Serafim Dan Zephyr menikah karena di jodohkan oleh kedua orang tuanya, dari awal Serafim tahu Calon suaminya sudah mempunyai pacar, dan di balik senyum mereka, tersembunyi rahasia yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Blueberry Solenne, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 - Menjadi Suami Siaga
(Zephyr)
Setelah mengobrol dengan mertuaku, Louis memanggilku.
“Sudah kubilang jangan sampai terang-terangan, paham!”
Ia melemparkan beberapa fotoku dengan Zea. Aku pun memungutnya.
“Ada wartawan yang melihat kalian. Bereskan semua kekacauan yang sudah kau buat!” ucapnya kesal.
Dia sempat terdiam sebentar lalu berbalik dan menghajarku. Tinju pertamanya menghantam pipiku dengan keras. Aku tak sempat menangkis, hanya bisa menelan rasa perih yang seolah membakar seluruh wajahku. Darah terasa asin di bibirku, tapi lebih perih lagi saat mendengar suaranya yang penuh amarah. Lalu ia mencengkram kerah bajuku.
“Kau tahu kalau kau sampai bercerai dengan istrimu?”
Tiba-tiba Serafim menyusul kami ke balkon. Ia muncul dari balik pintu.
Aku menoleh dan menatap wajah Serafim yang pucat. Ia sempat bertanya pada kakaknya alasan kami bertengkar.
Ia mendekat dan sempat menyentuh bibirku.
Namun tubuhnya mendadak ambruk dan jatuh di pelukanku. Tanpa berpikir panjang, aku membopongnya lalu membawanya ke rumah sakit.
Aku benar-benar merasa bersalah. Aku memang jauh dari kata seorang suami yang baik. Aku hanya memberi nafkah materi tapi tidak dengan perhatianku. Aku hanya sibuk mengawasi keberadaannya tapi tidak memperdulikan perasaan dan kesehatannya. Aku tidak menyangka, ternyata… dia tidak sekuat dugaanku.
Kini ia sudah diberi infus. Aku hanya bisa menggenggam tangannya sambil menunggu dia siuman.
(Serafim)
Saat aku bangun, aku sudah di rumah sakit.
Zephyr sedang menggenggam tanganku erat.
“Phyr…”
“Fim, kamu sudah siuman?”
Dia langsung memelukku sambil tersenyum lebar.
Ia pun segera memanggil dokter. Aku pun kena marah.
“Iya, aku makan Serpinas tadi siang.”
“Sudah berapa kali aku bilang, kurangi makan pedasnya, Fim. Dan jangan terlalu banyak pikiran.”
“Kau menikahi pria kaya dan tampan, seharusnya kau bahagia,” ujar pacar kakakku, kebetulan dia adalah dokter di rumah sakit itu, Elaina.
“Baik, Dokter Elaina. Bolehkah aku minta bubur alvira? Aku lapar.”
Elaina jadi kesal padaku.
“Dasar. Kalau dinasehati ya. Aku akan menyuruh mereka segera membawanya ke sini.”
Aku mengangguk dan memaksakan tersenyum meski lemas.
“Hemmm, bagus.”
Lalu dia pamit. Zephyr mengucapkan terima kasih pada Elaina.
Tak berapa lama kemudian, suster membawakan bubur alvira dan obat untukku. Lalu Zephyr menawarkan diri untuk menyuapiku.
“Kalau kau menolak, mungkin nanti ayahmu lah yang akan memukuliku,” ucapnya.
Aku pun menyerah.
Ia menyuapiku dengan telaten.
Hmm… Bubur Alvira ini rasanya lembut, gumamku dalam hati. Tidak bisa dibilang enak, tapi entah kenapa perutku jadi lebih tenang setelah makan ini.
Tak berapa lama kemudian, ponselnya terus berdering, tapi dia terus menolak panggilannya hingga mematikannya. Aku hanya menatapnya dengan heran.
Selesai makan dan minum obat, ia menyuruhku tidur. Sebelum tidur aku menyuruhnya menghubungi Zea.
Dia mengangguk, lalu pergi keluar.
(Zephyr)
Setelah memastikan Serafim tertidur, aku langsung menelpon Zea.
“Maafkan aku Zea. Serafim masuk rumah sakit.”
“Apa? Masuk rumah sakit? Apa dia sedang hamil muda? Apa kau menidurinya, Phyr?” ucapnya panik dan curiga.
Aku meninggikan suaraku.
“Zea!"
"Maaf, aku tidak bermaksud membentakmu. Berhentilah cemburu padanya. Dia bahkan tidak tertarik padaku.”
Dari seberang telepon, Zea menangis.
