Seorang wanita cantik dan tangguh bernama Arumi Pratama putri tunggal dari keluarga Pratama.
Namun naas suatu kejadian yang tak pernah Arumi bayangkan, ia dituduh telah membunuh seorang wanita cantik dan kuat bernama Rose Dirgantara, adik dari Damian Dirgantara, sehingga Damian memiliki dendam kepada Arumi yang tega membunuh adik nya. Ia menikah dengan Arumi untuk membalas dendam kepada Arumi, tetapi pernikahan yang Arumi jalani bagaikan neraka, bagaimana tidak? Damian menyiksanya, menjadikan ia seperti pembantu, dan mencaci maki dirinya. Tapi seiring berjalannya waktu ia mulai jatuh cinta kepada Damian, akankah kebenaran terungkap bahwa Arumi bukan pelaku sebenarnya dan Damian akan mencintai dirinya atau pernikahan mereka berakhir?
Ikutin terus ceritanya yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arinnjay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 : Kebenaran Tak Pernah Satu
Pagi di Jakarta lebih cerah dari biasanya, seolah lupa bahwa dua hari lalu, sebuah nama besar baru saja runtuh. Nama keluarga Dirgantara—simbol kekuasaan, reputasi, dan kehormatan—kini terpampang di semua media sebagai tajuk skandal terbesar tahun ini.
Damian mematikan televisi di ruang tamu apartemennya. Ia tak sanggup lagi melihat wajah ayahnya muncul di layar. Bahkan nama belakang yang dulu ia banggakan, sekarang terasa seperti beban yang mencekik.
Arumi duduk di meja makan, menatap laptopnya. “Jurnalis dari Tempo dan Kompas minta interview soal kasus ini. Mereka bilang, kamu tokoh kunci.”
Damian mendesah. “Aku bukan tokoh apa-apa, Rum. Aku cuma... anak dari orang yang salah.”
Arumi memutar tubuhnya, menatap Damian serius. “Kamu anak dari orang yang salah, iya. Tapi kamu juga orang yang milih berdiri di sisi yang benar. Itu nggak semua orang bisa.”
Damian tak menjawab. Ia berjalan ke arah balkon, membawa segelas air dingin. Matanya menatap jauh ke cakrawala Jakarta yang sesak.
“Kadang aku mikir,” gumamnya, “gimana hidupku kalau Rose nggak mati. Kalau pernikahan kita cuma sekadar permainan keluarga, dan kamu bukan bagian dari semua ini.”
Arumi ikut berdiri di sampingnya. “Tapi kita tetap di sini. Bersama. Di tengah reruntuhan, kita masih bisa pilih untuk bangun sesuatu.”
Mereka diam sejenak. Hanya suara lalu lintas jauh di bawah mereka yang terdengar samar.
Sampai akhirnya, Damian bicara lagi. “Kamu masih simpan nomor ponsel terakhir yang dipakai Raka, kan?”
Arumi mengangguk. “Masih.”
“Coba kirim pesan. Nggak usah jelas-jelas. Kasih tahu kita bukan musuh. Kita cuma mau dengar sisanya dari dia.”
Arumi langsung membuka aplikasinya dan mengetik pelan:
“Kami sudah lihat semuanya. Kami percaya kamu. Kalau kamu masih hidup… tolong beri tanda. Kami butuh tahu apa yang belum sempat kamu katakan.”
Pesan terkirim. Ceklis satu.
Tak ada respons.
Tapi malam harinya, kejutan datang.
Saat Damian sedang mencuci muka di kamar mandi, ponselnya bergetar. Arumi yang melihat notifikasi pertama.
“Damian! Cek ini!” serunya panik.
Damian buru-buru keluar. Di layar ponsel, muncul balasan dari nomor Raka.
“Aku lihat kalian. Dari jauh. Aku percaya kalian. Tapi kalau kalian tetap cari aku, kalian akan masuk lebih dalam dari yang kalian kira.”
Damian terpaku. “Dia hidup…”
“Dan dia ngikutin kita,” gumam Arumi.
