BIARKAN AKU JATUH CINTA
Ig @authormenia
Akbar diundang ke SMA dan bertemu dengan Ami yang muda dan cantik. Hatinya terasa kembali pada masa dia masih muda, bagaikan air dingin yang dituangkan air mendidih. Dia menemukan jiwa yang muda dan menarik, sehingga dia terjerumus dalam cinta yang melonjak.
Akbar menjalin hubungan cinta dengan Ami yang berumur belasan tahun.
Bagaimana hubungan dengan perbedaan usia 16 tahun akan berkembang?
Bagaimana seorang gadis yang memutuskan untuk menikah muda harus berjuang untuk mendapatkan persetujuan dari keluarganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Tidak Sabar
Ami memasukkan motornya ke pekarangan rumah. Gadis periang yang mengenakan outfit sporty favoritnya, celana sport hitam dan kaos putih. Baru pulang dari Padepokan dengan menggendong tas ransel berisi baju silat yang sudah basah oleh keringat. Mendengar ibunya sedang berbicara saat ia masuk rumah dengan berucap salam.
"Bu, siapa?" Ami bertanya pelan dari jarak dua meter. Karena rupanya sang ibu sedang. melakukan panggilan video.
"Aa, lihat ada siapa nih?" Ibu Sekar bukannya menjawab pertanyaan Ami. Tapi mengarahkan layar ponsel ke anak bungsunya itu.
"ATE!" Teriak anak kecil di dalam layar. Melambaikan tangan dengan wajah riang.
"Weh-weh Aa Ucul ternyata. Kirain siapa." Ami tak kalah memekik riang. Bergegas duduk di samping ibunya.
Bocah lucu yang memenuhi layar ponsel itu menggembungkan pipi dan memanyunkan bibirnya. "Bukan Aa Ucul. Ate nakal!" Kemudian bocah berumur tiga tahun itu menoleh ke sebelah kiri dan berteriak, "UMMA....ATE NAKAL!"
Ami tertawa terpingkal-pingkal. Senang sekali menjahili keponakannya yang ingin dipanggil Aa karena mau punya adik. "Hihihi, maaf Ate lupa. Aa siapa ya namanya?" ujarnya sengaja menggoda.
"Aa Lasya." Ucap Rasya, yang merupakan anak dari pasangan Rama dan Puput.
"Oh iya, sekarang Ate ingat. Aa Rasya. Kalau Ate namanya siapa?" Ami masih mengambil alih percakapan. Ibu Sekar menjadi pendengar.
"Ate Ami Syelimut." Rasya menjawab yakin. Wajahnya sudah kembali riang.
"Hihihi. Ini baru keponakan Ate. Tos dulu." Ami mendekatkan telapak tangan ke layar ponsel. Yang dibalas oleh Rasya dengan terkikik riang.
"Mi, ujian kapan?" Puput mulai bergabung dengan duduk di samping Rasya.
"Seminggu lagi, Teh." Ami mencomot anggur yang ada di meja.
"Belajar yang serius, Mi. Stop dulu kegiatan di luar sekolah. Fokus belajar." Puput meskipun berjauhan dengan keluarga, selalu tetap memperhatikan dengan rajin berkomunikasi.
"Iya, Ummaaaa." Ami menirukan gaya bicara Rara dalam serial kartun Nussa. "Jangan lupa hadiahnya kalau Ami ranking satu lagi ya, Ummaaaa."
Ibu terkekeh dengan kelakuan Ami. Puput mencebikkan bibir yang sebenarnya untuk menahan senyum geli.
Sementara Rasya cekikikan dan berkomentar, "Ate ucul."
"Idih. Giliran dipanggil Aa ucul ngambek dah." Ami memeletkan lidah. Ia sangat dekat dengan keponakannya itu. Dengan rajin berkomunikasi lewat video call.
Percakapan santai jarak jauh itu sudah berakhir. Ami menaiki tangga menuju kamarnya. Waktunya mandi, mengingat Akbar yang mengirimkan pesan. Bahwa akan datang sebelum magrib. Ia akan menyurvei gazebo yang nyaman, yang tidak terganggu lalu lalang para pengunjung.
"Mi, Kak Akbar sama Kak Leo jadi makan ke sini lagi, nggak?" Ibu Sekar menyapa Ami yang baru turun. Terlihat segar dan wangi aroma sabun.
"Jadi, Bu. Ini juga aku mau cek dulu gazebo yang cocok. Biar Kak Akbar dan Kak Leo nyaman." Ami bersiap menuju Dapoer Ibu lewat jalan belakang.
Senja menyapa diiringi semburat jingga menghiasi cakrawala. Gazebo yang dipilih Ami sudah terisi dua pria yang berpenampilan santai. Akbar melarang Ami menyiapkan menu makan sekarang. Ia dan Leo melanjutkan diskusi pekerjaan yang belum tuntas usai meeting tadi di hotelnya. Sebuah Tab di simpan di tengah meja berkaki pendek, tempat sajian makanan.
