Hanya kisah sederhana yang menceritakan tentang kehidupan rumah tangga dua anak manusia yang memiliki perbedaan usia yang sangat jauh berbeda.
Walaupun dengan perbedaan usia yang sangat jauh itu, mereka tetap saja saling jatuh cinta. Dan sama-sama berusaha untuk menjaga kesucian cinta mereka.
Si pria dewasa yang bertingkah seperti bocah, dengan sikap posesif dan pencemburunya. Dan si Gadis Kemarin Sore yang bertingkah sok dewasa.
Mereka diibaratkan bagaikan dua sayap dari satu ekor burung. Patah satu sayap saja, maka seekor burung pun tidak bisa terbang dengan satu sayap lainnya. Begitulah mereka, saling menyayangi, saling merawat dan saling menjaga, agar tidak ada sayap yang patah, dan agar seekor burung bisa tetap terbang sesuai dengan keinginan hatinya.
Om Posesif Itu, SUAMIKU!
________
Ig: Ichaannisaamanda
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Icha Annisa Amanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SI POLOS!
__________________
Aku sangat bersyukur karena mendapatkan sosok suami seperti Om Zidan. Suami yang bisa membimbingku menjadi lebih baik lagi. Mengingatkan apabila aku lupa. Menegur apabila aku salah. Dan mengajak apabila aku mulai malas. Ya, aku sangat beruntung memiliki dia.
Tapi, aku mungkin kurang beruntung karena memiliki teman-teman cowok yang rada gesrek semua! Dan mungkin ada 1 sampai 3 orang yang normal!
Aku yang baru saja datang dan duduk di bangku sudah dibuat berpikir yang tidak-tidak saja karena mendengar percakapan pagi mereka!
"Ndra, pernah nggak kamu tidur sendiri. Tapi bangunnya berdua?" Tanya si Yusuf pada si Indra. Suara mereka lumayan jelas. Masih bisa didengar oleh telinga kami semua!
"Pernah lah!" Indra menjawab dengan bangganya. "Nih, ya, si Pedro, pas aku bangun, dia ikut bangun juga!"
"Anjay! Namanya Pedro, Men!" Yusuf menepuk bahu Kemal yang duduk di sampingnya.
"Ngeri juga, ya?" Sahut si Kemal.
"Kenalin, si Maggi, tangguh, kuat dan tahan lama!" Yusuf berucap sambil menepuk-nepuk dadanya, yang membusung bangga.
"Thomas, dong! Selain panjang, dia juga terjamin sangat aktif dan ceria!" Kemal ikut-ikutan juga, dan ketika Curut itu pun tertawa bersamaan. Tawa mereka memenuhi seluruh ruang kelas! Dasar cowok-cowok gesrek!
"Manda? Mereka itu lagi ngomongin siapa?" Pertanyaan dari Arina yang begitu polos berhasil membuat aku menoleh ke arahnya.
Aku pun mengangkat pahu. Pura-pura tidak mengerti dan tidak tau apa-apa juga. "Entahlah, mungkin adik atau tetangga mereka!"
"Tapi kan si Kemal nggak punya adik? Terus si Thomas siapanya dia? Dan setauku, nama adiknya Yusuf bukan Maggi, deh. Tapi Saiful!" Sahut Ayu. Gadis itu tersenyum aneh sambil menatapku. Aku yakin, Ayu tidak sepolos itu!
"Mana ku tau! Tanya aja langsung sama mereka!" Sekali lagi, aku mengangkat bahuku, pura-pura tidak tau. Padahal, otakku yang sempat dibersihkan Om Zidan sudah ternodai lagi karena percakapan aneh mereka!
"Ah, udah lah. Nggak penting juga!" Akhirnya Arina yang betul-betul masih suci otaknya pun menyerah, dia bangkit dari duduknya dan hendak keluar dari kelas.
"Eh, mau kemana?" Aku ikut berdiri dan menyusulnya.
"Mau wudhu' kamu mau ikut juga?"
"Iya, deh. Aku juga mau wudhu. Supaya otakku sedikit bersih!" Jawabku lalu berlari menyusul Arina menuju Musholla. Ada tempat wudhu' khusus wanita di sana.
