Ana yang baru masuk ke tempat kerja baru, terpikat dengan Aris, pemuda yang tampan, baik, rajin bekerja dan sopan. Sempat pacaran selama setahun sebelum mereka menikah.
Di tahun kedua pernikahan mereka, karakter Aris berubah dan semakin lama semakin buruk dan jahat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Frans Lizzie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 - Aris antar pulang Ana
Hampir bersamaan dengan menghilangnya Aris dari sales office, suara Duncan berkumandang.
“Ladies and Gentleman, please join for the evening meeting.”
Ling Xie ikut keluar dari office-nya.
“Ayo, ayo cepat masuk meeting.” Ling Xie menggerak-gerakkan tangannya untuk mengajak rekan-rekan kerjanya bergegas. “Udah jam segini nih…biar jangan kemaleman banget kira pulang.”
Semua termasuk Yudi segera bergegas mengambil note dan pulpen untuk segera masuk ke ruang meeting.
Ling Xie berhenti sebentar sebelum masuk ke ruang meeting. “Ana, kamu nggak perlu masuk. Masih banyak kan, surat yang harus dibuat?”
Ana mengangguk. “Tapi aku kan harus bikin minute meeting.”
“Bakalan lama ini meeting nya. Kamu terusin aja kerjaannya. Biar nanti aku yang mintain ijin dari Mr. Duncan.”
Ana terlihat ragu. “Tapi kan harus ada yang bikin minute meeting-nya…”
“Udah gampang. Kan ada aku.” Ling Xie tersenyum dengan wajah tetap ceria. Seolah beban kerja yang berat sedari pagi bukan masalah baginya.
“Tapi…nanti Mr. Duncan murka…,”
“Nggak.” Wajah cantik oriental Ling Xie menggeleng sambil terus tersenyum. “Jangan kuatir. Aku nanti yang ngomong ke Duncan.”
Sebelum ia masuk ke ruang meeting, dia menambahkan, “Saranku, kamu print semua amplop dan suratnya. Jangan disela untuk stempel dan lipat surat. Kalau semua sudah ter-print, kamu bisa bawa semua ke mess. Bisa kamu kerjain di sana, minta tolong tetangga kamar atau temanmu lah. Stempel nya jangan lupa dibawa.”
“Wah, ide yang bagus sekali itu, Ce Ling Xie.” Ana sangat mensyukuri kebaikan Ling Xie. Walau kedudukan gadis Tionghoa tepat di bawah Mr. Duncan, tetapi perlakuan dia kepada team sangat berbeda dengan bosnya.
“Xie Xie ni.” Ana menunjukkan kepala dengan khidmat.
Dan dengan ucapan terimakasih dari Ana tersebut, pintu ruang meeting tertutup sampai sekitar pukul 6 petang. Selama itu, Ana dengan tekun berusaha menyelesaikan surat-surat tugasnya.
Pukul 6.10 petang pintu terbuka, Mr. Duncan melangkah keluar dengan langkah-langkah panjang.
“Ana….,” seru Mr. Duncan sebelum melangkah keluar. “Make sure everything are ready before sales team go tomorrow.”
“Understand, Sir.”
Sales team mulai bermunculan dari ruang meeting.
Yudi langsung duduk dan serius mengerjakan sesuatu di komputernya.
Tiur dan Yuni duduk sebentar di meja masing-masing, memilih beberapa berkas sebelum dimasukkan ke tas kantornya berdiri.
“Say, kami cabut dulu ya. Kami harus mampir ke beberapa tempat yang disuruh Dakocan tadi waktu meeting, habis itu kami pulang. Ga balik lagi ke sini.”
Tiur menepuk bahu Ana perlahan. “Aku juga duluan ya Ana. Sorry, aku ga bisa bantuin kerjaan kamu.”
Ana mengangguk. “Iya ga pa pa, Boru dan Uni.”
Mereka keluar. Sepuluh menit kemudian Yudi pun bangkit dari kursinya.
“Ana aku juga duluan ya. Ngapunten ora iso ngerewangi.”
Ana mengangguk sambil senyum terpaksa.
Tinggal ia dan Ling Xie yang masih bertahan di kantor saat hari sudah menggelap.
Suara-suara aktivitas orang bekerja semakin senyap. Terdengar suara aktivitas dinner buffet dari coffee shop hotel dimulai.
Ana mulai merasakan kepenatan luar biasa. Sudah sejak sebelum jam makan siang, intensitas pekerjaannya belum berkurang.
