Malam bahagia bagi Dila dan Arga adalah malam penuh luka bagi Lara, perempuan yang harus menelan kenyataan bahwa suami yang dicintainya kini menjadi milik adiknya sendiri.
Dalam rumah yang dulu penuh doa, Lara kehilangan arah dan bertanya pada Tuhan, di mana letak kebahagiaan untuk orang yang selalu mengalah?
Pada akhirnya, Lara pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan nama, kenangan, dan cinta yang telah mati.
Tiga tahun berlalu, di antara musim dingin Prancis yang sunyi, ia belajar berdamai dengan takdir.
Dan di sanalah, di kota yang asing namun lembut, Lara bertemu Liam, pria berdarah Indonesia-Prancis yang datang seperti cahaya senja, tenang, tidak terburu-buru, dan perlahan menuntunnya kembali mengenal arti mencintai tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 27
Dari ujung koridor rumah sakit yang pucat diterangi lampu-lampu putih yang seakan terlalu dingin untuk malam itu, terlihat dua sosok berjalan cepat, hampir setengah berlari. Nafas mereka memburu, wajah cemas tak bisa disembunyikan. Keduanya adalah Pak Rahman dan Bu Liana. Mereka bahkan tidak sempat saling berbicara sejak keluar dari mobil, kecemasan telah menelan semua kata.
Begitu mendekati ruang tunggu IGD, mata Bu Liana langsung menangkap sosok Arga yang duduk menunduk di kursi panjang. Bahunya jatuh, wajahnya kusut, matanya kosong seperti seseorang yang kehilangan arah hidupnya.
“Arga…” suara Bu Liana bergetar, lalu dia langsung mendekat. “Bagaimana keadaan Dila?”
Arga mengangkat wajahnya perlahan. Matanya merah, bekas air mata masih jelas di pipinya. “Masih di dalam, Bu, Dokter masih berusaha.” Suaranya serak, seperti setiap kata adalah beban.
Pak Rahman ikut mendekat. “Ada apa sebenarnya, Ga? Apa yang terjadi?” Nada suaranya berat, tidak meninggi, tetapi cukup untuk membuat udara semakin tegang. Walau terlihat lebih tenang, garis di wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tidak kalah besar.
Arga meremas rambutnya sendiri, seolah ingin menyusun pikirannya yang tercerai-berai. “Dila keguguran, Bu.” ucapnya lirih, hampir tidak terdengar, namun cukup untuk membuat dunia Bu Liana seakan runtuh.
“Apa?” suara Bu Liana pecah. “Keguguran? Ya Tuhan, anak itu.” Air matanya langsung jatuh tanpa sanggup ditahan. “Cucu kami, Dila, oh, Nak.”
Arga mengusap wajahnya kasar, namun air matanya terus jatuh. “Aku… aku bahkan tidak tahu dia hamil, Bu. Aku tidak tahu. Kalau saja… kalau saja aku pulang lebih cepat. Kalau saja aku angkat telepon pertama kali dia menelepon, mungkin aku bisa...”
“Sudah,” potong Pak Rahman dengan suara tegas namun lembut. “Jangan salahkan dirimu dulu, Ga. Kita tidak tahu apa pun sampai dokter keluar.”
Meski begitu, suara itu tidak benar-benar menenangkan Arga. Kepalanya kembali menunduk, jemarinya mencengkeram lutut erat-erat. Rasa bersalah menelannya hidup-hidup.
Bu Liana duduk di samping Arga, menggenggam tangannya meski tangannya sendiri gemetar. “Dila pasti ketakutan sendiri, ya Tuhan, Ibu tidak ada di sana.” Air matanya jatuh semakin deras.
“Kami sama-sama tidak ada di sana.” bisik Arga dengan suara patah.
Keheningan menyelimuti mereka. Suara langkah perawat, denting alat medis, dan aroma antiseptik yang menusuk hanya membuat kecemasan makin terasa. Pak Rahman berdiri tegak, kedua tangannya disatukan di depan perut, matanya tertuju pada pintu IGD seolah ingin menembusnya.
Dalam hatinya, dia berusaha menerima kenyataan bahwa cucu yang bahkan belum sempat dia lihat, sentuh, atau tahu jenis kelaminnya, kini sudah tiada. Namun dia tetap menjaga ketenangan, seseorang harus tetap berdiri ketika yang lain mulai runtuh.
Beberapa menit terasa seperti berjam-jam. Arga terus mengusap wajahnya, menahan tangis yang tidak pernah benar-benar berhenti.
