Rindi, seorang perempuan berusia 40 tahun, harus menelan pahitnya kehidupan setelah menjual seluruh hartanya di kampung demi membiayai pendidikan dua anaknya, Rudy (21 tahun) dan Melda (18 tahun), yang menempuh pendidikan di kota.
Sejak kepergian mereka, Rindi dan suaminya, Tony, berjuang keras demi memenuhi kebutuhan kedua anaknya agar mereka bisa menggapai cita-cita. Setiap bulan, Rindi dan Tony mengirimkan uang tanpa mempedulikan kondisi mereka sendiri. Harta telah habis—hanya tersisa sebuah rumah sederhana tempat mereka berteduh.
Hari demi hari berlalu. Tony mulai jatuh sakit, namun sayangnya, Rudy dan Melda sama sekali tidak peduli dengan kondisi ayah mereka. Hingga akhirnya, Tony menghembuskan napas terakhirnya dalam kesedihan yang dalam.
Di tengah duka dan kesepian, Rindi yang kini tak punya siapa-siapa di kampung memutuskan untuk pergi ke kota. Ia ingin bertemu kedua anaknya, melepas rindu, dan menanyakan kabar mereka. Namun sayang… apa yang dia temukan di sana.........
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08. MENYUSUN RENCANA JAHAT.
Pagi kembali datang menyapa dengan dingin yang masih menggantung di udara. Belum juga matahari terbit, Rindi sudah bangun dan segera membersihkan diri. Ia mandi sebersih mungkin, berharap tak ada lagi alasan bagi Rika untuk menghina atau menuduhnya membawa penyakit bagi bayinya.
Setelah berpakaian rapi, Rindi berjalan menuju dapur. Langkahnya pelan, berusaha tidak menimbulkan suara di lantai marmer yang dingin. Rumah itu masih sunyi, hanya terdengar detak jam dinding yang seolah berlomba dengan debar jantungnya. Ia berencana menyiapkan bubur untuk sang bayi seperti perintah Rika.
Di dapur, seorang pelayan muda bernama Sinta sudah lebih dulu sibuk memotong sayuran. Rindi tersenyum kecil mencoba menyapa, namun Sinta hanya melirik sekilas tanpa menjawab.
Rindi pura-pura tak peduli, lalu mulai menyiapkan bahan bubur. Belum juga semua bahan siap, suara sindiran terdengar dari mulut Sinta.
“Cepat juga bangunnya? Takut dimarahi nyonya?” Sinta tertawa kecil, nada suaranya jelas meremehkan.
Rindi terdiam sejenak. Ia tahu, Sinta tidak menyukainya sejak hari pertama ia datang. Mungkin karena menganggap dirinya hanya orang kampung yang berusaha mencari muka di depan majikan.
“Aku cuma melakukan tugasku dengan baik sesuai perintah nyonya muda,” jawab Rindi pelan tanpa menatap.
Sinta meletakkan pisau dengan keras di atas talenan, suaranya memecah keheningan pagi.
“Ah, tugas? Atau lagi cari perhatian biar disayang nyonya? Dengar-dengar kamu dulu kerja di rumah orang kaya, tapi ketahuan menggoda majikanmu”
Rindi menghentikan gerakannya. Matanya menatap tajam, tapi suaranya tetap tenang.
“Jangan asal bicara. Aku bukan perempuan seperti itu.”
Sinta tertawa kecil, lalu berseloroh dan berbisik pelan saat melewatinya.
“Bukan perempuan seperti itu, he? Kalau Nyonya Marta sampai tahu apa yang kamu lakukan semalam dengan Tuan Arman, kamu tak akan bertahan lama di sini.”
Rindi terdiam. Dadanya terasa sesak. Rupanya Sinta diam-diam mendengar pertengkaran mereka semalam.
Rindi mencoba tenang mengacuhkan semua perkataan Sinta dan melanjutkan pekerjaannya seolah tak terjadi apa-apa.
Tidak lama kemudian dua pelayan masuk menatap Rindi dengan tatapan tak suka.
“Kasihan, ya… baru juga kerja, udah kena masalah,” bisik salah satu pelayan, pura-pura memotong sayur.
"Yang parahnya lagi, menggoda majikan sendiri." ucap Sinta tertawa di ikuti kedua temanya.
Tidak sampai di situ saja, Sinta mendekati Rindi yang sibuk mengaduk bubur.
“Sudah tua tapi masih genit.”
Sinta mendengus, mencoba menyentuh wajah Rindi dengan ujung telunjuknya. Dengan cepat, Rindi memutar tangan Sinta dan menahannya kuat-kuat.
“Aduh… sakit!” jerit Sinta keras, membuat dua pelayan lain terkejut. Mereka hanya terpaku, tak berani menolong.
Rindi menatap tajam, suaranya rendah namun menakutkan.
“Jangan pikir karena aku orang baru di sini, kamu bisa seenaknya menindas ku. Sekali lagi kamu mengganggu ku, aku tidak akan segan mematahkan tangan dan merobek mulutmu."
