Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap
Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.
Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.
Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20_Runtuhnya pertahanan.
Jam digital di sudut ponsel menyala samar di kegelapan kamar: 23.47 WIB.
Lauren masih terjaga.
Ia berbaring memunggungi sisi ranjang yang kosong, selimut ditarik hingga dada. Lampu tidur dimatikan, tapi matanya tetap terbuka, menatap bayangan langit-langit yang nyaris tak terlihat. Malam terasa panjang, lebih panjang dari biasanya—seolah waktu sengaja melambat untuk menekannya.
Getaran kecil merambat dari nakas.
Ponselnya bergetar sekali. Lalu berhenti.
Lauren menghela napas pelan, mencoba mengabaikannya. Barangkali pesan promosi. Atau notifikasi tak penting. Namun getaran kedua datang, lebih lama, seakan memanggil.
Ia meraih ponsel itu.
Nama Maya muncul di layar.
Lauren menegakkan tubuhnya sedikit, jantungnya berdebar tanpa alasan yang jelas—atau justru terlalu jelas. Maya. Teman kantornya dulu. Seseorang yang jarang menghubunginya sejak ia berhenti bekerja.
Ia membuka pesan itu.
Sebuah foto muncul terlebih dahulu, sebelum teks.
Dan di detik yang sama, udara seperti ditarik paksa dari paru-parunya.
Dadanya sesak. Pandangannya berkunang. Perutnya langsung berkontraksi, kram tajam menjalar seperti cengkeraman dari dalam. Lauren refleks menekan perutnya dengan telapak tangan, napasnya terputus-putus.
Foto itu tidak buram. Tidak samar. Terlalu jelas.
Arga—dengan jas gelap yang ia kenal betul—dan Nadira. Lengan Arga melingkar di punggung wanita itu. Nadira menempel erat, kepalanya bersandar di dada Arga. Mereka berdiri di lorong hotel, tepat di depan pintu kamar yang setengah terbuka. Cahaya kuning redup menyoroti mereka, cukup untuk membuat segalanya tak terbantahkan.
Mereka tidak terlihat ragu.
Tidak terburu-buru.
Tidak seperti dua orang yang takut dilihat.
Lauren menutup matanya sejenak, tapi gambar itu sudah terlanjur terpatri.
Perutnya kembali mencengkeram, lebih kuat. Ia membungkuk sedikit, menahan rasa sakit yang datang bergelombang—seperti setiap kali tubuhnya bereaksi terhadap tekanan yang terlalu lama ia pendam.
Dengan jari yang gemetar, Lauren mengusap layar dan membaca pesan teks di bawah foto itu.
Maya:
Aku tahu sudah malam dan rasanya tidak sopan. Tapi, Lauren… kamu harus tahu ini.
Hanya itu.
Tidak ada penjelasan panjang. Tidak ada permintaan maaf berlebihan. Seolah Maya tahu—kata-kata tambahan justru akan terasa kejam.
Lauren menatap layar ponsel itu lama sekali. Terlalu lama. Hingga cahaya birunya terasa menyakitkan di mata.
Jadi ini maksud parfum itu.
Ini asal lipstik di kemeja.
Ini arti jarak yang kian hari kian terasa nyata.
Bukan lagi dugaan.
Bukan lagi intuisi.
Bukan lagi rasa yang ia paksa bungkam dengan senyum dan rutinitas.
Ini bukti.
Lauren menurunkan ponselnya ke atas kasur. Tangannya bergetar saat menekan perutnya sendiri, mencoba meredakan kram yang datang bersamaan dengan rasa mual. Napasnya tersengal, dadanya naik turun tak beraturan.
Ia tidak menangis.
Belum.
Ada jeda aneh di dalam dirinya—ruang kosong sebelum runtuh. Seperti saat seseorang berdiri di tepi jurang, belum jatuh, tapi sudah tahu tanah di bawahnya tak lagi aman.
Lauren bersandar ke kepala ranjang, memejamkan mata. Di luar, malam tetap berjalan seperti biasa. Tidak ada yang berubah di dunia—kecuali dunianya sendiri.
Dan di tengah keheningan pukul 23.47 itu, Lauren menyadari sesuatu dengan sangat jelas:
Kali ini, lukanya bukan lagi tentang kesepian.
