NovelToon NovelToon
Incase You Didn'T Know

Incase You Didn'T Know

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Pernikahan Kilat / Nikahmuda / Dijodohkan Orang Tua / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:773
Nilai: 5
Nama Author: Faza Hira

Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 07

Alarm di ponsel Arga berbunyi nyaring, memekakkan telinga pada pukul empat pagi. Rasanya Bunga baru saja memejamkan mata.

"Bunga, bangun." Suara Arga terdengar serak di kegelapan.

Bunga mengerang, menarik selimut menutupi kepalanya. "Lima menit lagi..."

Terdengar Arga bangkit dari sisinya. Lampu kamar dinyalakan, membuat Bunga menyipitkan mata kesilapan.

"Nggak ada lima menit," kata Arga, suaranya sudah lebih tegas. Ia menarik selimut yang menutupi Bunga. "Pesawat kita jam sepuluh. Kita berangkat dari rumah jam setengah tujuh. Kamu butuh satu jam buat mandi dan dandan. Belum lagi drama sarapan dan pamitan sama Ayah-Ibu."

Bunga terduduk dengan rambut singa dan wajah bantal paling mengenaskan. Ia menatap Arga yang sudah terlihat rapi dengan kaus dan celana training-nya, seakan tidak tidur di kasur yang sama dengan seorang perempuan.

"Mas Arga bawel banget, sih," gerutunya, menyeret kaki turun dari ranjang.

"Mas cuma nggak mau kita ketinggalan pesawat gara-gara kamu dandan," balas Arga enteng sambil melipat selimutnya sendiri dengan rapi.

Rutinitas Subuh mereka berjalan lebih mulus. Tidak ada lagi keraguan saat Bunga sholat di belakang Arga. Setelah sholat, kamar itu langsung berubah menjadi zona perang persiapan akhir. Arga dengan sigap menurunkan koper-koper, sementara Bunga sibuk di kamar mandi.

Pukul enam pagi, mereka sudah rapi. Bunga mengenakan blouse sederhana dan celana jins, terlihat seperti mahasiswi pada umumnya. Arga juga santai, memakai kaus polo dan celana kargo. Mereka terlihat seperti... kakak dan adik yang akan pergi berlibur.

Momen sarapan adalah yang terberat. Ibu Bunga memasak nasi goreng kesukaan putrinya, tapi matanya sembap. Ayah lebih banyak diam, membaca koran dengan terbalik.

"Nanti di sana," Ibu memulai nasihatnya yang ke seratus kali, "jangan lupa makan. Kamu itu, Nduk, kalau sudah asyik sama buku, lupa waktu."

"Iya, Buk..."

"Arga," Ayah Bunga melipat korannya. "Ayah titip Bunga sepenuhnya sama kamu. Dia kadang keras kepala, tapi hatinya baik. Kalau dia nakal, kamu jewer aja telinganya."

"Ih, Ayah!" protes Bunga.

Arga tersenyum tipis. "Siap, Om. Pasti Arga jaga."

"Jangan panggil Om lagi," koreksi Ayah. "Panggil Ayah. Kamu sekarang anak Ayah juga."

Arga terlihat sedikit kaget, lalu mengangguk kaku. "Iya... Ayah."

Pukul setengah tujuh, mobil sewaan yang akan membawa mereka ke bandara tiba. Inilah saatnya.

Bunga memeluk Ibunya erat-erat. Tangisnya yang ia tahan sejak Subuh akhirnya pecah. "Ibu... Bunga berangkat, ya. Ibu jaga kesehatan. Jangan capek-capek."

"Iya, Nduk, iya," Ibunya terisak, mengusap punggung Bunga. "Kamu juga di sana. Nurut kata suami, ya. Jangan bikin Arga pusing."

Bunga melepas pelukannya dan beralih ke Ayah. Laki-laki tegar itu matanya berkaca-kaca. Bunga mencium tangannya. "Ayah, Bunga pamit."

Ayah hanya mengangguk, tidak bisa berkata-kata. Ia menepuk-nepuk puncak kepala Bunga, usapan yang sama persis seperti yang Arga lakukan semalam. Hati Bunga mencelos.

Ia merasa seperti penipu ulung. Ia mendapatkan apa yang ia mau—izin kuliah—dengan mengorbankan perasaan tulus orang tuanya.

"Sudah, ayo berangkat," kata Arga lembut, menepuk bahu Bunga. "Nanti keburu macet di jalan."

Bunga melepaskan rangkulan Ayahnya dan bergegas masuk ke mobil. Arga menyusul setelah mencium tangan kedua mertuanya.

Sepanjang perjalanan ke bandara, Bunga hanya diam, memandangi sawah dan perbukitan yang perlahan menjauh dari balik jendela mobil. Ia menangis dalam diam.