Pesan itu diikuti satu titik lokasi. Bukan alamat rumah. Tapi sebuah kafe tua di daerah Cikini, dengan keterangan waktu: besok, pukul 16.00. Sendiri.
Keesokan harinya, Damian datang sesuai janji. Ia tak membawa siapa-siapa, meski Arumi dan Saka memaksa untuk ikut dan berjaga di sekitar lokasi. Damian bersikeras—jika Raka ingin bicara, maka ia harus diberi rasa aman.
Kafe itu sepi. Hampir kosong. Damian memilih duduk di pojok ruangan. Wajahnya dibalut masker, topi hitam menutupi sebagian besar wajahnya.
Lima belas menit. Dua puluh. Setengah jam.
Dan akhirnya, seorang pemuda kurus dengan hoodie abu-abu duduk di kursi seberang. Ia membuka masker perlahan. Wajahnya persis seperti rekaman video yang mereka tonton di flashdisk—Raka.
“Terima kasih udah dateng,” katanya pelan.
Damian mengangguk. “Kamu baik-baik aja?”
“Masih hidup. Tapi terus dikejar.”
“Siapa yang kejar kamu?”
Raka menarik napas dalam. “Ada yang lebih besar dari Nadine. Lebih dalam dari Papa kamu. Mereka cuma pion. Orang-orang di belakang mereka... itu yang nggak kelihatan.”
“Organisasi?”
“Jaringan. Keuangan gelap. Penyalahgunaan dana kemanusiaan. Bahkan proyek properti besar. Mereka nyuci uang lewat semua itu.”
Damian tercenung. “Dan kamu tahu semuanya?”
“Aku cuma bocah magang yang nggak sengaja lihat satu folder. Tapi satu folder itu ngebuka semuanya.”
“Kamu masih simpan datanya?”
Raka menggeleng. “Sudah aku bagi ke lima tempat. Tapi aku kasih satu ke kamu. Karena kamu kehilangan Rose.”
Raka menyerahkan satu kartu memori kecil. Damian menerimanya, tangan sedikit gemetar.
“Apa isi di dalamnya?”
“Nama. Rekening. Transfer. Dan... rekaman suara Nadine dan orang yang disebut 'Pemilik Bayangan'.”
Damian mengernyit. “Siapa itu?”
Raka menunduk. “Kamu nggak siap dengarnya.”
Damian menatapnya dalam. “Aku udah kehilangan adik kandungku. Aku lihat ayahku diborgol. Aku bawa nama keluargaku sendiri jatuh ke dasar. Percaya deh… aku siap.”
Raka mengangguk pelan. “Dia bukan cuma dalang... Dia penyokong utama. Dan dia orang yang paling kamu percaya.”
Hening sesaat. Sampai akhirnya Raka berkata pelan: “Saka.”
Damian tercengang. “Nggak mungkin.”
Raka memelototinya. “Kamu pikir kenapa dia bisa temuin info lebih cepat dari kamu? Kenapa dia bisa dapet akses ke data yang bahkan kamu nggak tahu? Dia main dua sisi, Damian.”
Damian berdiri. Emosinya meledak. “Lo salah orang.”
“Lo pikir gue tega nuduh orang sembarangan?” Raka juga berdiri. “Gue mungkin cuma anak yang hilang arah. Tapi gue lihat siapa yang kirim orang buat nutup mulut Rose. Dan itu bukan cuma Nadine. Itu perintah dari seseorang yang namanya... Saka Pramana.”
Damian melangkah mundur.
“Ambil file itu. Lo buktiin sendiri. Gue udah capek dikejar. Gue mau hilang. Tapi lo—lo bisa tuntasin semua ini.”
Raka pergi tanpa menoleh. Damian terduduk kembali. Nafasnya memburu.
Tak lama kemudian, Arumi masuk ke dalam kafe. Ia melihat wajah Damian yang masih pucat.
“Raka?” tanyanya cepat.
“Udah pergi.”
“Apa dia bilang sesuatu?”
Damian menyerahkan kartu memori itu. “Dia bilang… pengkhianat kita... itu Saka.”
