NovelToon NovelToon
My Lovely Cartel

My Lovely Cartel

Status: sedang berlangsung
Genre:Kriminal dan Bidadari / Nikah Kontrak / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Psikopat itu cintaku / Crazy Rich/Konglomerat / Mafia
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: DityaR

Kakak macam apa yang tega menjual keperawanan adiknya demi melunasi utang-utangnya?

Di wilayahku, aku mengambil apa pun yang aku mau, dan jelas aku akan mengambil keperawanan si Rainn. Tapi, perempuan itu jauh lebih berharga daripada sekadar empat miliar, karena menaklukkan hatinya jauh lebih sulit dibandingkan menaklukkan para gangster di North District sekalipun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Uang Paroki

...୨ৎ R A I N N જ⁀➴...

Begitu mobil mobil itu berhenti di depan rumahku, kepala langsung nyut-nyutan, antara takut, bingung, sama ingin menangis. Aku bahkan enggak berani menengok ke arah Remy waktu bilang, “Makasih.”

Cepat-cepat aku ambil kantong belanjaan, keluar dari mobil, terus tutup pintunya buru-buru sebelum lari ke arah teras.

Ya, Tuhan. Kenapa, sih engkau biarkan cowok itu terus saja muncul di hidup hambamu ini?

Aku buka kunci pintu depan, masuk, dan langsung keluarkan napas lega waktu dengar suara mobil-mobil itu pergi menjauh.

Gila ... benar-benar gila.

Begitu pintu sudah kukunci lagi, aku jalan ke dapur sambil membatin, “Aku enggak percaya hari ini benaran terjadi. Mau apa dia sebenarnya?"

Cowok kayak dia tuh enggak pernah melakukan sesuatu tanpa ada maksud tertentu. Aku taruh tas belanja di meja, terus mulai bongkar isinya satu-satu.

Saat itu juga aku baru ingat uang di dompet. Begitu aku keluarkan, pandangan langsung jatuh ke situ.

Meskipun Remy menyuruhku simpan duit itu, aku tetap bakal mengembalikannya ke Pastor Yeskil hari Minggu nanti. Biar saja paroki anggap itu sumbangan dari Remy. Aku bakal jelaskan semuanya ke Pastor Yeskil dan minta dia jangan bicara ke siapa-siapa.

Aku tarik kursi di meja dapur, duduk, terus keluarkan erangan panjang. Hidupku yang tadinya tenang, sekarang rasanya kayak terlempar ke jurang. Aku benar-benar enggak mengerti kenapa bisa begini.

Tiba-tiba, Amilio muncul di dapur. Aku belum sempat menyembunyikan duit itu, matanya sudah langsung menangkap. Tanpa bicara apa-apa, dia pun mendekat dan rebut uang itu dari tanganku.

“Eh! Itu uang paroki, Amilio!” protesku sambil berdiri, ingin merebutnya kembali.

Dia malah kasih senyum menyebalkan, dan bicara pelan, “Sekarang uang ini punya aku.”

Tangan dia menyentuh bahuku, terus dia dorong aku sampai jatuh menabrak meja. Sakitnya terasa di punggung bawah, tapi aku tahan, masih terus memperhatikan dia dengan tatapan muak.

Aku kira dia bakal pukul atau menendang seperti biasanya, tapi untungnya dorongan tadi sudah cukup buat dia. Begitu dia meninggalkan dapur, aku langsung jatuh duduk lagi di kursi, mukaku tenggelam di antara tangan.

Aku sudah enggak sanggup lagi, Tuhan. Tolong, tolong banget, lepaskan Amilio dari hidup aku.

Beberapa detik kemudian, aku dengar suara pintu depan tertutup. Amilio pergi.

“Makasih.” Isak sedu keluar pelan dari dadaku. Aku peluk diri sendiri, biarkan air mata tumpah sepuasnya.