Arga, yang duduk di sebelahnya, tidak berkata apa-apa. Ia hanya menyodorkan sebotol air mineral. "Minum. Nanti dehidrasi."

Bunga menerimanya tanpa menoleh.

Di bandara, suasana berubah 180 derajat. Arga mengambil alih komando. Ia yang mendorong troli berisi tiga koper raksasa mereka. Ia yang mengurus check-in sementara Bunga disuruh duduk manis menjaga ransel.

"Nih," Arga menyerahkan boarding pass pada Bunga. "Gerbang A3. Kita nunggu di sana. Mau ke toilet dulu?"

Bunga menggeleng. Ia seperti anak ayam yang mengekor di belakang induknya, merasa kecil dan asing di tengah keramaian bandara.

Masalah dimulai saat pemeriksaan keamanan.

Arga lewat lebih dulu. Tas ranselnya aman. Ia menunggu Bunga di seberang.

Bunga meletakkan tas ranselnya yang berwarna pink cerah ke mesin X-ray. Tiba-tiba, petugas yang memantau monitor mengernyit.

"Bentar, Mbak. Tasnya bisa dibuka?"

Jantung Bunga berdebar. "Ke-kenapa, Pak?"

"Ini ada benda apa ya di dalam? Bentuknya... seperti mangkuk batu?"

Arga yang mendengar itu langsung menoleh, alisnya terangkat.

Dengan tangan gemetar, Bunga membuka ritsleting ranselnya. Petugas itu, dengan sarung tangan, mulai mengeluarkan isinya. Laptop, aman. Pouch make-up, aman. Buku catatan, aman. Boneka panda Momon, aman.

Lalu, petugas itu merogoh lebih dalam dan mengeluarkan sebuah benda yang dibungkus kain lap.

Benda itu dibuka.

Sebuah cobek kecil. Lengkap dengan ulekannya.

Seluruh dunia Bunga serasa berhenti. Mukanya memerah padam. Itu pasti ulah Ibunya! Ibunya pasti menyelinapkannya ke dalam ransel saat ia mandi tadi pagi!

"Mbak... ini cobek?" tanya petugas itu, wajahnya datar menahan tawa.

"I-iya, Pak," cicit Bunga. "Disuruh... disuruh Ibu saya. Katanya biar bisa bikin sambal di sana."

Petugas di sebelahnya sudah terkekeh pelan. Beberapa orang di antrean belakang mulai berbisik-bisik.

Bunga ingin sekali mengubur dirinya di bawah mesin X-ray itu.

Ia menoleh ke Arga, mencari pertolongan.

Dan pemandangan itu membuatnya semakin malu.

Arga Pradipta, suaminya yang kaku dan logis itu, sedang berdiri mematung. Wajahnya memerah. Ia berusaha keras menahan tawa, bibirnya terkatup rapat, tapi matanya menyipit geli. Lalu ia tidak tahan lagi. Arga membalikkan badan, bahunya berguncang hebat. Laki-laki itu tertawa tanpa suara.

"MAS ARGA JANGAN KETAWA!" desis Bunga, suaranya tertahan antara ingin menangis dan ingin melempar cobek itu ke kepala suaminya.

"Maaf... maaf," kata Arga, berbalik badan, berusaha mengontrol tawanya. Matanya berair. "Pak," katanya pada petugas, "bisa... bisa dibungkus lagi? Ini... ehm... pusaka keluarga, kayaknya."

Petugas itu akhirnya tertawa juga. "Nggak bisa masuk kabin, Mas. Bahaya ini, bisa buat nimpuk pilot," candanya. "Harus masuk bagasi. Tapi check-in sudah tutup. Ya... terpaksa ditinggal, Mbak."

"DITINGGAL?" pekik Bunga. "Nggak bisa, Pak! Ini amanat Ibu saya! Nanti saya dimarahi!"

Arga menghela napas, sisa tawanya masih terdengar. "Ya sudah, Pak. Ambil saja. Nanti saya beli lagi di sana," katanya pada Bunga.

"Nggak mau! Ibu pasti sedih!" rengek Bunga.

Melihat drama cobek itu, petugas yang baik hati itu akhirnya mengalah. "Ya sudah, ya sudah. Dibawa saja, Mbak. Tapi dibungkus yang rapat, ya. Jangan dikeluarin di pesawat. Awas kalau buat ngulek di atas."

"Siap, Pak! Makasih, Pak!" kata Bunga lega.

Saat mereka berjalan menuju ruang tunggu, Bunga cemberut, memeluk ranselnya yang kini berisi cobek berharga. Arga masih terkekeh pelan di sebelahnya.

"Berhenti ketawa, Mas!"

