Sagala terkejut bukan main saat tetangga depan rumah datang menemuinya dan memintanya untuk menikah dengan putri mereka secepatnya. Permintaan itu bukan tanpa alasan.
Sagala mendadak pusing. Pasalnya, putri tetangga depan rumah adalah bocil manja yang baru lulus SMA. Gadis cerewet yang sering mengganggunya.
Ikuti kisah mereka ya. Ketika abang adek jadi suami istri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F.A queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ohh, Abang
Setelah makan, mereka ke pusat perbelanjaan.
"Waah ini mall gede ya, Bang." Annisa berkata penuh kekaguman. Dia mengedarkan pandangannya dengan takjub. Dia adalah gadis kampung yang baru datang ke ibu kota untuk yang pertama kalinya. Semua yang ia lihat membuatnya bahagia.
"Abang, fotoin aku ya. Aku mau pamer sama temen-temen dong." Annisa mengambil ponselnya dan memberikannya pada Sagala.
Laki-laki itu menuruti permintaannya. Satu jepretan.
Dua jepretan. Tiga sampai lima.
"Nanti lagi. Kita belanja dulu."
Annisa mengangguk. Dia memasukkan ponselnya ke dalam tas.
Mereka melanjutkan langkah masuk ke dalam. Namun baru beberapa meter, aroma manis yang menggoda langsung menyergap. Roti panggang bercampur coklat hangat, lembut, benar-benar seperti ajakan manis untuk mampir.
Annisa reflek menghentikan langkahnya. Ia menengok ke kiri, matanya langsung menemukan kedai penyebab aroma itu. Rak-rak roti yang disusun rapi, kue-kue yang tampak segar baru keluar dari oven. Perutnya kenyang, tapi hatinya goyah.
"Ah besok kalau kesini lagi, jangan makan duluan," gumamnya cemburu pada perutnya sendiri. “Biar bisa beli roti.”
Di sana, Sagala menghentikan langkah, menyadari jika tidak ada Annisa di sampingnya. Ia menoleh cepat, rasa panik sekilas terlihat di wajahnya. Baru setelah matanya menemukan Annisa berdiri terpaku di depan sebuah kedai roti, ia menghela napas lega, bahunya turun santai kembali.
Ia melangkah ke sana, bukan pada Annisa tapi pada kedai roti itu.
Annisa yang masih berdiri di tempatnya, membelalak kecil saat melihat Sagala ada di sana.
"Abang." Panggilnya pelan. Lalu segera berlari kecil menghampiri. "Abang," ulangnya setelah sampai disamping Sagala.
Sagala menoleh menatapnya. "Mau rasa apa?" Tanyanya.
"Tapi aku kenyang," jawab Annisa.
"Nggak apa-apa. Nanti dimakan di rumah."
Mata Annisa berkaca-kaca tiba-tiba. Umm, abang baik banget. Ia tersenyum lebar dengan hati yang hangat.
"Mau rasa coklat sama rasa mocca." Jawab Annisa.
"Ok."
Setelah mendapatkan satu kotak roti, mereka beralih ke gerai swalayan besar di lantai dua.
Sagala mendorong troli dengan santai.
“Sini, jalan depan troli,” ucap Sagala. “Ambil yang kamu suka.”
Annisa mengangguk cepat. “Siap, Abang!” serunya, seolah ini misi penting. Ia maju sedikit, lalu berhenti di rak jajanan.
"Abang, aku mau ini, boleh nggak?" tanyanya sambil menunjuk kripik kentang berlogo kumis yang mencolok.
Sagala mengangguk, “Boleh. Ambil aja."
Annisa tersenyum lalu mengambil satu. Tapi belum sempat memasukkannya ke troli, tangan Sagala terulur, mengambil dua lagi dengan rasa yang berbeda.
“Abang mau juga?” Annisa menoleh.
“Nggak, buat kamu,” jawab Sagala singkat.
Annisa mengalihkan pandangan, menyembunyikan senyum.
Lanjut. Annisa menunjuk stik coklat.
"Abang, aku mau ini."
"Iya."
"Mau ini juga."
"Boleh."
"Yang ini boleh?"
"Ambil."
"Ini?"
"Boleh," jawab Sagala.
"Aku mau ini."
"Gass."
"Jajan ini?"
"Boleh."
Jari telunjuk Annisa kini mengarah pada dada Sagala. "Kalau ini?"
