Karena mantan pacarnya, di mata Elizabeth semua pria itu sama saja. Bahkan setelah putus, dia tidak ingin menjalin hubungan asmara lagi. Namun, seorang pria berhasil membuatnya terpesona meski hanya satu kali bertemu.
"Aku tidak akan tertarik dengan pria tua seperti dia!"
Tapi, sepertinya dia akan menjilat ludahnya sendiri.
"Kenapa aku tidak boleh dekat-dekat dengannya? Bahkan tersenyum atau menatapnya saja tidak boleh!"
"Karena kamu adalah milik saya, Elizabeth."
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Bukan hanya Eliza yang mendadak tegang, Altezza pun merasakan hal yang sama, apalagi melihat tatapan Ergino yang mengintimidasi. Pria itu berdeham sebelum membuka suara, tangannya membenarkan dasi yang sedikit mleyot.
"Bukan lipstik, Dad, ini adalah noda saos," jawabnya dengan santai.
"Saos apa?" Itu suara Gaby.
"Saks bakso, tadi siang aku memakan bakso, benar kan, Elizabeth?"
Elizabeth yang tiba-tiba dipanggil pun sedikit terkejut, namun dia berhasil menguasai diri. "Benar! Pak Altezza memang ingin mencoba makan bakso tadi siang, jadi aku yang membelikannya," jawabnya lalu terkekeh canggung.
Eliza maupun Altezza tidak tau jika ada noda lipstik di kemeja Altezza. Dan seingat Eliza, dia tidak sampai menyentuh area itu, lalu lipstik milik siapa?
"Oh ya? Wah, kalau begitu lain kali Kakak ikut makan bakso denganku saja! Oh atau mau sekalian mencoba jajanan lainnya?!" Gaby menatap Altezza dengan berbinar.
Melihat betapa antusias nya sang adik, Altezza pun tidak dapat menolaknya. "Baiklah," katanya yang membuat Gaby senang bukan main.
Sedangkan Ergino masih terlihat ragu dengan jawaban putranya. Kalau itu benar noda lipstik pun, dia tidak masalah, selagi Altezza tidak melakukan hal diluar batas. Setelah hubungan Altezza dan Hwara putus, Ergino tidak melihat putranya menjalin hubungan asmara lagi, dia sedikit khawatir, takut Altezza trauma dan tidak ingin menikah. Sebagai orang tua, tentunya Ergino berharap anaknya hidup dengan baik tanpa ada yang membuat pikiran mereka takut, khawatir dan sebagainya, apalagi trauma, Ergino tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Mungkin, nanti dia akan bicara dengan Altezza, supaya dia bisa tau isi hati putranya ini.
Setelah berbincang-bincang singkat, mereka memutuskan segera makan malam bersama, dan Eliza juga sudah memberitahu orang tuanya agar mereka tidak khawatir. Meski sudah dewasa, tetap saja Eliza terlihat seperti anak kecil di mata Geisha dan Austin.
Keturunan keluarga Pamungkas bukan hanya Ergino, ada paman dan bibi juga, tapi mereka tidak tinggal satu rumah dengan Ergino dan Asteria. Meski begitu, rumah mereka tetap sama besarnya.
Kakek dan nenek juga masih hidup, mereka tinggal di Amerika, karena nenek memang suka dengan suasananya, begitupun paman dan bibi, mereka ikut tinggal di sana untuk menjaga kakek dan nenek.
Setelah makan malam selesai, Elizabeth diantar pulang oleh Altezza, tentu saja atas perintah Asteria, dan Gaby ikut memaksa.
"Bisa berhenti di minimarket lebih dulu, Pak? Saya ingin membeli sesuatu," ujar Eliza pada Altezza yang fokus menyetir.
Altezza tidak menjawab, namun dia berhenti saat melihat minimarket.
Tanpa menunggu lama, keduanya turun bersamaan. Orang-orang yang melihat Altezza pun seketika terkejut, tapi mereka tidak heboh karena tau sifat Altezza seperti apa. Tentu saja keturunan Pamungkas sama terkenalnya dengan selebritis.