"Nggak," kata Arga. "Mas baru tahu sekarang ada yang bawa cobek masuk pesawat. Kamu benar-benar... luar biasa, Bunga."

"Itu Ibu!"

"Iya, tapi kamu yang bawa," ledek Arga.

Bunga memukul lengan Arga pelan. Dan anehnya, pukulan itu terasa ringan. Kecanggungan di antara mereka mencair drastis, tergantikan oleh rasa malu Bunga dan tawa Arga.

Di dalam pesawat, Bunga mendapat tempat duduk di dekat jendela. Ini adalah penerbangan pertamanya. Saat pesawat mulai take-off, ia mencengkeram lengan kursi erat-erat, wajahnya pucat pasi.

"Pusing?" tanya Arga di sebelahnya.

Bunga mengangguk, matanya terpejam.

"Kunyah ini," Arga menyodorkan permen karet. "Biar telinganya nggak sakit. Lihat ke luar. Pemandangannya bagus."

Bunga membuka mata dan menuruti. Ia melihat ke luar jendela. Rumah-rumah, sawah, semuanya terlihat mengecil, lalu menghilang tertutup awan. Ia sudah benar-benar pergi.

Satu jam kemudian, Bunga sudah terlelap. Kelelahan fisik dan emosional beberapa hari terakhir akhirnya menuntut balas. Kepalanya yang tertunduk-tunduk, akhirnya mendarat pelan di bahu Arga.

Arga menegang.

Ia menoleh, menatap puncak kepala Bunga yang bersandar di bahunya. Wangi sampo melati samar-samar tercium. Wajah Bunga terlihat sangat polos saat tidur. Seperti anak kecil.

Arga terdiam. Ia menatap lurus ke depan. Ini bagian dari 'menjaga', batinnya. Biar saja. Dia pasti capek.

Alih-alih menjauh, Arga justru sedikit memiringkan tubuhnya, memberi sandaran yang lebih nyaman. Ia mengambil selimut kecil dari pramugari dan menyelimuti Bunga. Lalu, ia kembali membaca majalah penerbangan, seolah-olah bersandarnya seorang istri di bahu suami adalah hal paling normal di dunia.

"Bunga. Bangun. Kita sudah mendarat."

Bunga terbangun dengan kaget. Ia baru sadar posisinya. Ia langsung menegakkan badan, wajahnya memerah. "Ma-maaf, Mas. Nggak sengaja."

"Nggak apa-apa," kata Arga, suaranya datar. "Ayo, siap-siap turun."

Apartemen Arga terletak di sebuah gedung tinggi di pusat kota. Perjalanan dengan taksi dari bandara membuat Bunga pusing—macet di mana-mana.

Lift membawa mereka ke lantai 21. Bunga menelan ludah, telinganya berdengung lagi.

Ting.

Pintu lift terbuka. Koridornya sepi dan ber-AC. Arga berhenti di depan pintu nomor 2108. Ia membuka kunci digitalnya. Bip-bip-bip. Cklek.

"Masuk," kata Arga, menahan pintu.

Bunga melangkah masuk.

Apartemen itu... sangat Arga. Minimalis, rapi, nyaris steril. Warnanya didominasi abu-abu, putih, dan kayu. Ada sofa besar, TV, dan rak buku tinggi yang penuh dengan buku-buku tebal. Dapur bersihnya menyatu dengan ruang tamu. Jendela kaca besar di ujung ruangan menampilkan pemandangan kota yang gemerlap.

"Wah..." hanya itu yang bisa Bunga katakan.

"Barang-barang biar di sini dulu," kata Arga, meletakkan koper di dekat pintu.

Ia berjalan ke lorong kecil di samping dapur. Bunga mengikutinya.

Di sana, ada dua pintu kamar yang saling berhadapan.

Arga menunjuk pintu di sebelah kiri. "Itu kamarmu. Sudah Mas siapkan."

Lalu ia menunjuk pintu di sebelah kanan. "Itu kamar Mas."

Ia menatap Bunga. Wajahnya kembali serius. Tidak ada lagi sisa tawa insiden cobek tadi.

"Selamat datang di apartemen, Bunga," katanya, suaranya formal. "Fase dua dari perjanjian kita... dimulai sekarang."

Bunga berdiri di tengah ruang tamu, memeluk boneka Momon dan ransel berisi cobek pusakanya. Ia menatap pintu kamarnya yang tertutup. Pintu kebebasannya.

Jaraknya hanya tiga langkah dari kamar Arga.

1
indy
Ceritanya bikin senyum-senyum sendiri. arga latihan sekalian modus ya...
minsook123
Suka banget sama cerita ini, thor!
Edana
Sudah berhari-hari menunggu update, thor. Jangan lama-lama ya!
Ivy
Keren banget sih ceritanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!