Sagala diam sejenak, menatap jari Annisa, lalu menunduk menatap dadanya sendiri. Alih-alih menjawab, dia membungkuk sedikit, lalu dengan gerakan cepat, menggigit pelan ujung jari Annisa.
Annisa terlonjak, kaget. Refleks langsung menarik tangannya. “Abang!!” pekiknya.
Sagala tegak kembali, matanya serius. “Jangan main tunjuk sembarangan," katanya. Lalu melangkah tenang melewati Annisa, mendorong troli ke arah lorong minuman.
Annisa terdiam, menunduk menatap jarinya, lalu tersenyum kecil, merasa aneh. Pelan, ia membalik badan, menatap Sagala yang melangkah semakin jauh. Menatap punggung itu dengan perasaan bahagia.
Lalu ia berlari kecil menyusulnya. "Abang, kok aku ditinggalin."
🌱
Sepulang belanja, mereka langsung ke dapur. Tas belanja berjejer di atas meja, isinya penuh: mie instan berbagai rasa, aneka frozen food, sarden, buah-buahan, roti tawar beserta selai aneka rasa, kopi sachet, dan tentu saja jajanan kesukaan Annisa yang setengah troli lebih.
Sagala membuka satu per satu kantong belanjaan sambil menata isinya. Ia menyusun mie instan dalam rak khusus, meletakkan bungkusan sosis ke dalam freezer, lalu mengambil toples kaca untuk menuang kopi.
Di sisi lain, Annisa dengan antusias menata coklat, biskuit, dan camilan di rak paling bawah, lebih mudah dijangkau.
Namun, di tengah semua kegiatannya, bibir Annisa menguap lebar. Mata berkedip pelan.
“Sikat gigi lalu tidur,” ucap Sagala, suaranya tenang tapi tegas, sambil tetap fokus menata wadah kopi.
Annisa melirik jam dinding. “Tapi ini belum selesai nata semuanya,” protesnya pelan.
“Besok lagi, ini udah jam sebelas malam,” Sagala menegaskan tanpa mengangkat kepala. Tangannya sudah mengambil selai kacang dan memasukkannya ke dalam lemari.
“Tapi aku—”
“Nurut sama Abang.” Suara Sagala terdengar lebih dalam, cukup untuk memotong perkataan Annisa.
Ia berhenti, menoleh, dan menatap Annisa dengan sorot serius yang tak memberi ruang untuk dibantah.
Annisa terdiam. Tatapannya jatuh ke lantai. “Baik, Abang,” ucapnya pelan. Lalu ia beranjak, berjalan keluar dapur tanpa menoleh, seperti anak kecil yang baru diingatkan agar tidur tepat waktu.
Begitu Annisa menghilang di ambang pintu, Sagala menghela napas panjang. Ia kembali menata belanjaan satu persatu.
🌱🌱🌱
Pagi harinya.
Annisa benar-benar tidak tidur setelah sholat subuh. Namun saat keluar dari kamar, yang ia lihat justru... kosong. Tidak ada Sagala di ruang makan, bukan di dapur, bukan juga di ruang TV. Belanjaan semalam juga sudah rapi di tempatnya.
"Bang?" panggilnya pelan, tapi tak ada sahutan.
Ia berhenti sejenak di ruang tengah, merasakan angin pagi yang masuk lembut dari arah depan. Pintu rumah ternyata terbuka. Dengan langkah pelan, Annisa melangkah mendekat.
Begitu ia muncul di ambang pintu utama, langkahnya langsung terhenti.
Abang sedang menyapu halaman. Gerakannya tenang, wajahnya serius. Cahaya matahari yang baru muncul seakan memayungi tubuhnya, membuat pemandangan itu terasa... menyentuh.
“Ohh Abang…” bisik Annisa dalam hati, pipinya memanas tanpa alasan. “Jadi makin sayang.”
Ia menunduk, matanya kini menyisir lantai. Lantai ini... bersih sekali. Bahkan mengilap. Jam segini... berarti abang udah ngepel.
Annisa menelan ludah. Rasa bersalah dan rasa sayang berebut tempat di dadanya.
Mulai detik ini, ia berjanji pada dirinya sendiri. Besok, ia akan bangun lebih pagi. Bukan hanya untuk melihat punggung abang... tapi buat bantu bersihin rumah.
🌱🌱🌱
😁😁😁
tiati lho bang gala nanti kalo Nisa gak manja lagi ke Abang,Abang yg kelimpungan lho🤣