Gita sangat menyayangkan sifat suaminya yang tidak peduli padanya.
kakak iparnya justru yang lebih perduli padanya.
bagaimana Gita menanggapinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Las Manalu Rumaijuk Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kecelakaan
Tiba-tiba pintu kamarnya kembali digedor jauh lebih kencang dari yang pertama.
"Gita buka pintunya..! ada masalah penting! cepat! kita harus segera ke rumah sakit.!"
Suara Darren terdengar panik dan tidak lagi dipenuhi amarah. Kali ini, intonasinya benar-benar menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. Gita yang semula tersedu-sedu dan mulai memejamkan mata, seketika terbangun. Ia tertegun.
"Apa yang terjadi, Mas?" tanya Gita dari balik pintu, suaranya serak.
"Jangan banyak tanya! Cepat buka! Ini bukan waktunya untuk drama! kakak kecelakaan, Gita! pihak rumah sakit menghubungiku barusan!" raung Darren, nadanya memohon sekaligus memaksa.
Derby,demikian nama kakaknya Darren yang merupakan kakak iparnya.
Mendengar kabar itu membuat Gita mengesampingkan rasa sakitnya.
Ia segera bangkit, menyeka air mata, dan membuka kunci pintu.
Begitu pintu terbuka, Darren langsung mencengkeram lengan Gita, tanpa peduli bahwa pipi istrinya masih memerah karena tamparannya.
"Cepat! Kita harus pergi sekarang!" perintah Darren, wajahnya pucat pasi.
Gita tidak melawan. Ia mengambil jaket dan tasnya yang berisi dompet dan ponsel. Mereka berdua bergegas keluar rumah.
Di luar, mobil Darren sudah menyala dengan mesin menderu.
Perjalanan ke rumah sakit terasa mencekam. Darren mengemudi dengan kecepatan tinggi dan ugal-ugalan. Wajahnya tegang, dan ia sesekali memukul setir dengan frustrasi.
"Kenapa bisa terjadi, Mas?" tanya Gita pelan, berusaha menenangkan diri.
"Aku... aku tidak tahu detailnya. Asistennya juga tadi bilang mobilnya ditabrak orang yang tidak dikenal.," jawab Darren, suaranya bergetar menahan tangis.
"Kakak korban tabrak lari." sambungnya dengan nada bergetar.
"Kenapa ini harus terjadi..."
Gita menoleh ke samping. Melihat suaminya yang terlihat sangat rapuh di saat genting membuatnya teringat pada Darren yang dulu—Darren yang perhatian, yang hangat.
Ia menarik napas panjang, mengesampingkan emosi pribadinya, dan memilih untuk fokus pada kondisi kakak iparnya.
"Tenanglah, Mas. Jangan ngebut seperti ini. Kita harus sampai dengan selamat," kata Gita lembut, lalu menyentuh pundak Darren.
Darren tidak menepis sentuhan itu. Ia hanya menarik napas panjang, mencoba sedikit menurunkan kecepatan mobilnya. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, mereka kembali berbagi ruang tanpa dibentengi dinding amarah dan kekecewaan.
Sesampainya di rumah sakit, suasana UGD sudah ramai. asistennya Derby sudah berada di sana, wajah mereka diliputi kepanikan.
"Bagaimana kondisi kakak didalam?" suara Darren terdengar parau.
Air matanya menggantung di sudut matanya.
"Kata dokter kondisi tuan cukup parah. Tulang kakinya... dan kepalanya terbentur," jawab sang asisten dengan suaranya parau.
"Saat ini dokter tengah mengambil langkah,mengoperasi tuan," asisten itu kembali memberitahu.
Mereka menunggu selama berjam-jam di depan ruang operasi. Ketegangan menyelimuti setiap detik. Gita duduk di kursi tunggu, tidak jauh dari Darren yang gelisah mondar-mandir.
Pandangan mereka bertemu beberapa kali. Ada rasa bersalah, penyesalan, dan ketakutan yang terpantul di mata Darren. Namun, tidak ada kata yang terucap. Fokus mereka sepenuhnya tertuju pada pintu ruang operasi.
Akhirnya, pintu itu terbuka. Seorang dokter keluar dengan wajah lelah.
Semua orang langsung mengerumuninya.
"Bagaimana, Dok? Bagaimana keadaan kakak saya?" tanya Darren cemas.
Dokter melepas maskernya. "Operasi berjalan lancar. Pasien berhasil melewati masa kritis. Namun, cederanya cukup serius, terutama di bagian kaki. Ada patah tulang di dalam yang sudah kami atasi, tetapi kami belum bisa memastikan dampaknya sepenuhnya..."
Gita menarik napas lega bercampur kekhawatiran yang baru. Derby selamat, tetapi kondisinya belum stabil.
