Jangan lupa like dan komennya setelah membaca. Terima kasih.
Menjadi tulang punggung keluarganya, tidak membuat Zayna merasa terbebani. Dia membantu sang Ayah bekerja untuk membiayai sekolah kedua adik tirinya hingga tamat kuliah.
Disaat dia akan menikah dengan sang kekasih, adiknya justru menggoda laki-laki itu dan membuat pernikahan Zayna berganti menjadi pernikahan Zanita.
Dihina dan digunjing sebagai gadis pembawa sial tidak menyurutkan langkahnya.
Akankah ada seseorang yang akan meminangnya atau dia akan hidup sendiri selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Terimalah perjodohan itu
"Ada apa, Ma?" tanya Zanita saat Savina memutuskan panggilan.
"Papamu minta Mama beli buah dan makanan lainnya. Katanya nanti malam akan ada tamu, tapi siapanya Mama tidak tahu."
"Papa tidak bilang?"
"Tidak," jawab Savina. "Apa jangan-jangan itu orang yang akan dijodohkan dengan Zayna!"
"Papa mau jodohin Zayna?"
"Iya, Mama dengar sedikit saat mereka bicara semalam. Saat Mama tanya, papamu bilang tidak ada apa-apa."
Zanita tersenyum licik. Dia senang jika kakaknya menikah, setidaknya Fahri tidak akan kembali dengan Zayna. Meski dia sudah menikahi pria itu, tetapi hatinya masih merasa khawatir jika sang suami kembali ke pelukan mantannya. Namun, Zanita juga penasaran, seperti apa pria yang akan dijodohkan dengan kakaknya itu? Apakah orang kaya? Atau kebalikannya.
"Mama pernah tidak, membahas sama papa soal pria?"
"Tidak, Mama tidak tahu. Kemarin Mama sempat bicara tentang anak Pak Warsiman, tetapi papa malah marah dan melarang Mama untuk membahas pria itu. Semua orang tahulah bagaimana tabiatnya."
Sepertinya tidak mungkin jika pemuda itu. Meski Rahmat tidak begitu menyayangi Zayna, tetapi pria itu tetap memperhatikan semua anak-anaknya. Lalu siapa yang akan dijodohkan dengan putri sulung keluarga ini?
"Kamu mau ikut ke supermarket?"
"Tidak, Ma. Sebentar lagi Mas Fahri pulang. Mama sama Zivana saja."
Savina mengangguk dan berlalu menuju kamar Zivana.
*****
"Na, jalan-jalan, yuk! Senin depan kita dapat shift malam, nggak bisa jalan," ajak Alifia.
"Sorry, Al. Papa sudah wanti-wanti agar aku pulang cepet hari ini."
"Yah ... memang ada acara apa?"
"Nggak tahu, tadi pagi papa nggak bilang. Tadi saat makan siang, papa kirim pesan," sahut Zayna dengan berjalan ke depan.
"Kamu menyembunyikan sesuatu dariku, kan?"
"Menyembunyikan apa? Nggak ada!"
"Kamu nggak bisa bohong sama aku, Na."
Zayna menembuskan napas dengan pelan dan menjawab, "Aku sendiri tidak tahu rencana papa, tapi sepertinya ini ada kaitannya mengenai calon suami untukku."
"Calon suami? Apa maksudmu? Kamu jangan bercanda, Na. Pernikahan kamu dibatalkan baru beberapa hari yang lalu, tapi sekarang mau nikah lagi."
"Memangnya aku terlihat sedang bercanda?" tanya Zayna sambil duduk di atas motor dan menatap sahabatnya.
Alifia menggeleng tanpa bersuara. Dia hanya terkejut mendengar berita itu. Bagaimana bisa secepat itu orang tuanya mencari jodoh? Luka di hati Zayna saja belum sembuh benar, tetapi sudah dihadapkan dengan perjodohan.
"Apa kamu akan menerimanya?"
Zayna mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu. Dia tidak mengenal siapa pria yang akan dijodohkan dengannya. Sebenarnya gadis itu belum ingin membuka hati, tetapi Zayna tidak tega melihat papanya selalu digunjing orang. Di rumah juga Rahmat selalu berdebat dengan sang istri mengenai dirinya.
Sudah cukup bagi gadis itu menjadi beban papanya. Dia juga bisa pergi dari rumah ini dengan tenang jika menikah nanti. Zanita sudah menikah. Zivana juga sudah lulus kuliah meski belum bekerja jadi, beban papanya sudah berkurang.
"Sudah, ya, Al. Aku balik dulu, sampai bertemu besok," pamit Zayna yang segera menghidupkan motornya dan segera melaju meninggalkan restoran.
