Sejak malam pernikahan, Clara Wu telah diracun oleh pamannya—racun yang membuatnya hanya bisa bertahan hidup lewat penawar yang diberikan setiap minggu.
Namun setiap kali penawar itu datang, bersamanya hadir obat perangsang yang memaksa tubuhnya menjerit tanpa kendali.
Tak sanggup menanggung hasrat yang dipaksakan padanya, Clara memilih menyakiti diri sendiri, melukai tangannya agar tetap sadar.
Tiga tahun ia bertahan dalam pernikahan tanpa cinta, hingga akhirnya diceraikan dan memilih mengakhiri hidupnya.
Ketika Adrian Zhou kembali dari luar negeri dan menemukan kebenaran tentang siksaan yang dialami istrinya, hatinya hancur oleh penyesalan.
Apakah Adrian akan mampu mencintai istri yang selama ini ia abaikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Rumah Sakit Terbesar di Beijing
Siang itu, langit di luar jendela rumah sakit tampak kelabu. Hujan gerimis turun perlahan membasahi kaca, menimbulkan suara rintik yang menenangkan, namun suasana di ruang VIP itu justru terasa tegang dan dingin.
Kane berdiri di samping ranjang, sesekali menatap layar monitor yang memperlihatkan detak jantung atasannya. Wajah Andrian masih pucat, bibirnya kering, dan tangan kirinya terhubung ke infus yang menetes perlahan.
Beberapa saat kemudian, kelopak mata Andrian bergerak. Nafasnya berat, lalu perlahan ia membuka mata.
“Tuan, Anda sudah sadar,” ucap Kane cepat, nada suaranya lega namun masih menyimpan kecemasan.
Andrian menatap kosong ke langit-langit beberapa detik, mencoba memahami di mana dirinya berada. Begitu kesadarannya pulih sepenuhnya, bayangan wajah Clara tiba-tiba muncul dalam benaknya—senyum lembut istrinya sebelum semua berubah menjadi mimpi buruk.
Andrian berusaha bangkit, tapi tubuhnya lemah. Kane segera menahan bahunya.
“Jangan dulu, Tuan. Anda baru sadar,” ujar Kane khawatir.
Namun Andrian menepis tangan asistennya. “Di mana dia? Apakah sudah ditemukan?” tanyanya dengan suara serak dan tergesa.
“Tuan, Nyonya telah ditemukan,” jawab Kane pelan. “Tapi kondisinya masih lemah dan belum sadar.”
Mata Andrian membulat, napasnya tertahan. Ia menyingkirkan selimut dan turun dari ranjang, meski tubuhnya hampir goyah.
“Tu—Tuan, Anda tidak boleh bangun dulu,” seru Kane, segera memegangi tubuhnya agar tidak jatuh. “Kata dokter, jantung Anda tidak bisa menerima tekanan lagi. Kalau tidak hati-hati, kondisinya bisa semakin parah.”
Namun Andrian tak menggubris. Tatapannya kosong namun penuh tekad. “Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sudahkah kau cari tahu alasan Clara mencoba bunuh diri?”
Kane menunduk sejenak, menelan ludah sebelum menjawab. “Saya belum mendapatkan semua detailnya, tapi saya curiga… ini ada hubungannya dengan James Wu.”
Andrian menatapnya tajam. “James Wu?”
“Ya, Tuan. Nyonya pulang ke rumah setelah Anda pergi ke luar negeri. Dia tinggal di rumah keluarga Wu selama hampir sebulan, dan ketika kembali… kondisinya sangat buruk. Wajahnya pucat, matanya tampak kosong dan terluka. Seperti seseorang yang kehilangan semangat hidup,” tutur Kane pelan namun tegas.
Andrian mengepalkan tangan, urat di lehernya menegang. “Cari tahu semuanya,” katanya dingin. “Aku ingin tahu siapa yang membuatnya seperti itu. Aku ingin melihatnya sendiri, dan aku juga akan menemui dokter yang menanganinya.”
“Baik, Tuan,” jawab Kane sambil mengangguk hormat, namun di wajahnya tersirat kekhawatiran mendalam.
“Jantung Tuan selama ini memang tidak baik,” gumam Kane lirih. “Selama lima tahun Tuan belum pernah pingsan. Baru kali ini, karena Nyonya. Sepertinya beliau benar-benar berarti bagi Anda, Tuan… tapi kenapa harus berakhir dengan perceraian?”
Beberapa Saat Kemudian
Suara alat monitor berdenting pelan di ruang perawatan intensif rumah sakit terbesar di Beijing. Bau antiseptik yang tajam memenuhi udara, bercampur dengan aroma lembut bunga putih di meja sudut ruangan.
Andrian berdiri di sisi ranjang, memandangi tubuh istrinya yang terbaring tak berdaya. Wajah Clara tampak pucat, bibirnya kering, dan oksigen menempel di hidungnya.
Dokter yang menanganinya berdiri di samping Andrian, membuka berkas medis sambil berbicara dengan nada serius namun lembut.
“Untung saja saat itu nelayan berhasil menyelamatkan pasien,” ucap dokter itu pelan. “Tapi pasien sempat menelan banyak air laut, paru-parunya sempat hampir kolaps. Selain itu…” ia berhenti sejenak, menatap Andrian dengan raut prihatin.
“Tidak ada semangat untuk hidup. Kondisinya cukup parah. Dan… badannya dipenuhi luka bekas pukulan dan cambukan. Tangannya juga terdapat banyak bekas sayatan pisau.”
Andrian menatap tubuh Clara dengan mata membulat tak percaya. Rahangnya mengeras, jemarinya mengepal di sisi tubuh.
“Kenapa… banyak luka seperti itu? Apa yang sebenarnya terjadi padanya?” suaranya bergetar, di antara marah dan sedih.
Dokter itu menarik napas panjang. “Mungkin ada hubungannya dengan lingkungan sekitarnya. Pasien mengalami depresi berat, Tuan. Sepertinya sudah cukup lama, bertahun-tahun, atau bahkan belasan tahun.”
Andrian terdiam. Kata-kata dokter itu menghantam pikirannya seperti badai. Ia menatap wajah istrinya yang dulu selalu tersenyum lembut, kini tampak rapuh, seperti hidupnya telah diambil perlahan oleh penderitaan yang tak terlihat.
“Kapan… kapan istriku akan sadar?” tanyanya akhirnya, dengan suara rendah penuh harap.
Dokter menutup berkasnya dan menatap Andrian dengan tatapan empati.
“Itu tergantung kondisinya. Saat ini tubuhnya masih terlalu lemah. Bisa bertahan sampai hari ini saja sudah merupakan sebuah keajaiban.”
Andrian menunduk, mencoba menahan getaran di dadanya.
“Dokter, lakukan yang terbaik untuk istriku,” katanya lirih, matanya mulai memerah. “Dia harus tetap hidup… apa pun caranya.”
Dokter itu menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan. “Kami akan berusaha semaksimal mungkin."
Dokter itu kembali menatap hasil pemeriksaan di tangannya, lalu menarik napas berat sebelum berbicara.
“Tuan… kami menemukan sesuatu yang tidak biasa dalam hasil tes toksikologi Nyonya.”
Andrian mengerutkan kening. “Apa maksud Anda?”
“Dalam darahnya terdapat kandungan zat kimia yang biasanya ditemukan pada obat perangsang gairah seksual. Dosisnya tinggi, bahkan melebihi batas aman untuk penggunaan medis.”
"Apa? Obat perangsang?" tanya Andrian semakin penasaran dan tidak percaya.