Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7: LUKA YANG TERSENTUH**
# **
Sudah dua minggu Alara tinggal di mansion itu. Dua minggu yang terasa seperti dua tahun.
Rutinitas mereka tidak berubah. Nathan pergi sebelum fajar, pulang setelah tengah malam—atau tidak pulang sama sekali. Alara bekerja di kantor, menghadapi tatapan sinis dan bisikan yang tidak pernah berhenti. Mereka hidup di bawah atap yang sama, tapi seperti dua planet yang berputar di orbit berbeda—tidak pernah bersentuhan, tidak pernah bertabrakan.
Sampai malam itu.
Malam Jumat. Nathan pulang lebih awal—pukul 9 malam. Alara sedang duduk di teras belakang, memeluk secangkir teh hangat sambil menatap kolam renang yang airnya berkilauan di bawah lampu taman. Angin malam menyapu rambutnya yang terurai, tapi ia tidak merasa dingin. Atau mungkin ia sudah terlalu mati rasa untuk merasakan apa pun.
Ia mendengar suara mobil Nathan masuk garasi. Jantungnya berdegup—refleks aneh yang selalu muncul setiap Nathan pulang, seolah tubuhnya masih berharap akan ada sapaan, akan ada kehangatan. Tapi otaknya sudah tahu—tidak akan ada apa-apa.
Alara menghela napas panjang, meneguk tehnya yang sudah mulai dingin.
Di dalam rumah, Nathan melepas jasnya dengan gerakan lelah. Bahu tegang, rahang mengeras—tanda hari yang berat. Meeting dengan klien besar hari ini berakhir buruk. Kontrak nyaris lepas karena kesalahan tim marketing. Dan ia harus menghabiskan tiga jam menenangkan investor yang mengancam akan menarik dana.
Ia butuh ketenangan. Butuh ruang untuk bernapas.
Nathan naik ke lantai dua, melangkah ke ruang kerjanya—ruangan pribadi yang jarang ia gunakan di rumah, tapi hari ini ia butuh itu. Pintu kayu berat terbuka dengan bunyi berderit pelan. Ia menyalakan lampu, dan—
Berhenti.
Ada seseorang di sana.
Alara berdiri di depan rak buku, punggungnya menghadap Nathan. Di tangannya, sebuah bingkai foto.
Jantung Nathan seketika berdetak keras—bukan karena terkejut, tapi karena marah yang tiba-tiba meledak di dadanya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Suaranya keluar lebih tajam dari yang ia maksud.
Alara terlonjak, hampir menjatuhkan bingkai foto itu. Ia berbalik cepat, wajahnya pucat.
"Nathan... aku... aku tidak tahu kau sudah pulang—"
"Itu bukan jawabannya." Nathan melangkah masuk, matanya menatap tajam ke bingkai foto di tangan Alara. "Apa yang kau lakukan di ruang kerjaku?"
Alara menelan ludah. Tangannya gemetar memegang foto itu. "Aku... aku cuma... Bi Sari bilang ada buku tentang arsitektur di sini. Aku butuh referensi untuk proyek kantor dan—"
"Dan kau merasa punya hak untuk masuk ruanganku tanpa izin?" Nathan memotong dingin.
"Aku tidak bermaksud—"
"Taruh itu."
Suara Nathan seperti cambuk. Alara tersentak.
"Nathan, ini cuma foto—"
"TARUH ITU!"
Teriakan itu menggelegar di ruangan kecil itu. Alara terdiam, tubuhnya membeku. Ia belum pernah melihat Nathan seperti ini—matanya menyala, rahangnya mengeras, tangannya mengepal begitu erat hingga buku-buku jari memutih.
Dengan tangan gemetar, Alara meletakkan bingkai foto itu kembali ke rak. Tapi matanya sempat melihat—foto seorang wanita cantik berambut panjang, tersenyum lebar di samping Nathan yang jauh lebih muda. Mereka berdiri di depan pantai, sinar matahari menerangi wajah bahagia mereka.
Nathan merebut foto itu dari rak, memeriksa apakah ada goresan, lalu meletakkannya dengan hati-hati—terlalu hati-hati—kembali ke tempatnya.
"Jangan pernah sentuh barangku," katanya dengan suara bergetar menahan amarah. "Jangan pernah masuk ruangan ini lagi tanpa izinku. Dan jangan—jangan pernah—sentuh foto itu."