Alih-alih menunggu di kursi tunggu, Altezza lebih memilih mengikuti Elizabeth, seperti anak ayam mengikuti induknya, dan Eliza tidak mempermasalahkan hal itu.
"Matcha atau coklat?" gumam Eliza sambil memegang dua bungkus snack manis. Benar, dia memang membeli makanan, untuk stock.
"Coklat," sahut Altezza di belakang.
Lagi-lagi suara pria itu membuat Eliza tersentak, saking fokusnya dia hampir lupa kalau ada Altezza.
"Kenapa coklat?" tanya Eliza.
"Matcha tidak enak, Gaby pernah membelinya."
Baiklah, Eliza percaya sekarang. Dia pun memasukkan rasa coklat ke dalam keranjang belanja.
"Bapak tidak ingin membeli sesuatu? Khusus malam ini, saya traktir," ujar Eliza.
Altezza mengendikkan bahunya, matanya menatap rak-rak berisi camilan. Biasanya dia ke sini bersama Gaby, sekarang bersama Eliza.
"Ya sudah kalau tidak mau!" Eliza cemberut, dia mempercepat langkahnya menuju kulkas dan mengambil lima kotak susu di sana. Setelah selesai, dia pun ke kasir untuk membayar belanjaannya.
"Berapa?" Eliza membuka dompet.
Kasir tersebut menggeleng sambil tersenyum. "Sudah dibayar oleh Tuan Altezza, Anda tidak perlu membayar lagi," katanya sambil menyerahkan plasti berisi belanjaan Eliza.
"Heuh? B–baiklah kalau begitu, terima kasih," ucap Eliza tanpa memperpanjang urusan, ya meskipun dia bingung.
Sesampainya di luar, Eliza dikejutkan oleh hujan yang tiba-tiba turun dengan deras. Matanya menatap Altezza yang berdiri di sampingnya, pria itu terlihat tampan meski hanya diam saja.
Eliza menghela nafas kasar. Padahal mobil Altezza dekat saja, tapi kalau menerobos hujan, tetap saja basah kuyup, dan Elizabeth tidak ingin sakit nanti.
Melihat Altezza duduk di bangku besi panjang yang ada di teras mini market, Eliza pun mengikutinya.
"Terima kasih, Pak. Padahal saya juga bawa uang," ucap Eliza pada Altezza.
"Apa kata orang-orang nanti, saat tau bukan saya yang membayar?"
Ah, rupanya Altezza gengsi. Tidak salah sebenarnya, jika Eliza berada di posisi Altezza, dia juga akan melakukan hal yang sama. Altezza adalah keturunan Pamungkas, dan dia harus melakukan apapun agar dipandang baik oleh orang lain. Kan tidak lucu jika ada berita 'Perempuan ini belanja dengan Altezza Pamungkas, tapi Altezza tidak membayar belanjaannya, apakah begini sikap gentle seorang Pamungkas?'
Huh ... menjadi sorotan publik memang sangat ribet.
"Kalau begitu, saya ganti saja, bagaimana?"
Elizabeth tau diri sedikit, meski dalam hati dia berharap Altezza mengikhlaskan uangnya.
"Tidak usah, saya tidak semiskin itu," balas Altezza.
"Cih! Menyebalkan sekali!" batin Eliza, kesal. Tapi dia senang karena sudah mendapat traktiran dari Altezza.
"Ya sudah, terima kasih, Pak," ucap Elizabeth dan Altezza hanya berdeham sebagai jawaban.
Keduanya tidak bicara lagi, hanya fokus melihat hujan di depan sana yang semakin deras, tak hanya hujan, gemuruh petir juga sesekali menyambar. Hingga perhatian keduanya teralihkan saat mendengar suara tangisan anak kecil.
"Huaaa ... Mama!!!!" Tangisnya semakin kencang saat mendengar suara petir.
Sedangkan sang mama berusaha untuk menenangkannya, tapi si anak tidak berhenti menangis.
Eliza terdiam melihat pemandangan itu, dia melihat plastik belanjaannya lalu mengambil satu susu kotak.
