Nalea, putri bungsu keluarga Hersa, ternyata tertukar. Ia dibesarkan di lingkungan yang keras dan kelam. Setelah 20 tahun, Nalea bersumpah untuk meninggalkan kehidupan lamanya dan berniat menjadi putri keluarga yang baik.
Namun, kepulangan Nalea nyatanya disambut dingin. Di bawah pengaruh sang putri palsu. Keluarga Hersa terus memandang Nalea sebagai anak liar yang tidak berpendidikan. Hingga akhirnya, ia tewas di tangan keluarganya sendiri.
Namun, Tuhan berbelas kasih. Nalea terlahir kembali tepat di hari saat dia menginjakkan kakinya di keluarga Hersa.Suara hatinya mengubah takdir dan membantunya merebut satu persatu yang seharusnya menjadi miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Ruang rawat inap itu kembali sunyi. Setelah luapan emosi yang menghabiskan sisa tenaganya, Nalea kini terlihat lebih tenang, namun wajahnya tampak kosong. Rey sudah keluar, berjanji akan kembali dengan membawa makanan.
Nalea mencoba mengalihkan pikirannya. Ia meraih buku tebal tentang fisika yang dibawa Rey, memaksakan diri membaca walau pandangannya sering kabur dan kepalanya masih berdenyut. Ia harus tetap fokus, ia harus membuktikan diri.
Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka.
"Ah, Mr. Rey, kamu cepat sekali," gumam Nalea, menoleh tanpa mengangkat kepalanya.
Namun, yang masuk bukanlah Rey.
Di ambang pintu, Sisilia berdiri dengan senyum manis yang dipaksakan, disebelahnya berdiri seorang dokter pria muda yang tampak canggung. Sisilia terlihat segar, wajahnya dihiasi riasan tipis, dan plester di pelipisnya sudah diganti dengan yang lebih kecil dan lucu.
"Bukan gurumu, Lea," sapa Sisilia, melangkah masuk dengan anggun, diikuti dokter itu yang membawa beberapa berkas.
Nalea langsung merasakan aura dingin dan kecurigaan menyelimutinya. Ia meletakkan bukunya, menatap Sisilia dengan tatapan tajam.
"Mau apa kamu ke sini?" tanya Nalea datar, suaranya kembali mengeras, dipenuhi kewaspadaan khasnya.
Sisilia terkekeh pelan, tawa yang menusuk telinga. Ia berjalan ke nakas dan meletakkan sesuatu di sana, satu kantong darah yang tersisa.
"Aku ke sini untuk mengucapkan terima kasih, tentu saja. Terima kasih atas sumbangan darahnya, Nalea," ucap Sisilia, suaranya sangat manis, namun matanya memancarkan ejekan.
Nalea menatap kantong darah itu, lalu ke Sisilia. Kantung darahnya, yang hampir merenggut nyawanya.
"Kau sudah sehat?" tanya Nalea, berusaha mengendalikan emosinya.
"Sangat sehat," Sisilia mengangguk, lalu tangannya menyentuh kantong darah itu. "Sayangnya, ada sedikit masalah dengan darah milikmu ini."
Sisilia mengambil kantong darah itu dan menunjukkannya pada Nalea.
"Tubuhku… menolak darah ini, Lea. Tentu saja. Darah yang sudah terkontaminasi oleh kekejaman di jalanan, kejahatan, pembunuhan, siapa yang mau?" Sisilia berkata dengan nada jijik yang dibuat-buat.
Nalea mengepalkan tangan di balik selimut. Nafasnya mulai memburu.
"Omong kosong apa yang kau katakan?" desis Nalea.
Sisilia tersenyum lebar, senyum yang mencapai mata tetapi tidak memancarkan kehangatan. "Aku sudah memberikan darahmu untuk hal yang tepat, aku berikan kepada anjing tetangga yang sedang sekarat karena keracunan. Setidaknya, darahmu berguna untuk makhluk hidup yang sesungguhnya." Senyumnya tersimpul jahat, merasakan kemenangan akan penghinaan yang nyata.
DEG!
Jantung Nalea serasa berhenti berdetak. Kata-kata itu, penghinaan itu, menghantamnya lebih keras daripada pukulan Azlan. Darahnya, pengorbanannya, dianggap tidak lebih baik dari darah anjing.
Geram, seluruh tubuh Nalea diliputi amarah yang luar biasa. Ia melupakan kelemahan tubuhnya.
"Sisilia! Kembalikan itu!" teriak Nalea, berusaha bangkit dari ranjang.
"Ups!" Sisilia mundur selangkah, kantong darah itu masih di tangannya.
Nalea mencoba melompat, ingin meraih kantung darahnya, ingin merobek senyum di wajah Sisilia. Namun, tubuhnya terlalu lemah. Keseimbangan Nalea hilang. Ia tidak bisa mengendalikan kakinya yang masih lemah.
BRUK!
Nalea terjatuh keras ke lantai di samping ranjang. Rasa sakit menjalar dari kepalanya hingga ke kakinya, tetapi itu tidak seberapa dibandingkan rasa sakit di hatinya.