Alara berdiri membeku. Dadanya naik-turun, napasnya memburu. Ada yang mencengkeram tenggorokannya, membuatnya sulit bernapas.
"Aku minta maaf," bisiknya. Suaranya serak. "Aku tidak tahu—"
"Tidak tahu?" Nathan tertawa—tawa yang pahit, getir. "Kau tidak tahu batasan? Kau tidak tahu privasi? Atau kau pikir karena kau istriku, kau bisa seenaknya masuk ke mana pun, sentuh apa pun?"
Setiap kata seperti tamparan.
"Aku istri palsumu," kata Alara pelan, tapi tegas. Matanya mulai memanas. "Istri kontrak yang bahkan tidak kau anggap. Jadi maafkan aku kalau aku tidak tahu aturan main di rumah ini—karena kau tidak pernah bilang!"
"Aturan main?" Nathan melangkah mendekat, tatapannya menusuk. "Aturannya sederhana, Alara. Jangan sentuh hidupku. Jangan masuk ke wilayahku. Dan jangan coba-coba menggali masa laluku."
"Aku tidak menggali apa-apa!" Alara mulai frustrasi, air matanya mengancam jatuh. "Aku cuma ambil buku! Foto itu kebetulan ada di rak yang sama!"
"Kebetulan?" Nathan menyeringai—seringai yang menyakitkan. "Tidak ada kebetulan di rumah ini. Kau masuk ruanganku, kau sentuh fotonya, dan sekarang kau mau bilang itu kebetulan?"
"Kenapa kau begitu sensitif?!" Alara akhirnya meledak, air matanya mulai jatuh. "Itu cuma foto! Cuma sebuah foto sialan—"
"ITU BUKAN CUMA FOTO!"
Teriakan Nathan membuat Alara terdiam seketika.
Nathan bernapas berat, dadanya naik-turun. Tangannya mengepal, tubuhnya bergetar—tapi bukan karena marah. Ada yang lain. Ada... rasa sakit.
"Itu..." Suaranya tiba-tiba melemah. "...bukan cuma foto."
Hening mencekam menggantung di antara mereka.
Alara menatap Nathan dengan mata berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, ia melihat—benar-benar melihat—luka di balik tembok es itu. Luka yang dalam. Luka yang belum sembuh.
"Siapa dia?" tanya Alara pelan. Suaranya lembut kali ini, tidak mendesak.
Nathan tidak menjawab. Ia berbalik, tangannya menyentuh rak di mana foto itu berada. Jemarinya menelusuri bingkai dengan sentuhan yang begitu lembut—sentuhan yang tidak pernah ia berikan pada Alara.
"Kau tidak perlu tahu," katanya akhirnya. Tapi suaranya serak.
"Nathan..." Alara melangkah mendekat. "Aku tahu kita bukan pasangan sungguhan. Aku tahu ini hanya kontrak. Tapi kita tinggal satu atap. Kita... kita bisa jadi teman, bukan? Kau bisa cerita—"
"Cerita?" Nathan berbalik tiba-tiba, matanya memerah. "Cerita untuk apa? Supaya kau bisa kasihan? Supaya kau bisa merasa lebih baik tentang pernikahan menyedihkan ini?"
"Bukan begitu—"
"Lalu apa?" Nathan melangkah mendekat, tatapannya tajam tapi ada air di sudut matanya—air yang ia coba tahan. "Kau pikir kalau aku cerita, kita akan jadi lebih dekat? Kau pikir aku akan tiba-tiba jatuh cinta padamu dan pernikahan ini akan jadi nyata?"
Kata-kata itu menohok tepat di jantung Alara.
"Aku tidak pernah berharap begitu," bisik Alara, suaranya bergetar hebat. "Aku tahu tempatku. Aku tahu aku cuma... kontrak. Cuma solusi masalahmu. Tapi aku juga manusia, Nathan. Aku juga punya perasaan. Dan hidup di rumah ini—hidup di sampingmu tapi tidak pernah dianggap—itu menyiksa."
Air matanya mengalir deras sekarang. Tubuhnya bergetar.
"Setiap hari aku bangun di rumah ini, aku merasa seperti hantu. Tidak dilihat. Tidak didengar. Kau bahkan tidak pernah tanya bagaimana hariku. Kau tidak pernah peduli aku disakiti orang-orang di kantor. Kau tidak pernah—"
Suaranya putus. Ia menutupi wajahnya dengan tangan, mencoba menahan isak yang ingin meledak.
