Hujan..
Semua pasti pernah mengalaminya..
Ada banyak cerita dibalik hujan, ada cerita bahagia dan tidak sedikit juga yang menggambarkan hujan sebagai cerita sedih..
Hujan..
Yang pasti adalah sesuatu yang menyebalkan..
Tapi arti sesungguhnya dari hujan adalah anugerah TUHAN
HUJAN DI REL KERETA ini adalah sebagian kecil cerita dari yang terjadi dibalik hujan..
Hujan yang awalnya membawa bahagia…
Tapi hujan juga yang merenggut kebahagiaan itu..
Akankah hujan mengembalikan kebahagiaan yang pernah direnggutnya?
Sebuah kisah sederhana, berlatar belakang di sebuah desa terpencil, dengan kehidupan pedesaan pada umumnya.
Semoga bisa menambah pengalaman membaca dan menemani waktu teman-teman semua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Toekidjo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
My Life, My Adventure
Pohon-pohon besar menjulang tinggi dengan akar yang menjuntai dari beberapa dahan, daunnya yang rimbun membuat sinar matahari tidak banyak yang bisa menerobos, membuat udara menjadi sejuk dan mendamaikan.
Jalan setapak di samping jalan utama yang berbatu terjal, jalan setapak dengan tanah liat yang mengering, beberapa bekas ban motor yang masih tampak terlihat.Eris melajukan motornya perlahan.
Fatia yang sedari tadi memejamkan mata dan mendekap erat pinggang Eris, perlahan membuka matanya.
Tatapanya menyapu sekeliling, dalam hatinya bertanya
"Apakah ini hutan yang sama yang sebelumnya dia rasa menyeramkan, tapi kenapa perasaan menyeramkan itu sudah tidak lagi dia rasakan" ucap Fatia dalam hati
“Apakah kamu sudah merasa lebih baik?” Tanya eris
“He’em, kamu tidak keberatan aku seperti ini?” Tanya Fatia sembari mengencangkan dekapan.
“Kamu tetap seperti ini selama sisa hidupku, mungkin adalah mimpiku yang menjadi kenyataan” jawab Eris
Dengan senyum tersipu Fatia menepuk bahu Eris
“Kamu!!” Ucap Fatia manja
Agak jauh didepan suasana tampak lebih terang, sepertinya itu adalah batas hutan lindung.
Benar saja kini mereka berada disebuah puncak bukit, dihadapan mereka jalanan yang berkelok-kelok seperti ular tampak jelas terlihat kontras dengan kanan kirinya yang tampak hijau.
“Didepan adalah ladang warga, biasanya menanam singkong, jagung atau sayuran yang tidak perlu banyak air” Eris menjelaskan
“Aku ingin melewati bukit yang itu” ucap Fatia sambil menunjuk ke arah yang dimaksudkan
“Iya nanti kita akan melewatinya, setelah bukit itu pemukiman Maribaya akan terlihat” jawab Eris
Tidak berapa lama, sampailah mereka dipuncak bukit tersebut. Eris memperlambat laju motornya
“Apakah, kamu ingin berhenti” tanya Eris
“Emmm, didepan pemukiman baru itu ya? Sepertinya kita istirahat disana saja. Aku yakin Alfiah sama Johan sudah nungguin disana” ucap Fatia
“Baiklah, mari cari mereka” jawab Eris
Sementara disebuah warung kecil di pinggir jalan, Alfiah dan Johan terlihat sedang menikmati minuman dingin.
“Kemana Eris sama Fatia, lama banget gak sampe-sampe” ucap Alfiah
“Tau tuh, terakhir liat pas di turunan curam yang dihutan lindung itu kan” jawab Johan
“Iya, kayaknya mereka berhenti ya, mungkin Fatia takut kali” Alfiah berkata sambil memegangi gelas minumanya
“Kita tunggu sebentar lagi, kalau mereka gak nongol juga kita samperin balik kesana” ucap Johan
“Kampung baru Maribaya sepi banget ya” tanya Alfiah
“Iya, rumah-rumahnya juga belum begitu banyak. Kamu uda pernah kesini belum? “ Tanya Johan
“Belum pernah, baru kali ini” jawab Alfiah
“Sepertinya itu Eris” ucap Johan saat terdengar suara motor dari kejauhan
Benar saja, tidak begitu lama Eris sampe diwarung itu
“Kalian sudah lama sampe sini?” Tanya Eris
“Lumayan, nih tinggal segini minuman” jawab Johan sambil mengangkat gelas yang sedang dia pegangi
“Fatia, kamu baik-baik saja kan? Sini duduk disini” ucap Alfiah melihat Fatia yang sepertinya dalam keadaan tidak baik-baik saja
“Iya, aku gak apa-apa kok. Mungkin belum terbiasa saja” jawab Fatia kemudian duduk di samping Alfiah
“Bu, pesan dua minuman ya” ucap Eris kepada ibu pemilik warung, kemudian duduk disamping Johan
“Fatia sepertinya ketakutan saat dihutan, uda gitu jalananya batu-batu dan banyak tanjakan sama turunan” ucap Eris
“Mungkin karena belum terbiasa saja” Alfiah menimpali
“Awal-awal aku memang sedikit takut, tapi kesini-kesini udah enggak kok” ucap Fatia
“Silahkan minumanya nak” ucap ibu pemilik warung sambil meletakan dua gelas minuman keatas meja
“Terima kasih bu” ucap Eris kemudian mengambil satu gelas untuk dia minum
“Ahhh.. segar..” kata Eris
“Fatia punyamu buruan minum” ucap Alfiah
“Iya” jawab Fatia
Sekitar setengah jam mereka beristirahat diwarung itu, diselingi obrolan-obrolan hangat dan canda tawa ringan.