Saat Nalea jatuh, Sisilia menjatuhkan kantong darah di tangannya.
PECAH!
Plastik kantong darah itu robek. Darah merah pekat Nalea, darah yang hampir merenggut nyawanya itu langsung berceceran, menggenangi lantai putih ruangan itu.
“Ups, tidak sengaja. Tanganku terasa sangat licin. Sayang sekali, padahal sekantong darah ini bisa diberikan untuk seekor babi yang sekarat.” Sisilia kembali mengatakan sebuah penghinaan kasar.
Nalea menatap darahnya sendiri yang kini terbuang, diinjak-injak, dianggap sampah. Matanya memerah, air mata amarah mengalir deras. Ia mencoba merangkak, tetapi tubuhnya tidak patuh.
Sisilia menatap adegan itu, wajahnya penuh kemenangan. Ia melangkah mendekat, matanya berkilat jahat. Dokter di belakangnya terlihat sangat tidak nyaman, tetapi tidak berani ikut campur.
Lalu, Sisilia melakukan hal yang paling kejam. Ia menginjak tangan Nalea yang tergeletak di lantai, tepat di atas tangan yang tertancap jarum infus.
"A-akh!" Nalea menjerit tertahan, menahan rasa sakit di tangan dan hatinya.
Sisilia membungkuk, wajahnya sangat dekat dengan Nalea. Bisikannya kejam dan dingin.
"Dengarkan baik-baik, Nalea Shara," Sisilia berbisik, nadanya penuh ancaman. "Kamu seharusnya tidak pernah kembali ke keluarga Hersa. Kamu tidak pantas. Kamu hanya membawa bau kotoran. Sampai kapan pun, aku akan membuatmu bagaikan hidup di neraka. Aku akan pastikan kamu menyesal dilahirkan sebagai putri kandung keluarga Hersa."
Sisilia mengangkat kakinya, meninggalkan Nalea yang terkapar di lantai, tubuhnya basah oleh darahnya sendiri, air mata, dan rasa sakit yang mendalam. Sisilia berbalik, tersenyum pada dokter itu seolah tidak terjadi apa-apa, lalu meninggalkan ruangan.
Nalea terkapar, air mata dan keringat membasahi rambutnya. Tangannya mengepal keras di lantai yang dingin. Kebencian murni membara di matanya. Saat itu, Nalea tahu.
*****
Pintu ruang perawatan kembali terbuka, kali ini dengan derit pelan. Rey masuk dengan napas terengah, membawa kantong plastik berisi makanan ringan dan air mineral. Wajahnya yang kelelahan menunjukkan betapa ia mencemaskan Nalea.
Namun, senyum tipis di wajahnya langsung lenyap. Matanya melebar, pupilnya membesar karena terkejut.
Di tengah ruangan, di lantai keramik yang dingin, terkapar sosok Nalea yang lemah. Dan di sekitarnya, genangan darah merah pekat.
“Nalea!”
Rey menjatuhkan semua bawaannya. Kantong plastik itu menghantam lantai, isinya berhamburan. Ia berlari, langsung berlutut di samping Nalea, tangannya gemetar.
“Astaga, Nalea! Apa yang terjadi?!” Rey panik luar biasa. Ia mengira Nalea kembali pingsan dan pendarahan hebat. “Darah ini… Kamu berdarah?”
Ia cepat-cepat memeriksa infus di tangan Nalea, lalu memeriksa dahi Nalea yang panas. Ia tidak menyadari bahwa darah yang menggenang itu adalah darah dari kantong yang pecah.
“Dokter! Perawat! Tolong! Ada pasien pendarahan!” teriak Rey sekuat tenaga, suaranya menggema di lorong rumah sakit. Wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi keringat dingin dan keputusasaan.
Suasana ruangan menjadi hiruk-pikuk. Dokter dan perawat segera datang, mengangkat Nalea ke ranjang, dan memeriksa keadaannya. Setelah memastikan Nalea hanya pingsan karena syok dan kelelahan ekstrem, perawat mulai membersihkan lantai yang kotor oleh genangan darah.
“Untungnya ini hanya pingsan, Pak. Dan darah ini bukan dari tubuh pasien, ada kantong darah yang pecah. Kami akan mencari tahu mengapa ada kantong darah di sini. Apa mungkin ada perawat yang teledor membawanya ke sini,” jelas perawat itu pelan.
Rey ambruk di kursi, memegangi kepalanya. Rasa lega bercampur amarah memenuhi dirinya. Ia tahu, pasti ada ulah kotor di balik kejadian ini.
Tak lama kemudian, Nalea mulai sadar. Matanya yang gelap terbuka perlahan, menatap Rey yang duduk di sisinya dengan wajah penuh penyesalan.
“Mr. Rey?” bisiknya.
“Ya, Lea. Aku di sini. Jangan bergerak dulu,” jawab Rey, suaranya lembut, namun masih terdengar getaran ketakutan.
