NovelToon NovelToon
Sumpah Raja Duri

Sumpah Raja Duri

Status: tamat
Genre:Fantasi Isekai / Mengubah sejarah / Fantasi Wanita / Peramal / Cinta Istana/Kuno / Tamat
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

Elara, seorang ahli herbal desa dengan sihir kehidupan yang sederhana, tidak pernah menyangka takdirnya akan berakhir di Shadowfall—kerajaan kelabu yang dipimpin oleh raja monster. Sebagai "upeti" terakhir, Elara memiliki satu tugas mustahil: menyembuhkan Raja Kaelen dalam waktu satu bulan, atau mati di tangan sang raja sendiri.
​Kaelen bukan sekadar raja yang dingin; ia adalah tawanan dari kutukan yang perlahan mengubah tubuhnya menjadi batu obsidian dan duri mematikan. Ia telah menutup hatinya, yakin bahwa sentuhannya hanya membawa kematian. Namun, kehadiran Elara yang keras kepala dan penuh cahaya mulai meretakkan dinding pertahanan Kaelen, mengungkap sisi heroik di balik wujud monsternya.


Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8: Perpustakaan Kuno

​Dua hari berlalu sejak kunjungan Duke Vane, dan Elara telah mengubah separuh hari-harinya menjadi pertempuran melawan debu dan karat di rumah kaca tua istana.

​Vorian menepati janjinya. Dia mengirimkan dua prajurit—sepasang saudara kembar bertubuh raksasa bernama Brann dan Brom—untuk membantu pekerjaan kasar. Mereka tidak banyak bicara (mungkin takut salah bicara di depan calon 'korban' Raja), tapi tenaga mereka sangat berguna untuk mengangkut puing-puing kaca dan mencabut akar tanaman liar yang sudah membatu.

​Namun, Elara membentur tembok penghalang. Secara harfiah dan kiasan.

​Sistem pengairan di rumah kaca itu bukan sistem pipa biasa. Itu adalah Hydro-Magica, sistem kuno yang menggunakan kristal mana untuk memompa air dari mata air bawah tanah. Dan kristal utamanya retak.

​Elara duduk bersila di lantai tanah yang kotor, menatap kristal biru pudar itu dengan frustrasi. Dia tahu cara merawat tanaman, bukan cara memperbaiki mesin sihir kuno.

​"Aku butuh manual instruksi," gumamnya, menyeka keringat di dahi dengan punggung tangan yang kotor.

​"Manual instruksi untuk teknologi Dinasti Aethelgard tidak dijual di pasar desa, Nona," suara berat Brann terdengar dari balik tumpukan batu.

​Elara menghela napas. Hanya ada satu tempat di Shadowfall yang mungkin memiliki jawabannya. Dan hanya ada satu orang yang memegang kuncinya.

​Elara berdiri di depan pintu ruang kerja Kaelen. Dia ragu sejenak, mengangkat tangannya untuk mengetuk, lalu menurunkannya lagi. Sejak insiden makan malam dan luka bakar itu, Kaelen kembali mengurung diri. Dia tidak memanggil Elara untuk mengganti perban, yang berarti dia mungkin sedang menahan sakit sendirian atau lukanya sudah membaik (kemungkinan pertama lebih besar).

​Demi rumah kaca. Demi Mila, batin Elara menyemangati diri.

​Tok. Tok. Tok.

​Hening.

​"Yang Mulia," panggil Elara. "Saya tahu Anda di dalam. Saya bisa mendengar Anda bernapas."

​Sebenarnya dia tidak bisa mendengarnya, tapi dia bertaruh saja.

​Terdengar suara langkah kaki berat. Pintu terbuka dengan sentakan kasar. Kaelen berdiri di sana, terlihat lebih berantakan dari sebelumnya. Kemejanya tidak dikancing dengan benar, rambut hitamnya acak-acakan, dan lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas.

​"Apa kau punya hobi mengganggu ketenangan orang?" gerutu Kaelen, bersandar di kusen pintu seolah dia terlalu lelah untuk berdiri tegak.

​"Dan apa Anda punya hobi mati perlahan di dalam kamar gelap?" balas Elara cepat.

​Sudut bibir Kaelen berkedut sedikit. Mungkin dia merindukan perdebatan ini, meski tidak akan pernah mengakuinya.

​"Apa mau-mu, Elara? Obatmu sudah bekerja. Bahuku membaik. Lukamu..." Mata Kaelen jatuh ke jari-jari tangan kanan Elara yang kini dibalut perban baru yang lebih rapi.

​"Lukaku sembuh," potong Elara, mengangkat tangannya. "Tapi rumah kaca Anda sekarat. Saya butuh akses ke Perpustakaan Kerajaan. Sistem pengairannya rusak dan saya butuh buku panduan tentang kristal Hydro-Magica."