Nathan berdiri membeku. Dadanya sesak menyaksikan Alara hancur di hadapannya. Ada sesuatu di dalam dirinya yang ingin melangkah maju, ingin memeluknya, ingin bilang maaf.
Tapi ia tidak bisa.
Karena membiarkan seseorang masuk—membiarkan seseorang peduli—berarti membuka luka yang sudah ia tutup rapat selama lima tahun.
"Kau disakiti di kantor?" tanya Nathan akhirnya. Suaranya pelan, hampir tidak terdengar.
Alara mengusap air matanya kasar. "Tidak penting."
"Alara—"
"TIDAK PENTING!" Alara menatapnya dengan mata penuh luka. "Karena kau tidak akan peduli. Karena kau tidak pernah peduli sejak awal."
"Itu tidak benar—"
"Lalu apa yang benar, Nathan?" Alara melangkah mundur, menciptakan jarak. "Kau bilang ini hanya bisnis. Kau bilang jangan pernah berharap. Kau bilang jangan sentuh hidupmu. Tapi di saat yang sama, kau paksa aku tinggal di rumah ini, kau paksa aku hidup dalam kebohongan ini, kau paksa aku jadi istrimu di depan orang lain tapi perlakukan aku seperti orang asing di rumah sendiri!"
Suaranya meninggi, penuh emosi yang sudah lama ia pendam.
"Aku lelah, Nathan. Aku lelah berpura-pura. Aku lelah hidup dalam pernikahan tanpa kehangatan. Aku lelah sendirian di rumah besar ini sambil menunggu suami yang tidak pernah datang!"
Nathan terdiam. Rahangnya mengeras. Tangannya mengepal.
"Kalau kau lelah," katanya dingin—tapi ada getaran di suaranya. "Pintu di sana. Kau bisa pergi kapan saja."
Kata-kata itu seperti tikaman terakhir yang menghancurkan sisa-sisa pertahanan Alara.
Ia menatap Nathan dengan mata yang kosong—kosong karena lelah, karena sakit yang tak tertahankan.
"Kau tahu aku tidak bisa pergi," bisiknya. "Karena kalau aku pergi, perusahaan ayahku akan hancur. Kontrak akan batal. Dan semua pengorbanan ini akan sia-sia."
Ia tersenyum pahit—senyum yang paling menyedihkan yang pernah Nathan lihat.
"Jadi aku akan tetap di sini. Aku akan tetap jadi istrimu. Aku akan tetap berpura-pura. Tapi jangan pernah—jangan pernah—salahkan aku kalau suatu hari aku benar-benar mati di dalam pernikahan ini."
Alara berjalan melewati Nathan, bahunya menyentuh lengan Nathan sekilas. Sentuhan singkat itu terasa dingin.
Nathan mendengar langkah kaki Alara menuruni tangga. Mendengar pintu kamarnya tertutup. Lalu hening.
Ia berdiri sendirian di ruang kerjanya, menatap foto yang tadi Alara sentuh.
Foto dirinya dan Kiara—wanita yang meninggalkannya lima tahun lalu tanpa penjelasan. Wanita yang menghancurkan hatinya hingga ia bersumpah tidak akan pernah membiarkan siapa pun masuk lagi.
Nathan mengambil foto itu, menatap wajah tersenyum Kiara. Dulu, senyum itu adalah dunianya. Tapi sekarang... sekarang hanya pengingat akan rasa sakit.
Ia meletakkan foto itu menghadap ke bawah.
Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, Nathan tidak sanggup menatap foto itu.
Karena malam ini, untuk pertama kalinya, ia menyadari—mungkin ia bukan satu-satunya yang menderita dalam pernikahan ini.
Dan kesadaran itu lebih menyakitkan dari apa pun.
---
**KAMAR ALARA**
Alara merosot di balik pintu, memeluk lututnya. Isak tangisnya pecah—dalam, getir, penuh luka yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Ia menangis untuk pernikahan yang tidak pernah dimulai. Untuk harapan yang tidak pernah ada. Untuk rasa sakit yang harus ia tanggung sendirian.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Alara benar-benar mempertanyakan—
*Berapa lama lagi aku bisa bertahan?*
Jawabannya tidak ia ketahui.
Yang ia tahu—setiap hari di mansion ini membunuhnya perlahan.
Dan suatu hari, mungkin tidak akan ada lagi yang tersisa.
---
**[BERSAMBUNG KE BAB 8]**