Nalea menatap langit-langit sejenak, lalu pandangannya beralih pada lantai yang baru saja dibersihkan. Ingatan tentang ucapan Sisilia, tentang darahnya yang diberikan pada anjing, tentang penghinaan yang menyakitkan, semua kembali membanjiri benaknya.
Tiba-tiba, Nalea menangis.
Bukan tangisan isak-isak keras, melainkan tangisan sunyi, yang menghancurkan hati. Air matanya mengalir tanpa suara, membasahi bantal, tetapi tubuhnya tidak bergetar. Kesedihan itu begitu dalam dan hening, seolah jiwanya telah meratap.
Rey panik. Ia segera bangkit. “Aku panggil dokter lagi, ya? Kamu pasti kesakitan.”
Nalea buru-buru meraih tangan Rey, cengkeramannya lemah. “Jangan… Jangan pergi, Mr. Rey.”
Rey kembali duduk, memegang tangan Nalea. “Lalu, kenapa kamu menangis, Lea? Katakan padaku. Apa yang membuatmu sangat sedih?”
Nalea menatap Rey. Matanya yang kosong kini dipenuhi luka dan keputusasaan.
“Mr. Rey…” Suaranya bergetar hebat. “Apakah, apakah menjadi gangster itu sangat buruk?”
Rey terdiam. Ia tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul.
“Apakah… apakah preman itu bukan manusia?” Nalea melanjutkan, air matanya tak terbendung. “Apakah orang jahat tidak boleh hidup? Tidak boleh memperbaiki diri?”
Nalea menutup matanya, kesedihannya terasa mencekik.
“Aku, aku meninggalkan semua, Mr. Rey. Aku tinggalkan kekuasaan, aku tinggalkan rasa hormat. Aku tinggalkan semua yang membuatku kuat, hanya untuk menjadi ‘putri baik-baik’ yang mereka inginkan. Tapi… kenapa mereka masih membenciku?”
Rey mengusap air mata Nalea dengan ibu jarinya, wajahnya dipenuhi empati. Ia menarik napas dalam.
“Lea, dengarkan aku baik-baik,” kata Rey, suaranya dipenuhi ketulusan. “Semua orang pernah membuat kesalahan. Masa lalumu adalah bagian dari dirimu, tapi itu tidak mendefinisikan siapa kamu saat ini.”
“Tapi bagi mereka, masa lalu adalah hukuman mati!” Nalea membalas dengan suara pecah. “Darahku… Mereka bilang darahku kotor. Mereka bilang darahku hanya pantas untuk anjing, Mr. Rey!”
Nalea menunduk, menangis terisak. “Aku mencoba, sungguh. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa mereka adalah keluargaku. Tapi mereka hanya melihat Sisilia. Mereka tidak melihatku. Aku ini darah daging mereka, Mr. Rey! Aku tidak meminta dilahirkan dari mereka, dan aku tidak meminta dibesarkan oleh orang lain!”
Rey merasakan gelombang emosi Nalea. Ia ingin memeluknya erat, menanggung semua beban gadis itu.
“Nalea,” bisik Rey, suaranya lembut, menenangkan. “Orang baik bukanlah mereka yang tidak pernah melakukan kesalahan, Lea. Orang baik adalah mereka yang tahu bagaimana bangkit, dan berjuang untuk menjadi lebih baik. Kamu sudah melakukan hal itu. Jangan biarkan ucapan kejam mereka menghancurkan hatimu.”
“Tapi sia-sia, Mr. Rey. Semua ini sia-sia,” Nalea menggeleng lemah. “Mereka tidak akan pernah menerimaku. Aku akan selamanya menjadi aib. Seharusnya aku tetap menjadi Ratu Gangster. Setidaknya, di sana aku berharga.”
Rey menangkup wajah Nalea dengan kedua tangannya, memaksa Nalea menatap matanya.
“Tidak, Lea. Jangan pernah berpikir seperti itu.” Tatapan Rey begitu tegas. “Jika mereka tidak bisa melihat berlian di dirimu, itu adalah kerugian mereka, bukan kerugianmu. Kamu tidak melakukan ini untuk mereka. Kamu melakukan ini untuk Nalea yang pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik, Nalea yang pantas dihargai.”
“Lalu kenapa aku ada di sini? Kenapa aku selamat?” Nalea bertanya, matanya penuh pertanyaan pilu.
“Kamu selamat, Nalea,” Rey tersenyum samar, “karena takdirmu belum selesai. Kamu selamat karena kamu harus membuktikan pada dunia, dan terutama pada dirimu sendiri, bahwa Nalea Shara bisa menjadi Ratu tanpa harus berlumuran darah.”
“Aku akan selalu di sini untuk mendukungmu, Lea. Sekarang, beristirahatlah. Janji padaku, saat kamu keluar dari sini, kamu akan melanjutkan belajarmu. Lakukan semua yang kau bisa, demi dirimu sendiri. Bukan demi pengakuan mereka.”
mana ada darah manusia lebih rendah derajatnya daripada seekor anjingg🥹🥹🤬🤬🤬