Tidak terasa matahari semakin geser kebarat kemungkinan mununjukan sekitar jam tiga sore.
Setelah membayar, Eris melangkah kearah motor
“Mari lanjutkan perjalanan” ucap Eris
Tidak ada yang istimewa dari pemukiman Maribaya ini, hanya beberapa rumah penduduk yang jumlahnya masih bisa dihitung jari.
Hingga mereka sampai diujung jalan utama, berakhir disungai lebar tapi airnya dangkal, terlihat dasar sungai yang berpasir dan batu kerikil.
Johan yang berada didepan tanpa ragu mengarahkan motornya masuk ke sungai, kemudian memacunya dengan sedikit kencang.
Cipratan air membentuk huruf V saat kedua rodanya melintas seolah membelah genangan air.
Terdengar teriakan histeris mereka diselingi tawa.
Eris pun melakukan hal yang sama. Suasana berubah meriah, teriakan-teriakan histeris dan tawa kegirangan mengiringi momentum tersebut.
Fatia merentangkan kedua tanganya, membiarkan cipratan-cipratan air membasahinya.
Berteriak keras, seakan mencoba melepaskan segala gundah di dada. Tertawa lepas, seolah melepaskan beban pikiran yang ditanggungnya.
“MY LIFE, MY ADVENTURE….!!!!” teriak Fatia
HAHAHAHA, YEAH…!!!
"Entah siapa yang menyahutnya kemungkinan Johan" bisik Eris dalam hati
Moment tersebut berlangsung cukup lama, dan cukup jauh meninggalkan pemukiman Maribaya.
Dikanan dan dikiri hanya terlihat perbukitan dipenuhi semak belukar.
Terlihat Johan mengarahkan laju motornya keluar dari sungai menyisir jalan setapak yang sedikit berlumpur.
Motor agak sedikit oleng karena jalan setapak tersebut cukup licin.
“It’s OK, sebentar lagi kita sampai di jalan utama desa sebelah” teriaknya Johan dari arah depan
Walau dimata Fatia tampak seperti berada di tengah belantara antah berantah, tapi bagi Eris dan Johan yang notabene adalah warga lokal setiap inchi daerah tersebut sepertinya mereka sangat pahami.
Benar saja, tidak begitu lama dari kejauhan sudah tampak jalan besar.
Tidak butuh waktu lama motor yang mereka tunggangi sampai di jalan besar tersebut.
Kondisi jalanan di kampung sebelah ini sudah beraspal,
Tanpa membuang waktu Eris langsung tancap gas, perjalanan jadi lebih mudah karena jalannya sudah beraspal.
“Disini jalanya sudah diaspal” ucap Fatia sambil merapatkan posisi duduknya, memeluk erat tubuh Eris.
“Iya, padahal masih dalam wilayah administrasi yang sama, tapi beda kecamatan. Tidak tahu kenapa pembangunan akses jalan sungguh jauh berbeda. Mungkin karena aparat desa yang tidak kompeten ataupun dikorupsi, siapa yang tahu?? Suatu saat nanti kita harus mencari kandidat aparat desa yang bisa memperbaikinya” jawab Eris
“Kamu juga peduli dengan kondisi desa?” Tanya Fatia
“Hahaha, aku asal bicara saja kok” jawab Eris
Begitulah sepanjang jalan mereka lewati, obralan yang cukup intens membuat jauhnya jarak yang sudah dilalui tanpa terasa. Hingga mereka tiba di permukiman penduduk
“Ini namanya desa Kalisumur, dari desa kita letaknya diseberang hutan lindung” ucap Eris
“Oh..” jawab Fatia
Suasana didesa Kalisumur tidak jauh berbeda dengan desa yang tempat tinggal Eris dan Fatia, yang membedakan hanyalah kondisi jalanya saja yang kesemuanya sudah diaspal.
Setibanya disebuah pertigaan jalan yang didepan tampak rel kereta api dengan palang pintu perlintasan, Eris membelokan motornya untuk tidak menyeberangi rel kereta
“Lurus tadi ke arah jalan baru, nantinya didepan ada jembatan tapi agak jauh. Sedangkan yang kita lewati sekarang ini adalah jalan lama di nanti lewat jembatan kereta sakalibel” Eris menjelaskan
FYI : Kenapa disebut sakalibel?, sebenarnya sakalibel sendiri adalah sebuah singkatan dari Saka Lima Belas.
Karena jembatan kereta api ini terdiri dari lima belas tiang dalam bahasa jawa juga disebut saka.
Tiang-tiang ini membentang sekitar dua ratus meter menghubungkan antar dua daerah kecamatan berbeda.
Tiang yang berdiri kokoh setinggi kurang lebih dua puluh meter pada titik tertingginya, dan berjarak sekitar sepuluh meter per tiangnya.
Bentuk tiang yang meruncing, dari bawah besar dan mengecil dibagian atasnya, sekitar tiga meter sebelum puncak terdapat sekat atau rongga selebar satu setengah meter yang mana ini dimanfaatkan sebagai jalur atau lorong pejalan kaki bisa juga dilewati motor.