnya makin jauh, aku langsung membuka mataku sedikit.
Fuhh... berhasil.
Tapi... rasanya malah makin kacau di dalam.
Kepalaku dipenuhi berbagai suara.
Suara hatiku yang saling bentrok.
"Tadi dia nyadar gak ya?"
"Apa dia ngerasa risih?"
"Kenapa aku bisa senyaman itu... padahal aku baru kenal dia..."
Tanganku mengepal kecil di bawah selimut.
Wajahku masih terasa panas.
Padahal ini udah pagi, tapi aku masih ngerasa seperti semalam.
Masih ada sisa kehangatan di sekitar tubuhku...
Dari selimut ini... atau dari pelukan itu... entahlah.
Kenapa aku bisa seberani itu semalam...?
Padahal biasanya aku selalu menjaga jarak dari siapa pun.
Tapi Ferdi... dia beda.
Sikapnya, cara bicaranya...
Cara dia gak maksa, tapi juga gak ngelepasin aku.
Cara dia bilang, "Tenang, itu cuma suara petir kok," sambil ngusap kepalaku...
Semuanya masih terngiang jelas di kepalaku sekarang.
Dan semua itu bikin aku...
Takut.
Takut salah paham.
Takut aku mulai bergantung pada seseorang yang... seharusnya cuma numpang neduh.
Takut aku terlalu nyaman.
Tapi... juga gak pengen ini cepat berakhir.
Ya Tuhan...
Apa yang harus aku lakukan...?
.
.
.
Aku masih pura-pura tidur.
Napas kuatur setenang mungkin, meski jantungku belum bisa diajak kerja sama.
Tiba-tiba, aku mendengar suara pintu kamar mandi terbuka...
Langkah kaki itu, pelan dan santai, berjalan melewati ruang tamu.
Itu Ferdi.
Tanpa sadar aku membuka mata sedikit, hanya setipis garis untuk mengintip.
Dia berjalan masuk ke kamarnya, rambutnya masih sedikit basah, dan...
Dia keluar lagi setelah beberapa menit. Kali ini udah pakai jaket.
Kayaknya dia mau keluar.
Oke...
Bagus.
Kalau dia pergi, aku bisa... tenangin diri dulu.
Tapi...
Belum sempat lega, Ferdi malah mendekat.
Deg.
Deg.
Deg.
Jantungku langsung ngedrum tanpa aba-aba.
Kenapa dia ke sini?!
Aku masih pura-pura tidur, menahan napas sehalus mungkin. Tapi aku bisa merasakan... langkahnya mendekat. Semakin dekat. Sampai akhirnya... aku bisa merasakan keberadaannya tepat di hadapanku.
Bahkan aku bisa mencium samar aroma jaketnya.
Gawat. Gawat. Gawat!
"Tidurnya pulas banget kayaknya, jadi gak tega banguninnya," ucapnya pelan.
Suara itu...
Dekat banget.
Suara itu bikin hatiku makin gak karuan.
FERDI!! JAUHAN DIKIT KEK!!
Tapi tentu aja aku cuma bisa teriak di dalam hati.
Detik berikutnya aku dengar suara langkah menjauh...
Lalu... suara pintu terbuka... dan tertutup kembali.
Dia keluar.
Aku langsung bangkit dari sofa seperti orang yang baru kehabisan oksigen.
Napas tersengal-sengal.
Dada naik turun.
Wajah masih terasa panas.
Tanganku langsung menutup wajah.
"YA AMPUN!!" teriakku dalam hati.
"Kenapa dia sedeket itu?! Kenapa juga dia ngomong kayak gitu!?"
Aku tenggelam dalam rasa malu dan bingung.
Dan... sedikit perasaan hangat yang belum berani kuakui.
Aku duduk sambil memeluk lututku di atas sofa.
Kepalaku tertunduk, dagu menempel di lutut.
"Aku harus apa...?" gumamku lirih.
Gak mungkin juga aku pergi gitu aja... kan?
Dia udah nolongin aku... bawa pulang ke rumahnya... ngasih aku minuman, makanan, bahkan tempat berteduh... tempat tidur juga... walau akhirnya aku yang tidur sambil meluk dia kayak boneka guling...
"ARGHH!!"
Tanganku langsung naik dan menutup kepala.
Rasanya pengen ngebenamkan muka ke bantal, tapi aku terlalu syok buat gerak.
"Lupain... lupainnn!!" bisikku cepat, sambil mengguncang-guncang kepala sendiri.
"Anggep aja itu cuma mimpi... mimpi buruk... mimpi aneh... mimpi... ya pokoknya bukan kenyataan!!"
Tapi sayangnya...
Rasa hangat dari pelukannya semalam masih kerasa.
Sentuhan tangannya waktu mengelus kepalaku juga masih tertinggal.
Dan suaranya...
"Tenang, itu cuma suara petir kok..."
ARGHH!! Kenapa dia bisa selembut itu sih?!
Tanganku menutupi wajah yang sekarang udah merah membara.
Aku nunduk makin dalam, kayak kura-kura masuk ke cangkangnya.
Pengen kabur ke dimensi lain.
Tapi satu sisi lain dalam hatiku...
Satu sisi kecil yang gak bisa kuabaikan... merasa... nyaman.
Dan itu yang paling bikin aku bingung.
kayaknya bertambah saingannya