Aku akan melakukan apa saja, Tuhan. Asal tolong bantu aku keluar dari neraka ini.

Butuh beberapa menit untuk aku bisa mengendalikan emosi. Setelah napasku mulai normal, aku lihat belanjaan di meja, terus bangkit buat bereskan satu per satu.

Jelas Amilio lagi ke Midnight Heavens buat judi. Artinya, dia enggak bakal pulang dalam waktu dekat. Syukurlah, Tuhan masih kasih aku jeda napas walau cuma sebentar.

Aku jalan ke kamar, lepas cardigan yang tadi aku pakai, terus ganti pakai setelan yang longgar. Tapi waktu lewat depan cermin, bayanganku sendiri bikin langkahku terhenti. Refleks aku pun menengok. Dan di situ, aku lihat memar biru keunguan di lengan sama kaki. Rasanya sungguh menyesakkan.

Aku angkat sedikit bagian bawah baju, lihat kulit di sisi tubuhku yang penuh bercak ungu, merah, sama coklat. Setiap memar itu meninggalkan rasa sakit. Aku cuma bisa berpikir, ajaib banget kalau aku masih bisa jalan tanpa, patah tulang.

Aku enggak mau tenggelam dalam keprihatinan diri sendiri. Jadi aku turunkan lagi bajunya, keluar kamar, dan berpikir, "Amilio lagi pergi, jadi malam ini, aku mau makan enak sampai perut kembung."

Jadi aku kembali ke dapur, ambil beberapa kentang, duduk di meja, dan mulai mengupas satu per satu. Aku mau bikin Petito, makanan khas Santoro dari kentang tumbuk dan telur yang digulung ke tepung roti. Saat digoreng, hasilnya renyah banget dan gurih. Selain itu, aku juga siapkan Kebab, semacam roti tipis isi sayur, keju, sama daging.

Begitu semuanya sudah matang, aku ambil soda dingin dari kulkas, taruh makanan di piring besar, dan bawa ke ruang tamu.

Aku duduk di sofa, menyilangkan kaki, taruh piring di pangkuan, terus ambil remote TV. Aku hidupkan Netfliq dan pelan-pelan, aku larut ke dunia mereka, sambil menikmati tiap gigitan Petito-ku.

Serial itu bercerita tentang kota kecil yang damai, dikelilingi pepohonan dan sungai jernih. Aku ingin banget hidup di tempat seperti itu. Mungkin ... suatu hari nanti, mimpi itu bisa jadi kenyataan.

Setelah makan, aku taruh piring di meja kopi, rebahan di sofa, dan terus menonton episode demi episode. Setidaknya, kepalaku jadi agak tenang.

Tapi tiba-tiba ...

BRAKK!!!!

Tubuhku terpental ke meja kopi. Aku terbangun kaget, bahkan belum sepenuhnya sadar, tangan kasar sudah menyergap leherku dan mengangkat aku dari lantai.

Pandanganku langsung bertemu sama mata itu. Dingin.

Sadis.

Torra Lukito.

Salah satu tangan kanan Cavell Rose.

“Di mana Amilio?” suaranya berat dan mengancam.

“Midnight Heavens.” Aku cuma bisa mendesis di sela cengkeramannya yang bikin napasku megap-megap.

Seketika, dia membantingku seperti boneka lusuh ke arah lemari minuman. Botol-botol berderak, pecah, dan suara pecahannya bercampur sama napasku yang sesak.

Aku bangkit pelan dari lantai, pandangan masih kabur, dan di depan aku sudah ada beberapa pria lain. Orang-orang Marunda.

Mereka enggak bicara apa-apa. Cuma mengacak-acak ruang tamu, merampas apa saja yang bisa diambil, terus pergi meninggalkanku di lantai, sendirian, di antara pecahan kaca dan ketakutan yang makin menjadi.