Ini tentang pengkhianatan yang akhirnya berani menunjukkan wajahnya.
Ia membuka mata perlahan.
Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ada sesuatu selain sedih yang berdenyut di dadanya—
kesadaran bahwa hidupnya tidak lagi bisa kembali ke bentuk semula.
Lauren berdiri.
Atau setidaknya mencoba.
Begitu telapak kakinya menyentuh lantai, dunia berputar tajam. Lututnya melemah tanpa peringatan, tubuhnya oleng ke samping. Ia meraih ujung ranjang untuk bertahan, napasnya terengah, seperti baru saja ditarik paksa dari dasar air.
“Bernapas…,” gumamnya lirih, lebih seperti perintah putus asa pada dirinya sendiri.
Ia melangkah tertatih ke jendela. Tangannya gemetar saat menarik gorden, lalu membuka jendela selebar mungkin. Udara malam masuk, dingin dan lembap, namun tetap terasa tidak cukup. Lauren membuka jendela yang lain. Dan yang lain lagi. Hingga semua jendela kamarnya terbuka.
Masih sesak.
Dengan sisa tenaga, ia membuka pintu balkon. Engselnya berderit pelan, suara kecil yang terdengar terlalu keras di telinganya. Lauren melangkah keluar, berdiri di balkon lantai dua, kedua tangannya mencengkeram pagar besi.
Malam membentang di hadapannya—sunyi, gelap, tak peduli.
Ia menarik napas dalam-dalam.
Udara masuk… sedikit… lalu berhenti.
Dadanya terasa seperti diikat. Paru-parunya menolak bekerja. Setiap tarikan napas berakhir dengan rasa perih, seperti menghirup sesuatu yang salah.
“Kenapa…,” bisiknya, suaranya pecah. “Kenapa sesulit ini…?”
Perutnya kembali mencengkeram, kramnya datang lebih kejam. Lauren membungkuk sedikit, satu tangan menekan perut, satu tangan masih berpegangan pada pagar balkon. Keringat dingin membasahi pelipisnya.
Ia tidak kuat.
Lauren berbalik masuk ke kamar, membiarkan semua jendela dan pintu balkon tetap terbuka—seolah berharap udara akhirnya mau berbaik hati. Namun langkahnya goyah. Dunia bergetar.
Kakinya menyerah.
Lauren jatuh terduduk di lantai kamar, punggungnya membentur sisi ranjang. Bunyi tumpul itu nyaris tak ia sadari. Perasaannya sudah lebih dulu runtuh.
Dan di situlah, pertahanannya pecah sepenuhnya.
Tangisnya meledak—keras, tercekik, tak lagi peduli pada siapa pun. Lauren memukul dadanya sendiri dengan tangan gemetar, seakan mencoba menghancurkan rasa sesak yang tak mau pergi.
“Sakit…,” isaknya terbata. “Sakit banget…”
Ia melipat tubuhnya, memeluk dirinya sendiri erat-erat, seolah hanya pelukan itu yang tersisa di dunia. Bahunya bergetar hebat. Tangisnya berubah menjadi histeris, napasnya putus-putus di sela isak yang tak beraturan.
Tidak ada lagi senyum sopan.
Tidak ada lagi pura-pura kuat.
Tidak ada lagi diam demi menjaga apa yang sudah lama hancur.
Air matanya jatuh tanpa henti, membasahi lantai, bajunya, tangannya sendiri. Ia menangis seperti seseorang yang akhirnya mengizinkan dirinya merasa—setelah bertahun-tahun menahan.
Lauren meremas dadanya, seolah jantungnya terlalu penuh untuk tetap berada di tempatnya.
“Kenapa aku nggak cukup…?” suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam isak. “Apa salahku…?”
Jawaban tidak datang.
Yang ada hanya kamar yang terbuka lebar, malam yang dingin, dan seorang wanita yang sendirian memeluk luka paling dalam yang selama ini ia sembunyikan dari dunia.
Dan untuk pertama kalinya malam itu, Lauren tidak mencoba berhenti menangis.
Ia membiarkan dirinya hancur.
Anyway, semangat Kak.👍