Novel ini akan mengisahkan tentang perjuangan Lucas Alarik yang menunggu sang kekasih untuk pulang kepelukannya. Mereka berjarak terhalang begitulah sampai mungkin Lucas sudah mulai ragu dengan cintanya.
Akankah Mereka bertemu kembali dengan rasa yang sama atau malah asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lee_jmjnfxjk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17.Retak yang Mulai Terlihat
Dewi muncul kembali di hidup Lucas tanpa pengumuman.
Ia berdiri di dekat pintu kelas dua belas.satu. menyandarkan bahu seolah kebetulan lewat, padahal tatapannya jelas tertuju pada satu orang. Lucas mengenalnya dengan baik—beda kelas, beda jalur pertemanan, tapi terlalu sering bertemu untuk disebut asing.
Beberapa bulan lalu, Dewi pernah menyatakan perasaannya. Langsung, tanpa berputar-putar.
Dan Lucas menolaknya.
Bukan dengan dingin, tapi juga tidak memberi harapan.
Sejak itu, hubungan mereka menggantung di wilayah abu-abu. Tidak benar-benar menjauh, tapi juga tidak pernah kembali seperti semula.
Kini, Dewi mendekat lagi. Lebih halus. Lebih percaya diri.
“Lama gak ngobrol,” katanya ringan sambil tersenyum. “Lu makin susah ditemuin.” lanjutnya.
Lucas mengangkat bahu. “Banyak urusan.”
Dewi tertawa kecil, langkahnya sedikit mendekat. “Lu selalu gitu. Selalu sibuk pas orang lain nyari.”
Lucas menangkap nada itu, tapi memilih diam. Dalam rencana Athaya, Dewi memang termasuk simpul lama yang perlu disentuh kembali. Bukan untuk diikat—cukup didekati. Cukup diamati.
Ia mulai menjalankan bagiannya. Mengikuti alur, mencatat detail kecil, membiarkan Dewi merasa nyaman tanpa melampaui batas. Semua terukur. Semua sadar.
Di Jepang, Athaya berdiri di hadapan Rajendra dengan ekspresi yang tidak sepenuhnya patuh, tapi juga tidak menantang.
“Kamu terlalu gegabah,” ujar Rajendra datar. “Keputusanmu hampir merusak struktur.”
Athaya menghela napas pelan, menahan emosi yang ingin naik.
“Fokus,” lanjut Rajendra. “Jangan seret emosi ke dalam gerakan dan pola pikirmu sebagai ketua tim.”
Kalimat itu membuat Athaya terdiam. Teguran itu tidak keras, tapi tepat sasaran. Ia tahu, emosinya—dan rasa khawatirnya—telah membuatnya melangkah terlalu cepat.
“Ini peringatan,” tambah Rajendra. “Kendalikan diri.”
Athaya mengangguk singkat. Di benaknya, wajah Lucas melintas. Rencana tetap berjalan, tapi jarak harus dijaga.
Sementara itu di Jakarta—
Danu berdiri di depan cermin kamar mandi sekolah, membasuh wajahnya lama-lama. Frustrasi itu masih ada, tapi tidak lagi menguasai. Ia sudah terlalu lama menunggu tanpa arah.
Hari itu, ia memutuskan untuk berhenti setengah-setengah.
Ia menghampiri Gio saat jam kosong. Duduk di bangku sebelah tanpa banyak kata. Tidak mendesak. Tidak menghakimi. Hanya hadir.
“Gw gak mau nyerah,” ucapnya pelan. “Bukan buat maksa. Tapi buat benerin.”
Gio tidak menjawab. Kepalanya berat. Mual itu datang lagi, lebih kuat. Nafsu makannya memang tidak lagi naik turun, tapi tubuhnya seolah menuntut istirahat yang tidak pernah cukup. Ia sering tertidur di kelas, kepala terkulai, buku terbuka tanpa dibaca.
Guru mulai menegur. Teman-teman mulai bertanya. Gio hanya mengangguk, menahan rasa tidak enak di tenggorokan.
Danu memperhatikan—dan kali ini, ia tidak berpaling.
Ujian akhirnya lewat. Hari berikutnya, angkatan Lucas resmi menjadi kelas dua belas yang “bebas”. Tidak ada lagi jam ketat. Tidak ada seragam yang diawasi. Tim lean mulai bergerak—rapat kecil, aktivitas bebas, rencana-rencana yang tertunda selama ujian kini dibuka.
Di sela kebebasan itu, Gio semakin tenggelam dalam lelahnya. Tidur di kelas menjadi kebiasaan. Danu duduk di sampingnya, memastikan ia bangun saat bel berbunyi. Tidak banyak bicara, tapi tetap ada.
Di tempat lain, Lucas masih memainkan perannya.
Athaya menahan diri.
Dan Dewi tersenyum, merasa semakin dekat.
Retakan itu tidak lagi samar.
Ia menunggu waktu untuk benar-benar terbuka.
—bersambung—