"Kalau gitu aku tinggal dulu ya, Kak. Biar nggak mengganggu." Ami menurunkan kedua kakinya bersiap pergi. Ia yang ditugaskan Ibu Sekar menemani Akbar dan Leo sebagai tamu keluarga. Aul tidak bisa bergabung karena sedang ada tamu dua orang temannya.
"Eh, jangan Mi. Ini nggak akan lama. Tungguin lima belas menitan ya!" Akbar spontan meraih tangan Ami. Menariknya agar duduk lagi di tempat semula.
Ami menurut. Kembali duduk sila di samping Leo. Yang berarti duduk segaris dengan Akbar yang terhalang oleh meja. Mau tidak mau ia menjadi menopang dagu dan memperhatikan gestur sang CEO yang sedang bicara serius. Karena jika bermain ponsel rasanya tidak sopan.
Wuah, gaya bicara Kak Akbar keren banget. Makin ganteng deh.
Tanpa sadar, Ami senyum-senyum sendiri. Ia menjadi teringat lagi saat Akbar berbicara di depan kelasnya. Tenang dan berwibawa.
Kenapa ya aku berani gombalin Kak Akbar. Di kelas lagi.
Ah dasar emang ini bibir nggak bisa dikondisikan.
Eh tapi orangnya fine aja. Nggak marah. Malah kelihatan baper.
Diskusi sudah berakhir. Leo turun dari gazebo karena istrinya menelepon. Meninggalkan Akbar dan Ami berduaan. Ia beralih duduk di bangku panjang menghadap taman bunga mawar yang sedang kuncup.
Poci teh berikut tiga buah gelas sudah tersedia di sisi meja. Akbar mengisi satu gelas untuknya. Sambil meneguk teh yang panasnya pas, ia memperhatikan Ami yang sedang senyum-senyum dengan tatapan kosong. "Melamun nih anak," ucap batinnya. Sudut bibirnya tertarik.
"Mi....Ami." Akbar menepuk lengan Ami yang dipakai menopang dagu. Tak lama Ami tersadar, mengerjap-ngerjapkan mata. Membuat Akbar terkekeh. "Kata orang tua nggak boleh ngelamun menjelang magrib. Nanti bisa kesambet makhluk halus," sambungnya diiringi seringai jahil.
Ami meringiskan wajah. Tersipu malu. "Nggak ada lawan bicara jadinya nggak sadar bengong," ucapnya jujur. "Kalo makhluk halusnya kayak Kak Akbar mah, nggak apa-apa kesambet juga. Hihihi."
Akbar tertawa. "Bisa aja kamu Mi, bikin orang baper. Kan Kak Akbar jadi pengen jadi makhluk halus deh. Biar bisa masuk ke pikiran Ami." Bergaul dengan Ami membuatnya terpengaruh untuk balas menggombal.
"Wah, jangan jadi makhluk halus ah nanti bisa seperti peribahasa An jing menggonggong kafilah berlalu."
"Artinya?" Akbar menaikkan satu alisnya. Yakin, makna versi Ami tidak sesuai arti sesungguhnya.
"An jing menggonggong kafilah berlalu. Aku bisa bengong mikirin kamu selalu." Ami mengerjap-ngerjapkan mata dengan ekspresi wajah jenaka.
"Astaga." Akbar geleng-geleng kepala di akhir tawanya yang lepas. Tengah hari tadi ia dibuat meradang dalam meeting, karena dua orang penting di jajaran manajemen hotel terlambat datang sepuluh menit. Kini ia dibuat terhibur oleh kekonyolan Ami.
Adzan magrib terdengar berkumandang. Ami bersiap kembali ke rumah untuk menunaikan kewajiban.
"Kak, pilih dulu menunya apa. Biar nanti abis sholat, hidangan udah siap di meja." Ami memberikan daftar menu juga kertas dan pulpen.
Akbar mengangguk. Ia ingin menu yang berbeda dengan kemarin.
***
Di dalam Cafe sudah ramai oleh pengunjung yang rata-rata adalah pasangan muda yang sedang malam mingguan. Salah satu meja terisi sepasang muda mudi, yaitu Aul dan Anggara yang sudah duduk sejak sepuluh menit yang lalu.
"Kak Angga, semua hadiah dari Kak Angga sejak awal sampai terakhir kemarin, aku simpan dengan baik. Masih tersimpan rapi dalam paper bagnya." Aul mulai masuk pada pembicaraan serius setelah beberapa saat menjadi pendengar cerita kegiatan Anggara.
"Kenapa? Kamu nggak suka ya?" Anggara menegakkan punggungnya dengan raut wajah kaget.
"Bukan tidak suka. Tapi aku tuh bisa dibilang tipe wanita yang perasa. Yang tidak enakan. Pengen jelas dulu maksud Kak Angga ngasih itu semua karena apa? Ini tujuan aku pengen bicara empat mata gini, Kak." Aul berkata lancar dan lugas.
