Andra dan Trista terpaksa menikah karena dijodohkan. Padahal mereka sudah sama-sama memiliki kekasih. Pernikahan kontrak terjadi. Dimana Andra dan Trista sepakat kalau pernikahan mereka hanyalah status.
Suatu hari, Andra dan Trista mabuk bersama. Mereka melakukan cinta satu malam. Sejak saat itu, benih-benih cinta mulai tumbuh di hati mereka. Trista dan Andra terpaksa menyembunyikan kedekatan mereka dari kekasih masing-masing. Terutama Trista yang kekasihnya ternyata adalah seorang bos mafia berbahaya dan penuh obsesi.
"Punya istri kok rasanya kayak selingkuhan." - Andra.
"Pssst! Diam! Nanti ada yang dengar." - Trista.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8 - Jadi Canggung
Pagi itu, setelah mandi dan berdandan rapi, Trista berdiri lama di depan cermin. Ia terlihat normal, setidaknya dari luar. Tapi dari dalam? Otaknya masih berputar tanpa henti. Dia menarik napas panjang sebelum membuka pintu kamar.
Di ruang tengah, Andra sudah duduk di sofa. TV menyala, menayangkan acara berita pagi. Volume tidak terlalu keras, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa Andra mencoba terlihat santai, padahal ekspresinya justru tegang.
Trista melirik sekilas. Andra menatap TV terlalu fokus, pura-pura fokus, sampai-sampai dirinya tidak sadar memegang remote sangat kencang.
“Pagi,” kata Trista sembari berjalan ke dapur.
Andra tersentak kecil. “Oh, pagi.”
Canggung. Tapi tidak buruk. Hanya hati-hati.
Trista membuka kulkas. “Mau makan apa?”
“Apa aja,” jawab Andra cepat.
Trista mendengus pelan. Ia mengambil roti, telur, dan bahan sarapan sederhana. “Omelet aja, ya.”
“Hmm.” Andra mengangguk, menatap TV lagi, tapi pandangannya kosong.
Trista memasak sambil berusaha fokus pada wajan. Sesekali ia mencuri pandang ke arah ruang tamu. Andra benar-benar berusaha terlihat normal, tapi bahunya terlalu kaku. Sejujurnya dia juga begitu. Menghela napas pun rasanya takut ketahuan sedang memikirkan sesuatu.
Saat omelet matang, Trista menaruhnya di meja makan. “Sarapan.”
Andra mematikan TV, berjalan ke meja dengan cara yang terlihat normal. Tapi langkahnya terlalu teratur, seperti sedang latihan baris-berbaris.
Mereka duduk berhadapan. Makan dalam diam sebenarnya biasa saja untuk mereka. Tapi hari ini, setiap detik terasa panjang.
Trista memotong omeletnya. Tidak ada yang salah. Sampai ia melihat Andra menelan makanannya sedikit terlalu keras, seperti ada yang mengganjal.
“Kamu nggak suka?” tanya Trista datar.
“Bukan.”
Andra menggeleng. “Enak. Serius.”
“Lalu kenapa ekspresimu kayak lagi makan batu?”
Andra batuk kecil. “Cuma… kepikiran kerjaan.”
Trista menaikkan satu alis, jelas tidak percaya, tapi ia ikut pura-pura tidak peduli. “Oke kalau begitu.”
Mereka kembali makan. Diam yang penuh suara memori singkat semalam yang terus muncul.
Trista menatap piringnya tanpa benar-benar melihat. Setiap kali dirinya menurunkan garpu, ia merasakan jantungnya berdebar aneh. Bukan malu, bukan juga menyesal, hanya bingung. Dia tidak ingat detail. Hanya potongan momen, suara tawa, sentuhan samar, rasa hangat yang terlalu dekat, dan itu membuat tubuhnya meriang halus. Trista menghela napas berat.
Andra langsung meliriknya. “Kenapa?”
“Nggak apa-apa.”
Trista mengibas tangan. “Kepalaku masih agak berat.”
“Oh.” Andra mengangguk pelan. “Sama.”
Trista tidak menatapnya. “Iya. Wajar. Kita mabuk berat.”
Andra tidak membalas. Ia menatap omeletnya lama, seperti meresapi setiap butir lada masuk ke otaknya. Dalam diam itu, pikirannya justru paling berisik. Dia ingat, tidak semuanya, tidak selengkap itu, tidak jelas. Tapi ada rasa yang terlalu kuat untuk diabaikan. Rasa yang membuat napasnya tidak stabil hanya dengan mengingatnya. Dan itu membuatnya semakin gelisah, karena ia tidak seharusnya merasakan apa pun ke arah istrinya sendiri, istri kontraknya.
Trista tiba-tiba meneguk air putih. Andra tersadar dari lamunannya, ikut minum padahal gelasnya masih penuh.
“Panas ya,” gumam Trista.
“Banget,” sahut Andra cepat. “Padahal AC dingin.”
“Yah… mungkin itu efek mabuk.”
Andra mengangguk terlalu cepat. “Iya. Mabuk.”