Selama perjalanan, Zayna memikirkan siapa kira-kira yang akan dijodohkan Rahmat dengannya. Seingatnya tidak ada seorang pun yang melamarnya. Dua tahun lalu mungkin ada, dia adalah anak Pak Warsiman. Gadis itu segera menggelengkan kepalanya kala teringat pemuda itu.
Pernikahan bagi Zayna adalah untuk menyempurnakan iman. Dia ingin memiliki suami yang baik dalam ibadah dan kesehariannya. Mampu membimbing dirinya dan anak-anaknya kelak ke jalan yang benar.
Terlalu larut dalam lamunannya, tidak terasa akhirnya sampai juga di rumah. Bertepatan juga dengan Fahri yang baru pulang kerja. Zanita yang sedang menunggu di depan rumah segera memeluk sang suami dengan mesra, seolah menunjukkan pada kakaknya jika tidak ada yang bisa merebut pria itu.
"Assalamualaikum," ucap Zayna yang memasuki rumah terlebih dahulu, diikuti Fahri dan Zanita di belakangnya.
"Di rumah tidak ada orang jadi tidak usah mengucap salam," sahut Zanita dengan ketus.
Zayna tidak menyahut. Dia meneruskan langkahnya menuju kamar. Gadis itu tidak ingin berdebat dengan adiknya, percuma saja, pikirnya.
"Memang semua orang ke mana, Sayang?" tanya Fahri begitu memasuki kamar.
"Mama sama Zivana ke supermarket. Tadi papa telepon suruh beli buah sama kue atau apalah, aku nggak tahu."
"Memang mau buat apa?"
"Kata mama, kemungkinan papa mau jodohin Kak Zayna sama seseorang, tapi siapanya mama nggak tahu."
Seketika pergerakan Fahri yang sedang membuka kancing baju terhenti. Sudut hatinya tidak rela jika Zayna menjadi milik pria lain, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Fahri sudah memiliki istri dan wanita itu adik dari mantan kekasihnya. Sungguh dia memang pria yang tidak punya hati.
Zanita yang melihat Fahri terdiam pun merasa geram. Ternyata suaminya ini belum sepenuhnya melupakan Zayna. Akan tetapi, dia tidak ingin membuat keributan. Zanita akan memastikan kakaknya menerima lamaran nanti. Terlepas siapa pria itu dan bagaimana rupanya.
"Kamu mau teh atau kopi, Sayang?" tawar Zanita yang sengaja ingin membuyarkan lamunan pria itu.
"Ko–kopi saja."
"Aku buatin dulu, ya!" Zanita berlalu meninggalkan sang suami. Namun, tujuannya bukan dapur melainkan kamar Zayna. Dia perlu berbicara dengan kakaknya dan memastikan sesuatu.
Wanita itu mengetuk pintu kamar Zayna beberapa kali hingga pintu terbuka dari dalam. Tampak sang kakak yang masih dengan pakaian kerjanya. Tanpa peduli dengan pemilik kamar, Zanita menerobos masuk begitu saja membuat Zayna kesal.
"Ada apa?"
"Ada yang perlu aku bicarakan denganmu," jawab Zanita dengan ketus.
Zayna hanya diam, menunggu adiknya berbicara. Bukan dia takut, gadis itu hanya tidak ingin mencari masalah saja. Kalau pun Zayna menolak berbicara, pasti wanita itu akan memaksanya.
"Aku harap kamu akan menerima perjodohan yang sudah diatur papa," lanjut Zanita.
"Maksudmu?"
"Kamu pasti sudah tahu, kan, kalau malam ini akan ada pria yang datang dan melamarmu jadi, aku minta kamu menerimanya."
Zayna tertawa sumbang. Bisa-bisanya adiknya ini mengatur kehidupannya. Mengenai menerima atau tidak, dia memang sudah menyerahkan sepenuhnya pada sang papa, tetapi bukan berarti Zanita bisa ikut campur setelah kegagalan sebelumnya karena ulah wanita itu.
"Aku menerimanya atau tidak, itu bukan urusanmu."
"Itu juga urusanku karena aku yakin perasaanmu pada suamiku masih sangat besar. Kamu ingin merebutnya kembali, kan? Jangan kira aku tidak tahu kalau beberapa kali kamu meliriknya!"
Zayna kembali tertawa, kali ini tawanya lebih kencang. Baginya ini antara tidak percaya diri dan tidak tahu malu. Tidak percaya diri karena takut suaminya diambil, tidak tahu malu karena dulu dia yang merebut calon suaminya, tetapi kini malah menuduh gadis itu seperti dia.
.
.
.