Dengan dorongan kuat, Rindi melepaskan tangan Sinta hingga gadis itu tersungkur ke lantai. Dua temanya makin ketakutan ketika Rindi mengarahkan pandangan tajam pada mereka.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Rindi mencicipi bubur buatannya lalu mengambil mangkok mengisinya dengan bubur dan meletakan diatas nampan lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan tenang.
Sinta mengerang pelan sambil mengurut pergelangan tangannya yang memerah.
“Tenaga perempuan itu kuat sekali… tanganku hampir saja dipatahkan,” gumamnya penuh kesal.
"Bagaimana pun caranya, kita harus menyingkirkan dia dari sini." lanjut Sinta dengan bola mata penuh dendam.
Kedua temanya sepakat dan mulai menyusun rencana untuk menyingkirkan Rindi dari rumah itu.
Sementara itu, Rindi yang sudah tiba di kamar bayi segera meletakkan nampan di atas nakas. Melihat sang bayi masih tertidur lelap, ia perlahan membuka gorden. Sinar matahari masuk melalui kaca besar, membuat seluruh ruangan tampak terang dan hangat.
Tak lama kemudian, bayi itu mulai bergerak pelan. Rindi segera menghampirinya, lalu tersenyum lembut.
“Selamat pagi, tampan. Apa malammu menyenangkan?” sapanya lembut.
Bayi itu sempat tertawa kecil, namun tiba-tiba menangis. Rindi segera memeriksa popoknya, dan benar—bayi itu pipis. Dengan telaten, ia mengangkat sang bayi ke kamar mandi, membersihkan tubuh mungil itu sekaligus memandikannya.
“Dulu, nenek juga melakukan hal ini pada ayahmu,” ucap Rindi lirih sambil menatap wajah polos sang bayi.
“Merawatnya dengan penuh kasih sayang… tapi sekarang, ia sepertinya lupa dan menganggap nenek seperti sampah.”
Rindi menahan air matanya sekuat mungkin agar tak jatuh di depan sang bayi. Seolah mengerti kesedihannya, bayi itu mengangkat tangannya yang penuh sabun dan menyentuh lembut wajah Rindi dan tersenyum manis—seolah ingin menguatkannya agar tak bersedih.
Rindi tersenyum haru, kesedihannya perlahan memudar. Ia mencium pipi bayi menggemaskan itu berulang kali, membuat tawa ceria kembali memenuhi ruangan.
Saking asyiknya bermain dengan sang bayi, Rindi tak menyadari ada seseorang yang mengintip dari celah pintu. Orang itu menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan situasi aman. Setelah yakin tak ada yang melihat, ia melangkah masuk secara perlahan dan mengendap-endap.
Dari saku bajunya, orang itu mengeluarkan bungkusan kecil, lalu menaburkan isinya ke atas mangkuk bubur yang telah disiapkan Rindi. Gerakannya cepat dan hati-hati. Setelah selesai, ia menatap ke arah kamar mandi sambil tersenyum tipis, kemudian segera keluar ruangan dan menutup pintu kembali seperti semula—seolah tak pernah ada siapa pun yang masuk.
Tak lama kemudian, Rindi keluar sambil menggendong sang bayi yang sudah diselimuti handuk. Ia membaringkan bayi itu di atas ranjang kecil, mengusap tubuh mungilnya dengan minyak telon, menaburkan bedak, lalu mengenakan pakaian bersih dengan penuh kasih sayang.
“Nah, sekarang sudah anteng. Saatnya makan dan minum cucu.”
Rindi mengambil mangkuk bubur tanpa sedikit pun rasa curiga. Dengan penuh kasih, ia mulai menyuapi sang bayi sambil sesekali bercanda kecil agar si kecil tetap ceria. Sedikit demi sedikit, bubur di mangkuk habis tak bersisa.
Rindi melanjutkan memberi minum sang bayi dengan sendok, sabar dan hati-hati agar tidak tersedak.
“Kamu tunggu di sini dulu, ya. Nenek akan bawa mangkuk kotor ini ke dapur, sekalian membuat susu untukmu, ingat jangat rewel." ujarnya lembut sambil tersenyum.
Rindi keluar dari kamar membawa nampan berisi mangkuk dan dot susu. Setibanya di dapur, ia meletakkan peralatan kotor di tempat pencucian, lalu mengambil susu bubuk dan menuangkannya ke dalam dot. Setelah itu, ia mengisi dot dengan air panas dan mengocoknya perlahan hingga tercampur rata.
Susi dan kedua temannya tampak cuek, namun jelas terlihat dari sikap mereka bahwa rasa takut masih tersisa setelah kejadian di dapur pagi tadi.
Rindi tak peduli. Baginya, suasana dingin dan acuh mereka justru lebih baik daripada harus berurusan lagi dengan mulut tajam para pelayan itu.
Baru saja ia hendak melangkah meninggalkan dapur, tiba-tiba suara teriakan histeris terdengar dari arah kamar bayi.
“Rindi! Kamu apakan bayiku?!” teriak Rika panik.