Malam itu, apartemen mereka sunyi. Damian dan Arumi membuka file dari kartu memori Raka. Folder itu terkunci dengan sandi, tapi dengan clue dari flashdisk sebelumnya, mereka berhasil membukanya.
File pertama: Transkrip transfer dana dengan kode nama pengirim: S.Prama.
File kedua: Email internal dari akun rahasia, dikirim ke Nadine, membahas "penutupan saksi" dan "pengalihan dana offshore".
File ketiga: rekaman suara. Jelas suara Saka. Berbicara dengan seseorang. Isi pembicaraan:
“Rose terlalu banyak tanya. Kalau kamu nggak beresin, aku sendiri yang turun. Kita nggak bisa biarin dia bawa nama kita ke luar. Gue jaga Damian. Lo jaga Nadine.”
Arumi menutup laptop perlahan. Wajahnya tak bisa menyembunyikan keterkejutan dan kekecewaan.
“Dia sahabat kamu...”
Damian hanya bisa menggeleng. “Dia keluarga yang aku pilih. Tapi ternyata dia juga... dalang semua ini.”
Mereka berdua terdiam. Tak tahu harus bagaimana.
Di luar, hujan mulai turun lagi.
Kali ini, bukan hanya langit yang menangis.
Tapi juga hati mereka—karena ketika pengkhianatan datang dari orang terdekat, rasanya lebih sakit daripada peluru.
Pagi keesokan harinya, Damian mengatur pertemuan dengan Saka. Ia tak bilang apa-apa. Hanya pesan singkat:
“Ketemu. Sekarang. Tempat biasa.”
Arumi bersikeras ingin ikut. Tapi Damian menolak. “Kalau sesuatu terjadi, kamu backup dari jauh. Aku mau lihat... seberapa dalam dia bisa pura-pura.”
Di rooftop gedung tempat mereka biasa bertemu untuk diskusi kasus, Saka sudah menunggu. Senyumnya seperti biasa. Wajah ramah. Tapi Damian kini melihat semuanya berbeda.
“Sori ya, semalam ketiduran. Ada perkembangan?”
Damian hanya menatapnya tajam.
“Lo inget pertama kali lo bilang ‘kita harus cari tahu siapa yang bunuh Rose’?”
Saka mengangguk. “Ya. Kenapa?”
Damian mendekat. “Waktu itu... lo udah tahu jawabannya, kan?”
Saka terdiam sesaat. Lalu tersenyum pahit.
“Gue pikir... lo baru akan sadar nanti. Tapi lo ternyata lebih cepat.”
“Lo bunuh Rose?”
“Gue cuma kirim peringatan. Tapi dia keras kepala.”
Damian mendorongnya ke tembok. “Lo ngorbanin adikku, cuma buat jaga jaringan busuk itu?”
Saka menatapnya, tanpa ampun. “Gue jaga sistem yang ngasih makan ribuan orang. Lo pikir dunia ini bisa bersih cuma karena idealismemu?”
Damian mengepalkan tangan. “Lo udah selesai.”
Saka menyeringai. “Udah telat. Banyak yang lebih tinggi dari gue. Lo buka satu, sepuluh lagi muncul. Lo bukan penyelamat, Damian. Lo cuma anak trauma yang mau balas dendam.”
Damian mengangkat ponsel. Di layar, aplikasi rekaman berjalan. Saka tersadar.
“Lo rekam gue?”
Damian tersenyum dingin. “Kali ini, gue yang selangkah lebih maju.”
Dari balik pintu rooftop, dua polisi bersenjata lengkap muncul. Saka hanya bisa tertawa miris saat diborgol.
Saat ia dibawa pergi, Damian berdiri menatap langit. Kali ini, tak ada hujan. Hanya angin pagi yang mengabarkan: satu teka-teki besar akhirnya terbuka.
Tapi ini belum akhir.
Masih ada ‘Pemilik Bayangan’.
Dan Damian tahu—perjalanan menuju kebenaran… baru saja dimulai.