"Pasien akan dipindahkan ke ruang ICU untuk observasi intensif. Kami akan memantau kondisinya selama 24 jam ke depan. Keluarga diizinkan melihat sebentar, satu per satu," jelas Dokter.
Darren adalah orang pertama yang masuk. Ketika ia keluar, matanya sudah dipenuhi air mata. Ia melihat Gita dan berjalan pelan menghampirinya.
"Dia... dia terlihat sangat lemah, Git," bisik Darren, suaranya nyaris tidak terdengar.
Gita menatapnya dengan rasa iba. Ia tahu betapa Darren menyayangi kakaknya tersebut.
"Giliranmu masuk, Git," kata Darren, memberikan kesempatan pada Gita, sebelum akhirnya ia kembali duduk di sisi asisten kakaknya.
Gita mengangguk dan masuk ke ruang ICU. Ia melihat Derby terbaring tak berdaya dengan berbagai alat bantu di sekitarnya. Kakak ipar yang dingin dan tegas, kini terlihat begitu rapuh. Gita menggenggam tangan kakak iparnya yang dingin dengan kedua tangannya.
"Kak, kamu harus kuat. Kami di sini, semua orang sayang kamu. Kamu harus sembuh," bisik Gita penuh haru.
Gita keluar dari ruang ICU dengan hati yang remuk redam. Melihat suaminya yang kini larut dalam kesedihan, Gita sadar bahwa di tengah cobaan ini, permasalahan pribadinya harus sementara dikesampingkan.
Malam itu, mereka menghabiskan malam di rumah sakit. Menjelang subuh, Darren menghampiri Gita yang tertidur di kursi tunggu. Ia membawakan selimut rumah sakit yang berhasil ia dapatkan.
"Gita," panggil Darren pelan.
Gita terbangun dan menatap Darren.
"Terima kasih," ucap Darren lirih, matanya dipenuhi penyesalan. "Terima kasih sudah datang. Dan... aku minta maaf soal yang tadi. Soal tamparan itu, dan... semua kata-kata kasarku."
Gita tidak menjawab permintaan maaf itu dengan kata-kata. Ia hanya mengangguk kecil, rasa lelah mengalahkan amarahnya.
Permintaan maaf itu tulus, ia bisa melihatnya, tetapi luka di hatinya terlalu dalam untuk sembuh dalam sekejap.
"Aku akan mengurus administrasi sebentar. Kamu istirahatlah," kata Darren, lalu berbalik pergi.
Gita menyelimuti dirinya, tetapi tidak bisa tidur. Ia menatap selimut di tangannya, selimut yang diberikan oleh pria yang tadi malam menamparnya, pria yang ia minta untuk berpisah.
Ia tahu, perpisahan itu akan terjadi. Tetapi kini, dengan kondisi kakak iparnya yang tidak menentu, ia merasa tidak tega meninggalkan Darren dalam situasi sulit ini.
Setidaknya, tidak untuk saat ini.
Ia memutuskan, untuk sementara, ia akan tetap berada di samping Darren.
Pagi menjelang, Darren menghampiri Gita. Wajahnya terlihat lebih tenang, tetapi masih menyimpan kesedihan.
"Gita," panggilnya, "Tolong, kamu kembali ke rumah kakak dulu. Ambilkan beberapa pakaian untuk kakak juga untukku,Jangan lupa... ambilkan baju bersih untuk kakak juga untukku,karena aku akan menjagai kakak seharian ini."
Gita mengangguk patuh.dia bisa membawa mobil.
jarak rumah mereka dengan rumah sakit juga tidak begitu jauh,begitu juga jarak rumah kakak iparnya tersebut.
"Baiklah,aku pergi dulu,aku akan segera kembali," jawab Gita.
Gita keluar dari rumah sakit, meninggalkan sejenak kerumitan yang ada.
Di mobil, ia mulai merencanakan langkah selanjutnya. Ia akan membantu sebisa mungkin di tengah masalah keluarga ini. Namun, ia juga tidak akan melupakan keputusannya. Ia akan tetap kembali bekerja. Ia akan tetap mengurus perpisahan ini, setelah badai yang menimpa keluarga Darren mereda.
Sesampainya di rumah, rumah terasa sepi dan asing. Gita langsung menuju kamar utama. Saat membuka lemari Darren, ia menemukan amplop tebal berwarna cokelat terselip di antara tumpukan kemeja. Amplop itu bertuliskan: 'Hasil Tes - RSU Medika'.
Jantung Gita berdebar.
mau membuka amplop tersebut dia ragu.
takut hasilnya mengecewakan nya atau membuatnya drop.
Setelah dari rumah nya,dia beralih ke rumah kakak iparnya.
Mengambil semua perlengkapan Derby,setelahnya kembali ke rumah sakit.
bersambung...