​Kaelen mengerutkan kening. "Perpustakaan itu terkunci. Disegel dengan sihir darah ayahku. Tidak ada yang masuk ke sana selama dua puluh tahun. Isinya mungkin sudah jadi debu."

​"Kalau begitu, mari kita lihat debunya," tantang Elara. "Kecuali Anda takut pada buku?"

​Kaelen menatapnya lama, tatapan menimbang yang membuat Elara merasa transparan. Akhirnya, dia menghela napas panjang, hembusan napas yang berbau tembakau dan mint.

​"Kau benar-benar keras kepala," katanya. "Tunggu di sini. Aku ambil kunci."

​Pintu masuk Perpustakaan Kerajaan bukanlah pintu kayu biasa, melainkan sebuah gerbang batu melengkung dengan ukiran wajah naga yang tertidur. Tidak ada lubang kunci.

​Kaelen melangkah maju. Dia membuka sarung tangan kulit di tangan kanannya—tangan monsternya. Dengan ragu, dia menempelkan telapak tangan batu berdurinya ke dahi ukiran naga itu.

​"Buka," perintahnya. Suaranya bergema, bercampur dengan kekuatan sihir gelap yang membuat udara bergetar.

​Mata naga batu itu menyala merah sesaat. Terdengar suara gemuruh batu bergeser, dan gerbang itu terbelah dua, membuka jalan menuju kegelapan.

​Kaelen menjentikkan jarinya. Bola-bola api kecil berwarna biru muncul melayang di udara, menerangi ruangan di depan mereka.

​Elara menahan napas. "Wow."

​Perpustakaan itu sangat besar. Luasnya mungkin setengah dari desa Elara. Rak-rak buku setinggi lima lantai menjulang sampai ke langit-langit yang melengkung, dipenuhi ribuan buku dengan punggung kulit beraneka warna. Tangga-tangga beroda yang rumit terhubung antar rak, dan di tengah ruangan terdapat model tata surya raksasa yang berputar pelan.

​Baunya seperti kertas tua, tinta, dan sihir yang terpendam. Bagi Elara, itu aroma yang lebih manis daripada parfum.

​"Jangan sentuh buku yang bersinar ungu," peringatan Kaelen saat mereka melangkah masuk. "Itu buku terkutuk. Jika kau membukanya, dia akan menjerit sampai gendang telingamu pecah."

​"Dicatat," kata Elara, matanya berbinar-binar menatap sekeliling. "Di mana bagian botani atau teknik?"

​"Lantai tiga, sektor timur," jawab Kaelen, seolah dia hafal tempat ini di luar kepala. "Dulu aku sering menghabiskan waktu di sini... sebelum semuanya berubah."

​Mereka menaiki tangga spiral besi. Langkah kaki Kaelen berat, sementara Elara melompat-lompat kecil karena antusias.

​"Di sini," Kaelen menunjuk deretan rak yang dipenuhi debu tebal.

​Elara segera mulai mencari, jarinya menelusuri judul-judul di punggung buku. Flora of the Abyss, Racun dan Penawarnya, Teori Manipulasi Air.

​"Ah! Ini dia!" seru Elara, menarik sebuah buku tebal bersampul hijau lumut. Mekanisme Sihir Alam: Panduan Insinyur Aethelgard.

​Dia membukanya di atas meja baca terdekat, meniup debu yang mengepul hingga membuatnya terbatuk. Kaelen berdiri di sampingnya, menjaga jarak aman, tapi cukup dekat untuk melihat.

​Elara membuka halaman demi halaman, keningnya berkerut.

​"Ada masalah?" tanya Kaelen.

​"Bahasa ini..." Elara menunjuk tulisan yang meliuk-liuk seperti cacing. "Ini bukan bahasa umum. Saya tidak bisa membacanya."

​Kaelen melirik halaman itu. "Itu bahasa High-Elven Kuno. Sudah punah tiga abad lalu."

​Elara membanting buku itu pelan dengan frustrasi. "Hebat. Kunci jawaban ada di depan mata, tapi terkunci bahasa mati."

​"Geser," kata Kaelen.

​Elara menyingkir sedikit. Kaelen mendekat ke meja. Dia tidak duduk, karena duri di punggungnya akan merusak kursi, jadi dia membungkuk di atas buku itu.

​"Bagian mana yang kau butuhkan?" tanyanya.

​"Diagram kristal pompa air," kata Elara, menunjuk gambar sketsa kristal yang retak.

​Kaelen menyipitkan mata, membaca teks kuno itu dengan lancar seolah dia sedang membaca menu makan malam.