Bahkan untuk menghabiskan muffin dan donat yang dibawakan Ling Xie siang tadi pun, ia sampai lupa. Jadi praktis hari ini hanya satu potong croissant saja yang sempat mengisi perutnya.
Terdengar bunyi pintu kantor Ling Xie ditutup dan dikunci, disusul oleh kantor Mr. Duncan.
“Belum selesai ya Ana? Aku bantu kunci-in kantor Duncan ya. Nanti kalau Ana pulang tinggal kunci kantor sales. Lalu semua kuncinya dikembalikan ke Front Office ya, ditaruh tempat penyimpanan kunci di belakang operator.”
Ling Xie mendekati meja Ana. Ia meletakkan kunci kantor Duncan dan kantornya dengan tangan kanan. Kemudian di tangan kirinya, ia meletakkan sekitar 30 lembar surat beserta amplopnya.
“Mr. Duncan tadi menambahkan nama tamu undangan buat gathering. Ini aku sudah bantu kamu buat print kan. Kamu tinggal kasih stamp dan lipat masuk ke amplop.”
Ling Xie terdiam sesaat. “Aku pulang dulu ya Ana. Maaf, aku sudah capek sekali. Itu aku sudah bantu tambahan suratnya aja ya.”
Ana menerima surat-surat yang tercetak rapi beserta amplopnya dengan terharu. Wah, sungguh atasan yang sangat baik Ce Ling Xie ini, batin Ana. Mau-maunya dia membantu pekerjaannya padahal dia orang nomor 2 di departemen ini.
“Wah terima kasih banyak Ce Ling Xie. Terima kasih banyak,” ucap Ana bersungguh-sungguh.
Di saat yang hampir bersamaan Aris muncul ke dalam.
“Pak Aris juga mau pulang ya. Bisa nggak Pak Aris temani Ana dulu buat selesaikan nge-print? Tak lama lagi kan, Ana?”
“Tiga lembar ini saja dan amplopnya.”
“Sip!” Ling Xie beranjak pergi. “Aku duluan ya. Pak Aris bisa kan temani Ana sebentar?”
“Siap,” kata Aris tegas.
Pemuda tampan yang berkulit krem itu berjalan mendekati meja. “Aku bantu yang mana ini, Ana.”
“Ah, merepotkan ini Pak A..”
“Mas,” potong Aris cepat. “Jangan panggil aku Pak. Sedih aku rasanya kalau Ana panggil aku Pak.”
Eh! Aduh!
Iya Ana lupa lagi.
“Mas Aris. Ini sudah selesai kok. Maaf aku merepotkan ya.”
Ana buru buru merapikan tumpukan cetakan surat untuk dimasukkan ke dalam 2 map resleting. Amplop dimasukkan ke dalam map resleting yang lebih pendek ukurannya berikut stempelnya.
Sedangkan Aris mematikan AC dan bersiap di dekat saklar pusat untuk mematikan seluruh daya listrik di kantor ini. Tas kerja Ana sudah disampirkan ke bahunya.
Ketika Ana mau mengunci lacinya, ia melihat donat dan muffin. Perutnya sudah perih. Karena itu di sambarnya kotak roti itu sembari mematikan monitor komputer.
Aris menyambut map map yang ada di tangan kiri Ana, sementara tangan satunya lagi menyambar kunci-kunci kantor.
“Keluarlah terlebih dulu Ana. Aku yang akan mengunci pintu sales. Biar kunci-kuncinya aku yang kembalikan ke F O. Ana duluan aja, tunggu di absensi.”
Ana mengangguk lalu keluar dari sales office.
Suasana malam sangat terasa. Lampu-lampu temaram di taman dalam hotel membuat tubuh Ana terasa semakin lunglai.
Kotak roti yang berisi donat dan muffin dijepit lengan kirinya. Sementara kedua tangannya membawa pekerjaan kantornya.
Sudah hampir pukul 9 malam.
Bahkan makan malam pun dia tak akan sempat. Sesampai di mess dia pasti harus lembur menyelesaikan semua pekerjaannya.
Aris menemuinya di ruang absensi. Setelah absen keluar, Aris mengajak Ana naik motor Yamaha XSR nya.
Bermotor mereka berdua segera menuju mess yang tak terlalu jauh dari hotel.
Ana menolak ketika Aris mengajak untuk makan malam dulu, karena memang pekerjaannya masih banyak. Ana bilang akan memakan kue yang dibawanya saja.