Baru setelah itu, aku sadar sepenuhnya apa yang baru saja terjadi. Kaget, panik, ngeri, campur sedih yang enggak ada ujungnya. Hidup seperti ini, cepat atau lambat pasti akan membunuhku. Dan aku yakin itu.

Aku bangkit pelan dari lantai, tapi tiba-tiba teriakan kecil lolos dari mulutku waktu telapak kakiku menginjak pecahan kaca. Salah satu pintu kaca lemari ternyata sudah pecah waktu aku dibanting tadi, dan aku bahkan enggak sadar.

Pelan-pelan, agar enggak menginjak pecahan lain, aku pun tertatih jalan ke kamar mandi. Duduk di pinggiran bathtub, aku cabut serpihan kaca yang menancap di kaki, menahan perih sambil mengelus-elus betis yang gemetaran. Aku ambil kotak P3K dari lemari, keluarin tisu antiseptik, bersihin lukanya, terus membalutnya pelan.

Napasku berat, dada sesak, dan mataku jatuh ke lantai yang ada bercak darah. Ini bukan pertama kalinya ada orang mencari Amilio ke rumah, tapi baru kali ini salah satu dari mereka menyakitiku. Biasanya Amilio yang kena bogem mentah mereka.

Entah kenapa, pikiran busuk sempat menyelinap, "Andai saja mereka membunuh dia malam ini, mungkin aku akhirnya bisa tenang, hidup tanpa rasa takut." Dan waktu sadar aku berpikir begitu, rasa bersalah langsung menyerbu. Aku menyilangkan diri, bikin tanda salib. “Maaf, Tuhan ... hari ini ujiannya berat banget.”

Waktu aku berdiri lagi, aku pastikan enggak kasih tekanan berlebihan ke kaki yang terluka. Pelan-pelan, aku jalan ke ruang tamu buat mulai bereskan semua kekacauan. Aku capek banget. Rasanya kalau ada bantuan saja sedikit, itu sudah seperti mukjizat.

“Tuhan,” celetukku pelan, “Aku enggak maksa sih, tapi bisa enggak engkau kirimin satu ibu peri buat bantuin aku beresin semua ini?”

Dengan napas tersengal, aku mulai kerjakan. Mengangkat pecahan kaca, mengelap meja, merapikan segala yang jatuh. Setelah semuanya kembali seperti semula, kecuali pintu kaca yang sudah hancur, aku akhirnya menjatuhkan diri di sofa.

“Gimana mereka bisa masuk, sih?” gumamku.

Aku langsung bangkit dan lari ke pintu depan. Kuncinya masih utuh, enggak ada tanda-tanda dirusak. Berarti Amilio yang bodoh itu enggak mengunci waktu pergi tadi.

“Berengsek,” desisku sambil geleng-geleng kepala.

Aku putar kuncinya sekarang, tapi saat hampir terkunci, aku berhenti. Kalau dia pulang dan menemukan pintu terkunci dari dalam, dia pasti ngamuk, dan aku yang bakal kena bogem. Aku hela napas panjang, merasa kalah lagi.

“Tenang, ini sudah biasa di Marunda,” omelku sendiri. Terus jalan ke dapur, menyalakan keran, dan mulai mencuci piring sisa makan tadi. Air mengalir, dan aku berbisik, “Capek banget hidup kayak gini. Aku cuma pingin semuanya selesai.”

1
Dewi kunti
hadeeeeehhh siang2 mendung gini malah adu pinalti
Dewi kunti: iya dooong
total 2 replies
Dewi kunti
bukan tertunduk kebelakang tp mendongak
Dewi kunti
🙈🙈🙈🙈🙈ak gak lihat
Dewi kunti
wis unboxing 🙈🙈🙈🙈🙈moga cpt hamil
Dewi kunti: lha tadi udah dicrut di dlm kan🙈🙈🙈🙈
total 2 replies
Dewi kunti
minta bantuan Remy Arnold aj
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!