"Tunggu dulu!" Arina tiba-tiba saja mendekatiku saat aku baru membuka hijab. Hendak berwudhu'.
"Ini bekas apa, Manda?" Dia menujuk leherku. Wajahnya seperti orang ketakutan dan panik gitu. Memang ada apa dengan leherku?
"Kamu digigit apa? Kok sampe gini?" Dia sedikit menekan-nekan di beberapa bagian leherku. "Sakit, nggak?"
"Nggak," jawabku sambil menggeleng pelan.
"Masak? Coba liat di kaca dulu!"
Eh, Arina pun menarik lenganku sampai kita sama-sama berdiri di depan kaca. "Ini loh, Manda. Udah merah kebiruan gini masak nggak sakit? Ini bekas apa? Digigit apa?"
"Astagfirullah!" Aku menepuk jidat. Malu, malu dan malu! Itulah yang aku rasakan sekarang! Bagaimana aku bisa lupa dengan stempel cantik yang Om Zidan berikan?!
Aaaa. Malunya, rasanya aku ingin tenggelam ke dasar bumi aja!
"Kenapa?" Arina bertanya lagi. Mungkin dia sedang dihantui rasa penasaran yang amat besar sekarang tentang tanda merah ini!
Bagaimana ini? Aku harus menjawab apa? KAN MALU DAN LUCU JUGA, KALAU BILANG OM ZIDAN YANG MENGIGITKU?! Arina mana faham dengan hal begitu!
"Emmm, ini, ah, itu, aku masuk angin! Ya, masuk angin, terus digosokin deh sama Om Zidan!" Jawabku asal.
"Ooo, tapi kan...."
"Astaga, aku harus cepat! Aku lupa belum ngumpulin buku MTK!" Aku berusaha memotong ucapan Arina.
"Ah, iya, aku juga!" Syukurlah, akhirnya dia tidak jadi bertanya lagi. Aku menghembuskan napas lega.
Kami pun mulai berwudhu' dengan aku yang masih menahan rasa malu yang sangat besar! Beruntung tidak ada orang lain sekalian kami di sini!
"Ayo, Manda!" Ajak Arina setelah dia selesai memasang kaos kakinya.
"Yups!"
Kami berjalan melewati koridor kelas, dan di saat melewati kelas X, mataku tidak sengaja menatap ke arah dalam kelas itu. Ada si Reyno yang sedang menyapu dengan teman-temannya di sana. Kebetulan, pintu kelas mereka terbuka.
"Pagi, Kak!" sapa salah satu dari mereka. Aku dan Arina pun membalas sapaan mereka. "Pagi juga!"
Ternyata benar, Reyno bahkan tidak berani menatap ke arahku. Kira-kira, apa yang sudah Gilang katakan pada anak itu, ya? Kok bisa langsung patuh gitu?
Aku harap Gilang tidak mengancamnya dengan berlebihan!
"Manda, Arina? Buku PR Matematika kalian mana?" Vino, selaku ketua kelas langsung menagih begitu melihat kami masuk kelas.
"Sabar dikit, napa, Vin! Orang baru masuk juga!" Seperti biasa, Ayu yang selalu membela. Matanya menatap Vino dengan tajam.
"Iya, iya!" Seolah tak berdaya, Vino hanya bisa mengalah saja. Daripada berbedat dengan Ayu sepagi ini, mungkin begitu pikirannya!
"Ini, Pak Ketua!" Aku meletakan bukuku dan juga buku Arina dia atas meja Vino. Dan di saat aku memutar tubuh, hendak kembali duduk ke meja, tubuhku hampir saja menabrak tubuh Gilang yang berdiri di belakang! Beruntung Gilang cepat menghindar!
"Kamu nggak papa, Manda?"
"Iya."
Dia pun bergeser, memberikan jalan lewat untukku. Aku sempat melihat dia tersenyum. Matanya sedikit berbinar saat itu.
Tidak! Aku tidak boleh terpesona pada senyuman ataupun tatapan matanya! Itu semua berbahaya, dan mungkin saja bisa menimbulkan rasa cinta nantinya!
Setelah itu, suasana kelas pun hening karena Pak Hakam, guru Matematika sudah masuk! Pelajaran yang paling sering membuatku pusing pun dimulai!
___________________