Tentu saja bukan karena AC. Keduanya tahu penyebabnya. Setelah sarapan, Trista mencuci piring. Andra berdiri di ruang tengah, berpura-pura merapikan majalah yang sebenarnya sudah tertata. Setiap kali Trista bergerak, Andra melirik tanpa sadar. Setiap kali Andra membuka mulut untuk bertanya sesuatu, ia menutupnya lagi. Tidak ada yang tahu mau bicara apa duluan.
Akhirnya Trista duluan. Setelah selesai cuci piring, ia mengeringkan tangan dan menatap Andra. “Kamu mau teh? Kopi?”
Andra menatapnya sekilas. “Air putih aja.”
“Oke.”
Trista mengambil gelas baru, mengisinya. Saat ia menaruh gelas ke meja depan Andra, jari mereka hampir bersentuhan. Keduanya refleks menjauh, cepat banget, seperti remaja yang ketahuan pegang tangan diam-diam.
Trista cepat-cepat menarik tangannya. Andra cepat-cepat mengalihkan tatapan.
“Maaf,” ucap Trista spontan.
“Kenapa minta maaf?” Andra mengerutkan dahi.
“Nggak tahu,” gumam Trista. “Refleks.”
Andra mengangguk. “Ah. Iya. Aku juga sering refleks beg—”
Ia berhenti. Kalimat itu terlalu dekat dengan topik semalam. Trista pun menyadari.
Keduanya sama-sama terdiam. Trista duduk di sofa, membuka ponsel, mencoba fokus. Tapi setiap kali ia men-scroll layar, pikirannya melayang ke tumpukan baju berantakan tadi pagi. Ke suara napas dua orang yang mabuk. Ke rasa hangat yang membuatnya merinding. Ia menutup ponsel keras-keras.
Andra, yang duduk di meja makan sambil membuka laptop, berpura-pura bekerja. Namun, ia tidak mengetik apa pun selama lima menit terakhir. Dia cuma menatap layar kosong. Dan memikirkan rasa yang tidak seharusnya ia ingat sejelas itu.
Akhirnya Andra bersuara pelan, tanpa menatap Trista. “Hari ini kamu ada rencana?”
“Tidak. Mau di rumah saja.” Trista tidak menengok. Kebetulan hari itu adalah hari minggu.
“Baik.”
Diam lagi. Hingga Trista bersandar ke sofa dan bertanya datar, “Kamu… merasa aneh nggak?”
Andra mengangkat kepala sedikit. “Aneh gimana?”
“Kamu tahu lah. Kita berusaha normal, tapi… ya gitu.”
Ia menatap ke plafond. “Atmosfernya beda.”
Andra menghembuskan napas. “Iya. Aku ngerasa juga.”
Trista memejamkan mata. “Tolong jangan bahas detail, oke?”
“Nggak akan.”
Andra menutup laptopnya perlahan. “Tapi… kalau kamu butuh ngomong sesuatu, aku dengerin.”
Trista melirik, tidak menyangka Andra berkata selembut itu. “…Oke,” sahutnya pelan. “Kamu juga.”
Keheningan kembali turun. Tapi kali ini tidak menegangkan. Lebih seperti dua orang yang sedang mencari cara baru untuk bernapas setelah kejadian besar.
Di sudut pikirannya, Trista tahu mereka masih akan kepikiran seharian. Sedangkan Andra jelas paling sulit melupakan, meski ia berusaha keras.
Tapi yang jelas, semua yang terjadi semalam terkunci rapat, tidak akan keluar dari rumah ini. Mereka hanya tidak tahu jika rasa canggung ini akan makin mendekatkan mereka tanpa sadar.
Melalui cerita Andra dan Trista, mengenai kisah tentang hubungan asmara yang harus dirahasiakan oleh mereka dari kekasihnya masing².
Readers tidak hanya disuguhi cerita romansa biasa, tetapi juga diajak untuk memahami dunia yang kompleks dan sering kali penuh tantangan.
Konflik yang muncul dari pertanyaan tentang kesetiaan dan perasaan bersalah yang dialami oleh karakter-karakter dalam novel ini membuat pembaca merenungkan arti sebenarnya dari sebuah hubungan.
Konflik dalam novel ini dibangun dengan sangat cermat, sehingga terasa natural dan tidak dipaksakan.
Author berhasil menyisipkan konflik-konflik kecil yang berkembang menjadi masalah besar seiring berjalannya waktu, membuat cerita semakin intens dan menarik untuk diikuti.
Istri Rasa Selingkuhan menyampaikan pesan moral tentang pentingnya kepercayaan dan komunikasi dalam sebuah hubungan.
Tanpa kepercayaan dan komunikasi yang baik, hubungan asmara akan sulit untuk bertahan.
Novel ini juga mengajarkan bahwa dalam menghadapi tantangan hidup, baik dalam karier maupun hubungan pribadi, diperlukan keteguhan hati dan dedikasi untuk mencapai kebahagiaan.
TETAP SEMANGAT...THOR
💪💖🥰