"Apa kamu takut?" tanya Mark sembari mengusap pipi Jessy yang memerah.
"Sedikit."
Jawaban Jessy membuat Mark merasa gemas. Wajah polos wanita itu benar-benar menarik.
"It's okay. Kita memang baru pertama melakukannya," kata Mark.
Jessy mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Ia tak kuasa menyaksikan tubuh indah Mark yang tampak kokoh sebagai tempat bersandar.
"Ayolah, kenapa kamu seperti malu-malu begini? Bukankah ini sudah biasa untukmu dan pacarmu?" tanya Mark yang melihat Jessy seakan tak mau melihatnya.
"Aku ... Belum pernah melakukan yang seperti in," lirih Jessy.
"Apa?" Mark terkejut. Ia kira hal semacam itu sudah biasa dilakukan orang yang telah berpacaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Penculikan
Jessy merasa suntuk berada di kamarnya sendirian. Mau keluar tapi takut jadi korban kejahatan lagi. Padahal, ini hari pertama ia ditinggal Fika ke Perancis.
"Hah ... Serba salah mau di sini atau di Indonesia, kehidupanku benar-benar mengenaskan," gumamnya sembari menatap langit senja di balkon kamarnya.
Jatah liburannya terasa terbuang sia-sia. Seharusnya ia tidak mengiyakan ajakan Fika dan memilih tetap bekerja di kafe agar dapat uang tambahan. Bukannya dapat liburan yang berkesan, ia malah kecopetan. Sungguh hidupnya terasa sial.
Ketika sedang merenung, pandangan matanya menangkap sosok seorang anak di bawah sana. Anak itu tampaknya kesulitan mengambil balon miliknya yang tersangkut di pohon.
"Orang tuanya kemana? Kasihan anak itu," kata Jessy.
Ia terus memperhatikan polah anak di bawah sana. Dengan ranting yang ditemukannya, anak itu berusaha meraih tali ikat balon. Sayangnya, tubuh anak itu terlalu pendek untuk menjangkaunya.
"Tumben di bawah sedang sepi. Kenapa tidak ada yang datang membantu?" Jessy gregetan melihat pemandangan itu.
Jessy tidak tega melihat anak itu menghadapi kesulitan. Ia memutuskan untuk turun dari kamarnya.
Jessy tidak lupa dengan nasihat Fika agar ia tetap berada di hotel. Ia hanya keluar sebentar, itupun masih di kawasan hotel. Ia rasa tidak akan terjadi apa-apa di sana.
Jessy menghampiri tempat anak yang tadi dilihatnya. Memang anak itu berada di sisi samping hotel yang jauh dari jalan raya, sehingga tidak terlalu banyak orang lalu lalang. Kemungkinan anak itu mengejar balonnya yang terbang sampai menyangkut di salah satu dahan.
Anehnya, saat ia sampai di sana, anak itu sudah tidak ada. Ia cari ke sekitar juga tidak ada. Padahal, balonnya masih ada di sana.
"Itu tadi anak beneran atau hantu, ya?" Jessy menggaruk rambutnya sendiri. Ia benar-benar kebingungan dan sedikit merinding.
"Bos, sepertinya wanita ini sesuai dengan kemauan client," ucap seseorang.
"Kamu benar. Pelanggan kita menginginkan wajah-wajah seperti dia. Apalagi dia kelihatan masih muda."
"Bagaimana kalau langsung kita bawa saja?"
"Jangan berlama-lama lagi, waktunya sudah mepet. Kita harus cepat,"
Jessy terkejut dengan kedatangan dua orang lelaki dari arah gudang tak jauh dari sana. Mereka berbicara dalam Bahasa Inggris dengan santai seakan Jessy tak bisa memahami ucapan mereka.
"Kalian mau apa?" tanya Jessy sembari melangkah mundur.
Kedua orang itu sedikit terkejut Jessy bisa memahami bahasa mereka.
Sebelum Jessy sempat lari, keduanya lebih dulu mencengkeram erat tangan Jessy.
"Lepaskan aku! Kalian penjahat, ya? Tolong ...." teriak Jessy.
Kedua lelaki itu sigap menarik Jessy ke arah belakang yang sepi. Jessy berusaha meronta minta dilepaskan sembari berteriak minta tolong.
"Diam!"
Salah seorang dari mereka mengacungkan pisau di leher Jessy. Terpaksa Jessy diam. Benar apa yang Mark katakan, London terlalu berbahaya untuknya.
"Ini tindakan kriminal. Kalian bisa terkena hukuman," kata Jessy mengingatkan.
"Hahaha ... Ternyata dia pandai juga memakai bahasa kita. Dia juga pandai mengancam orang," kata orang yang memegang pisau.
"Kalian mau apa?" tanya Jessy.
"Nanti kamu juga akan tahu."
Jessy tak terlalu paham dirinya akan dibawa kemana. Dari hotel tempatnya menginap, ia dibawa dengan mobil menuju ke tempat lain.