Anggara tidak langsung menjawab. Terjeda oleh kedatangan pelayan yang mengantar pesanan. Ia menatap Aul dengan pikiran yang berkecamuk dan mempertimbangkan kalimat yang tepat untuk diucapkan.
"Aul, kita udah kenal lama, berteman dekat, kita juga sudah saling akrab dengan masing-masing orang tua. Bolehkah aku berharap lebih. Tidak perlu pacaran karena kita udah saling kenal. Aku ingin kamu jadi calon istriku." Anggara tahu, peluangnya bisa dibilang tipis. Mengingat komunikasi yang terjalin selama ini tersirat adanya perbedaan komitmen. Tapi siapa tahu, sekarang Aul berubah pikiran.
Aul mengatupkan bibir. Pandangannya menelisik wajah tampan dengan potongan rambut baru yang lebih cepak. Menilai kesungguhan ucapan sang polisi. Sudah jelas sekarang maksud dari hadiah yang selalu dikirimkan.
"Jika untuk menilai jatuh cinta dengan merasakan adanya getaran, itu aku tidak merasakannya saat bersama Kak Angga. Tapi aku merasakan nyaman sebagai teman, sebagai sahabat. Dan lagi, kita punya mimpi yang berbeda. Aku dengan passionku di dunia kuliner, tidak bisa meninggalkan Ciamis. Karena lagi merintis. Sementara Kak Angga dengan kecintaannya sebagai abdi negara, harus berpindah-pindah kota sesuai tugas. Ah, Kak Angga udah tau kan dengan mimpiku itu?" Aul memperjelas semuanya.
Anggara menghela nafas. Tidak terkejut dengan penjelasan Aul yang sudah diprediksi. "Aku kini jadi pemeran utama novel cinta tak harus memiliki, ya?" ujarnya diiringi tertawa sumbang. Kecewa, jelas ada. Manusiawi. Tapi ia menyikapi dengan sikap dewasa.
Aul tersenyum miring. "Aku do'akan Kak Angga mendapatkan jodoh terbaik. Yang akan selalu mendampingi langkah Kak Angga dimanapun berada," ucapnya tulus.
Anggara menghembuskan nafas panjang. Tidak mengaminkan. Bukan berarti tidak suka. Tapi butuh waktu untuk menyembuhkan kecewa karena kasih tak sampai. "Besok aku ke Semarang lagi. Aku dapat tugas baru jadi ajudan kapolres. Kita tetap berteman kan, Aul?"
Aul mengangguk. "Tentu saja. Kita adalah teman baik. Akan jadi teman baik sampai kapan pun. Selamat bertugas. Semoga nanti dapat kabar lagi, Kak Angga lah yang menjadi Kapolres. Next dapat kabar lagi udah jadi Kapolda," ujarnya diiringi senyum simpul dan mata berbinar.
Anggara tersenyum. "Makasih buat support nya, Aul."
Obrolan menjadi lebih rileks setelah saling mengungkapkan perasaan. Hidangan di atas meja mulai disentuh. Bisa tersenyum lebar tanpa ada beban lagi yang mengganjal.
"Kak, aku kembalikan semua hadiah ya? Aku nggak pantas menerimanya karena....."
"Kalau kamu kembalikan, berarti ucapanmu bohong nganggap aku sahabat." Anggara memotong ucapan Aul dengan cepat. Menghentikan memasukkan potongan steak ke mulut yang sudah ditusuk garpu.
"Ish, bukan begitu. Aku kan nggak enak." Aul meralat dengan cepat.
"Itu pemberian dari seorang sahabat. Please pake apa yang mesti dipake. Pajang, apa yang seharusnya dipajang!" Anggara berucap tegas layaknya seorang polisi.
"Siap, Pak." Aul memberi hormat dengan menyimpan telapak tangan di samping pelipis kanan.
Aul dan Anggara tertawa bersama. Namun keriaan keduanya diartikan lain oleh seorang pria bertopi yang mengamati dari meja paling sisi.
Panji. Ia yang gelisah jika hanya duduk diam di rumah, memutuskan mengikuti mobil yang terparkir di depan rumah Ibu Sekar. Mulai membuntuti saat melihat Anggara membukakan pintu mobil untuk Aul.
Panji yang tidak sabar menunggu waktu sehari, kini merasa menyesal sudah ikut masuk ke dalam cafe. Karena harus melihat dua wajah yang awalnya terlihat serius malah berakhir berbinar dan tertawa. Ia lebih dulu keluar dengan hati kecewa dan terluka.
...*****...
Bestie, maafkeun kemarin sore ada acara tak terduga. Jadinya jadwal up malam terpending karena ngedit tidak beres keburu ngantuk berat. 😁
Sekalian mau ralat dan revisi bab nih. Ultah Ami bukan Maret tapi Agustus ya. Kan Ami lagi semester dua bersiap ujian PAT. Ceritanya obrolan AmBar waktu itu di akhir bulan Mei. Fokus aku malah oleng ke kalender real 😁😁. Hah, maafkeun atas kesalahan ini. 😂