​"Untuk memperbaiki inti kristal yang retak, penyihir harus menyelaraskan resonansi getaran dengan frekuensi bumi," Kaelen menerjemahkan dengan suara baritonnya yang rendah. "Dibutuhkan campuran bubuk perak dan getah pohon weeping willow sebagai perekat konduktif."

​Elara mendengarkan dengan seksama, terpesona bukan hanya oleh informasinya, tapi oleh perubahan sikap Kaelen. Saat dia membaca, monster itu menghilang. Wajahnya rileks, alisnya berkerut dalam konsentrasi akademis yang membuatnya terlihat... manusiawi. Dan tampan.

​Tanpa sadar, Elara mencondongkan tubuh lebih dekat untuk melihat gambar yang ditunjuk Kaelen. Bahu mereka hampir bersentuhan.

​Kaelen tiba-tiba berhenti membaca. Tubuhnya menegang. Dia bisa mencium aroma rambut Elara—wangi sabun lavender murahan dan tanah basah. Aroma yang sederhana, tapi anehnya menenangkan di tengah bau debu perpustakaan ini.

​Dia menoleh sedikit, dan menyadari wajah Elara hanya berjarak beberapa inchi dari wajahnya. Mata cokelat gadis itu menatap bibirnya yang sedang bergerak membaca, lalu beralih ke matanya.

​Waktu seakan melambat lagi, seperti di taman malam itu. Tapi kali ini tidak ada ancaman. Hanya ketertarikan yang murni dan berbahaya.

​"Getah Weeping Willow," bisik Elara, memecah kesunyian, meski suaranya sedikit parau. "Ada pohon itu di dekat danau belakang."

​Kaelen berdeham keras, mundur selangkah menjauh. "Ya. Dan bubuk perak bisa kau minta pada pandai besi istana."

​Dia menutup buku itu dengan satu tangan, lalu menyerahkannya pada Elara.

​"Bawalah. Aku akan menerjemahkan sisa halaman yang penting nanti malam dan menyalinnya untukmu."

​Elara memeluk buku berat itu di dadanya. "Anda mau melakukan itu? Itu akan memakan waktu berjam-jam."

​"Aku tidak bisa tidur, ingat?" jawab Kaelen datar, kembali memasang tembok dinginnya, meski tidak setebal sebelumnya. "Lagipula, aku ingin melihat apakah kau benar-benar bisa menghidupkan kembali rumah kaca itu. Ibuku... dia sangat menyukai tempat itu dulu."

​Informasi kecil itu—sepotong kenangan pribadi—terasa seperti hadiah bagi Elara.

​"Saya akan memperbaikinya," janji Elara. "Dan saat bunga pertama mekar, Anda orang pertama yang akan melihatnya."

​Kaelen menatapnya, ekspresinya rumit. Ada kesedihan, keraguan, tapi juga secercah harapan kecil.

​"Kita lihat saja nanti," katanya. "Ayo keluar. Debu di sini membuatku bersin, dan jika aku bersin, aku bisa saja tidak sengaja membakar rak buku ini."

​Elara tertawa. Itu tawa yang lepas dan renyah, bergema di antara rak-rak buku tua.

​Kaelen terdiam mendengar suara itu. Sudah berapa lama sejak ada suara tawa di istana ini? Sepuluh tahun?

​Saat mereka berjalan keluar, bola-bola api biru padam satu per satu di belakang mereka. Tapi di dalam kegelapan perpustakaan, sesuatu telah berubah. Bayangan tidak lagi terasa begitu menakutkan, karena ada dua orang yang berjalan berdampingan menembusnya.

​Malam itu, di kamarnya, Kaelen duduk di meja kerjanya. Di hadapannya ada perkamen kosong dan pena bulu. Dia membuka buku kuno itu, dan mulai menyalin terjemahan untuk Elara.

​Tulisannya, yang dilakukan dengan tangan kiri manusianya, miring dan agak berantakan, tapi dia terus menulis sampai lilinnya habis terbakar.

​Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Raja Kaelen tidak memikirkan rasa sakit di tubuhnya. Dia memikirkan tentang getah pohon dan bubuk perak. Dia memikirkan tentang kehidupan.

BERSAMBUNG...

Terima kasih telah membaca💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
Alona Luna
wahhh akhirnya happy ending ☺️
Alona Luna: wahhhh ok. baik
total 2 replies
Alona Luna
semangat next kak☺️
Alona Luna: sama-sama kak.☺️
total 2 replies
Alona Luna
next kak.. makin seru ceritanya
Ara putri
semangat kak, jgn lupa mampir juga keceritaku PENJELAJAH WAKTU HIDUP DIZAMAN AJAIB
tanty rahayu: semangat juga ya ka.... wah kayanya seru tuh 😍nanti aku mampir baca ya
total 1 replies
Alona Luna
ceritanya bagus kak. next
Alona Luna: aku tunggu kak☺️
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!