Sesampainya di suatu tempat, ia dipaksa ikut turun sembari terus diancam dengan pisau. Tempat itu penuh dengan wanita-wanita cantik dengan pakaian sek si. Firasatnya semakin tidak baik.
"Madame, kami sudah menemukan orang yang tepat," ucap lelaki yang membawa Jessy.
Wanita yang dipanggil madame itu keluar dari ruangannya. Tampak seorang wanita berusia kisaran 40 tahunan dengan make up tebal muncul menghampiri Jessy. Ia meneliti dengan seksama tubuh Jessy.
"Kalian dapatkan dia dari mana?"
"Dari hotel XXX, Madame. Sepertinya dia pendatang."
Wanita itu tersenyum senang melihat Jessy. "Nona manis, kamu cantik sekali. Malam ini kamu akan menjadi penyelamatku," katanya.
"Maksud Anda apa?" Jessy masih berusaha melepaskan dirinya yang terus dipegangi.
"Ini adalah kediaman Madame Giselle, surga dunia bagi para lelaki kaya yang kesepian. Kamu beruntung sekali bisa bergabung dengan kami," ucapnya.
Jessy sudah menduga tempat seperti apa dirinya sekarang berada. "Aku tidak mau jadi pela cur!" bentak Jessy. "Ini namanya penculikan! Anda telah melakukan perbuatan kriminal!" umpatnya.
Madame Giselle sedikit tersinggung dengan ucapan Jessy. "Oh, aku tidak terlalu peduli dengan cap kriminal. Tapi, apa kamu akan kuat mendapatkan julukan sebagai wanita murahan?" ancamnya. "Bagiku sangat mudah membuat kabar palsu bahwa kamu telah menjual diri di tempat Madame Giselle demi uang. Akan aku sebarkan beritanya hingga sampai ke negaramu."
"Dasar kalian orang gila semua! Apa salahku sampai harus datang ke tempat ini?" Jessy benar-benar tidak habis pikir dirinya menjadi korban penculikan.
"Tidak ada, Sayang. Kamu tidak punya salah. Hanya saja, kamu punya wajah yang cantik dan sesuai dengan kemauan pelanggan kami malam ini. Salah satu bidadariku kabur dan aku sangat pusing untuk menemukannya. Beruntung kedua anak buahku bertemu denganmu," katanya.
Ingin rasanya Jessy tertawa. Nasibnya lebih miris dari pada kemarin. Setelah kecopetan, sekarang dirinya akan dijadikan sebagai wanita penghibur.
"Aku tidak mau menjadi pela cur. Tolong, Nyonya, lepaskan saya. Saya hanya datang ke kota ini untuk liburan," ucap Jessy memohon.
"Sstt ... Jangan begitu, Sayang. Aku akan mati jika melepaskanmu malam ini. Kamu harus menurut, ya ... Kami tidak akan melukaimu jika kamu menurut." kata-kata Madame Giselle terdengar lembut namun mengerikan.
"Nyonya ... Please ...." Jessy tidak tahu lagi harus bagaimana dengan dirinya.
Ia tak mungkin bisa melawan. Kedua orang itu saja masih memeganginya kuat. Anak buah Madame Giselle ada banyak. Sepertinya pilihannya memang hanya ada dua: mati atau menurut.
"Tidak bisa, Sayang. Waktunya sudah semakin sempit. Suka atau tidak suka kamu harus menurut," katanya.
Jessy tak kuasa membendung air matanya. Madame Giselle mengambil sapu tangannya dan mengusap air mata yang menetes di pipi Jessy.
"Sayang, kamu tidak boleh menangis. Client tidak akan suka dengan wanita cengeng."
Madame Giselle membawa Jessy ke ruangannya dan menyuruh anak buahnya menjauh. Mereka hanya berdua di sana.
"Siapa namamu?" tanya Madame Giselle sembari memegangi tangannya.
"Jessy," jawabnya pelan.
"Namamu bagus, Sayang," kata Madame Giselle.
"Kamu harus tahu kerasnya kehidupan di kota ini. Kita harus sekuat tenaga bertahan bagaimanapun caranya agar tidak terbunuh, Sayang."
"Salah seorang pelanggan setia tempat ini memintaku menyediakan seorang wanita untuk temannya. Kriterianya yang memiliki wajah sepertimu. Dia orang yang berpengaruh. Kalau aku tidak mendapatkan orang yang dia mau, aku bisa dibunuh. Tolong Madame, Jessy," rayunya.
Jessy menggeleng.
"Kamu tidak punya pilihan, Sayang. Kecuali kalau kamu mau mati," kata Madame tegas.
"Aku janji, setelah malam ini, kamu akan aku antarkan kembali ke tempatmu semula. Aku juga akan memberimu banyak uang. Bantulah aku sekali saja. Menemani seorang lelaki satu malam itu sangat mudah, kamu tinggal memejamkan mata dan semuanya selesai."
"Kamu pasti sudah biasa melakukannya dengan pacarmu, kan? Aku beri waktu 10 menit untuk menenangkan diri."
Madame Giselle menepuk pundak Jessy sebelum ia keluar dari ruangannya.
realistis dunk