“Aku hanya ingin dia baik-baik saja…” bisiknya. “Aku tidak peduli pada yang lain. Aku hanya ingin Dila selamat.”
Bu Liana menepuk punggung Arga, walau dirinya sendiri kehilangan kendali. “Nak… yang penting sekarang keselamatan Dila dulu. Cucu kita, itu takdir Tuhan. Tapi Dila masih bisa kita jaga.”
Pak Rahman mengangguk, suaranya datar namun penuh ketegasan. “Kita tunggu dokter. Apapun hasilnya, kita hadapi bersama.”
Dan begitu mereka bertiga menatap pintu IGD yang tertutup rapat, mereka sama-sama menahan napas, memohon dalam hati, memohon agar pintu itu terbuka dengan kabar yang tidak menghancurkan lebih dari yang sudah hancur.
Tak lama kemudian, pintu ruang tindakan terbuka. Seorang dokter perempuan keluar dengan masker yang diturunkan hingga dagu, wajahnya tampak letih namun tenang. Seketika Arga berdiri paling depan, diikuti Bu Liana dan Pak Rahman yang langkahnya tergesa dan penuh cemas.
“Dok, bagaimana keadaan istri saya?” suara Arga terdengar pecah, hampir seperti seseorang yang memaksa dirinya tetap berdiri.
Dokter itu mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa mereka bisa sedikit tenang. “Ibu Dila sudah melewati masa kritis,” ujarnya dengan suara profesional namun penuh empati. “Saat tiba di IGD, tekanan darahnya sempat turun karena perdarahan cukup banyak akibat keguguran. Kami langsung memberikan cairan infus, obat untuk menghentikan perdarahan, dan melakukan tindakan medis darurat.”
Bu Liana menutup mulutnya, air mata mengalir begitu saja. “Lalu… bagaimana sekarang, Dok?”
“Kondisinya sudah stabil,” jelas dokter itu. “Namun kami terpaksa melakukan tindakan kuretase. Masih ada sisa jaringan kehamilan yang tertinggal di dalam rahimnya. Jika tidak segera dibersihkan, ia bisa kehilangan lebih banyak darah atau terkena infeksi serius.”
Arga menunduk, bahunya bergetar keras. seperti anak panah yang menyusup langsung ke dadanya. “Jadi, semuanya sudah bersih, Dok? Tidak ada bahaya lagi?”
“Untuk saat ini tidak,” jawab sang dokter. “Rahimnya sudah bersih dan perdarahannya sudah terkontrol. Kami akan memantau tekanan darahnya selama beberapa jam ke depan. Jika stabil, ia bisa dipindahkan ke ruang perawatan. Tapi, secara emosional, mungkin dia membutuhkan waktu.”
Pak Rahman mengangguk kecil, suaranya parau. “Apakah, ini karena kelalaian kami? Atau ada faktor lain, Dok?”
Dokter itu menggeleng. “Keguguran pada usia awal kehamilan sangat sering terjadi, dan sebagian besar bukan karena kesalahan siapa pun. Bisa karena ketidaksempurnaan perkembangan janin, perubahan hormon, atau sekadar kondisi tubuh ibu yang sedang lemah. Tidak ada satu pun orang yang bisa sepenuhnya mencegahnya.”
Arga mengusap wajahnya dengan kedua tangan. “Tapi, kalau saya pulang lebih cepat… kalau saya...”
Dokter menghentikannya dengan nada lembut namun tegas. “Pak Arga, mohon jangan menyalahkan diri sendiri. Bahkan jika Anda ada di rumah, hasilnya belum tentu berbeda. Yang terpenting sekarang, istri Anda selamat.”
Ucapan itu membuat Arga menutup mata erat, menahan gelombang rasa bersalah yang menghantamnya dari segala arah. Bu Liana memegang lengannya, mencoba menenangkan meski dirinya sendiri masih terpukul.
“Kapan saya bisa melihat Dila, Dok?” tanya Arga dengan suara nyaris berbisik.
“Dalam beberapa menit lagi,” jawab sang dokter. “Kami sedang membersihkan tubuhnya dari sisa darah dan mengganti infus. Jika sudah siap, perawat akan memanggil Anda.”
"Baik dok, terima kasih." Ucap Arga. Meskipun sebenarnya hatinya hancur.
CUMA MENTOK DISITU DOANG, GUE JAMIN SIH YANG BACA NYA UDAH BORING DULUAN
jd malas bacanya