"Hanya satu kotak, tidak masalah," batinnya.
Tanpa berkata apapun, Eliza menghampiri anak kecil tersebut, sedangkan Altezza terus memperhatikan Elizabeth, seperti seorang bodyguard.
"Hai," sapa gadis itu, dia berjongkok di hadapan anak laki-laki tadi yang duduk di bangku bersama ibunya.
Namun, sepertinya sapaan Eliza terabaikan. Meski kesal, Eliza berusaha tersenyum.
"Ingin bermain denganku?" Eliza mengulurkan tangannya dengan senyum mengembang. "Kalau kamu menang, kamu akan dapat hadiah!"
Berhasil! Tangis anak itu langsung berhenti, matanya yang sembab menatap Eliza dengan penasaran. Anak kecil memang selalu penasaran jika diimingi 'hadiah'.
"A–apa?" tanyanya dengan sedikit terisak.
Eliza berlagak seperti memikirkan sesuatu. "Umm ... tapi, kamu boleh ikut bermain asal jangan menangis lagi dan harus tersenyum seperti ini." Dia tersenyum lebar menampilkan giginya yang rapi.
Altezza mendengus geli melihat kelakuan sekretaris itu.
"Eitss ... tidak boleh menangis, tidak boleh menangis, ingat!" Eliza menjawil hidung mungil bocah tersebut saat hendak menangis lagi karena suara petir.
"Tersenyum ...." Eliza menarik kedua pipi tembam si bocah hingga tersenyum lebar. Meski ragu, bocah itu mengikutinya.
"Nah! Kamu semakin tampan sekarang!" seru Eliza sambil bertepuk tangan kecil. Hal itu membuat beberapa orang di sana melihat ke arahnya.
"Ini dia tantangannya, kamu harus menghabiskan ini dengan cepat! Kalau berhasil, kamu akan mendapatkan hadiah dariku." Eliza menyerahkan susu kotak tersebut pada bocah laki-laki di depannya.
"Hanya ... ini?"
Eliza mengangguk. "Ayo minum, aku akan menutup mata, dan saat aku membuka mata, susunya harus habis, oke?"
Bocah itu mengangguk antusias, air matanya sudah surut, digantikan dengan binar mata cerah. Sedangkan wanita yang di sampingnya ikut tersenyum melihat tingkah Elizabeth, dia bersyukur karena putranya tidak menangis lagi. Orang-orang di sana juga ikut tersenyum melihat Elizabeth, termasuk Altezza, hanya senyum tipis, tidak lebih.
"Baiklah, aku akan membuka mata sekarang. Satu ... dua ... tiga!" Eliza membuka matanya, dan bocah itu sudah mengangkat kota susu yang sudah kosong.
"Habis!" serunya membuat Elizabeth bertepuk tangan dengan riang.
"Yeay! Kamu berhasil memenangkan permainannya! Kalau begitu, ayo kita cari hadiah untukmu!" Elizabeth berdiri dan mengulurkan tangannya pada anak tersebut.
Tanpa ragu si bocah menyambut uluran tangannya. Mereka melangkah riang memasuki minimarket.
"Ah iya, kita belum berkenalan, siapa namamu?" tanya Elizabeth.
"Vello!" jawab Vello dengan senyum lebar.
"Ya ampun, menggemaskan sekali!" Elizabeth mencubit pelan pipi Vello.
"Baiklah, Vello, kamu boleh mengambil apapun, tapi satu keranjang saja, ya?" bisik Eliza di akhir ucapannya.
Vello mengangguk antusias. Bocah berumur lima tahun itu segera berlari menuju rak-rak berisi snack, lalu dia mengambil sebanyak mungkin.
Elizabeth tersenyum melihat Vello sudah tidak ketakutan lagi.
"Hah ... ternyata aku berbakat juga, ya," gumamnya.
Altezza yang sedari tadi memperhatikan, diam-diam tersenyum melihat Eliza dan bocah laki-laki itu.
"Mereka seperti orang yang sama," batinnya. Di matanya, Eliza memang seperti bocah, bocah bar-bar.
Bersambung...