“Aku tidak suka kalau kau membentakku, paham? Kita sudah delapan tahun bersama, sejak kita kuliah hingga sekarang. Aku… sangat mencintaimu, Phyr. Kau tahu bagaimana rasanya melihat orang yang kucintai menikah dengan orang lain?”
Lalu aku memberi pengertian lagi padanya. Ini memang berat bagi kami, dan aku yang salah tidak melepaskannya, tapi aku juga harus mengikuti keputusan orangtuaku.
“Zea, mertuaku…” Tapi aku tidak sampai hati memberitahunya lewat telepon. Aku bilang akan menemuinya jika Serafim sudah baikan. Untungnya dia memahamiku.
Aku kembali ke ruangan Serafim. Dia sudah tertidur lelap. Setelah bersih-bersih, aku pun tidur di sofa.
(Serafim)
Aku bergumam lirih.
“Sepertinya Zephyr sangat kelelahan… atau dia sedang bersedih karena harus berjauhan dengan pacarnya. Sudah kubilang agar dia segera menceraikanku, dia malah menolak dengan alasan karena ingin mencalonkan diri jadi pejabat pemerintah. Kalau aku jadi istri sesungguhnya, aku akan melarangnya. Kalau sampai menolak, aku akan mengusirnya.”
Aku menarik napas dalam-dalam.
“Ah, iya. Aku tidak boleh mengasihaninya. Dia kan orang jahat.”
Lalu dia bergerak. Aku pun langsung pura-pura tidur dan menarik selimutku.
(Zephyr)
Keesokan harinya saat aku bangun, ada selimut di atas badanku. Aku melihat Serafim yang tidur terlelap, lalu menuju kamar mandi.
Sambil membasuh wajahku, aku teringat ucapannya semalam, soal perceraian kami dan dia yang tidak mau menjadi istri seorang pejabat.
Aku hanya tersenyum di cermin, lalu aku menelpon Zea.
“Kau udah sarapan?”
“Iya, sudah. Apa dia sudah baikan?”
“Sepertinya begitu.”
“Baiklah, cepat pulang. Aku merindukanmu.”
Lalu aku pun kembali ke ruangan. Ternyata dia sudah bangun dan sedang ditensi.
“Jadi saya sudah boleh pulang, kan, Sus?”
“Iya, tapi nanti tunggu dokter Elia dulu ya.”
“Oke, makasih, Sus.”
Siangnya, atas persetujuan dokter Elia, Serafim sudah diperbolehkan pulang. Aku pun cuti dari pekerjaanku. Meskipun dia melarangku meliburkan diri, aku tidak memperdulikannya, walaupun pernikahan kami hanya di atas kertas, dia tetap tanggung jawabku.
Kami sedang di ruang TV. Aku duduk di sampingnya yang sedang tiduran sambil menonton film action.
Mungkin karena sedang sakit, makanya dia tidak mengusirku. Biasanya dia akan marah kalau aku mendekatinya atau sekadar duduk di sampingnya.
Saat aku melihat jam, sudah waktunya Serafim minum obat.
Aku langsung mengambil bubur Alvira yang sudah dimasak Bibi Naureen, memberikan obat sebelum makan dan menyuapinya, lalu memberinya obat setelah makan dan segelas air minum.
Saat aku akan membereskan piring kotor, dia melarangku dan memanggil Bibi Naureen untuk membersihkannya.
“Phyr, temui Zea!” ucapnya tiba-tiba.
Aku menyelidiki wajahnya tanpa amarah.
“Aku sudah baikan. Pulanglah!”
Aku tersenyum.
“Rumahku di sini, Fim.”
Serafim menegaskan.
“Aku tidak mau merusak hubungan orang lain. Cita-citaku bukan menjadi perebut pacar orang.”
“Fim, apa kau tidak pernah menyukaiku?”
Dia tertawa pelan. Aku bisa melihat giginya yang putih dan bersih terlihat jelas, parasnya yang cantik. Entah kenapa saat itu dadaku terasa aneh.
“Jangan konyol. Kau selalu bicara kepedean,” desisnya.
Aku menghela napas.
“Apa kau mau aku menjadi suamimu yang sesungguhnya?”
Dia kembali berbaring di sofa dan menutupi wajahnya dengan selimut.
“Pergilah, aku mau tidur.”
Tapi aku menarik tubuhnya. Wajah kami hanya berjarak beberapa senti.
Ia sampai tersentak dan mencoba melepaskan diri.
“Apa kau mau pernikahan kita menjadi pernikahan yang sesungguhnya? Jika kau mau, aku akan bicara pada Zea.”
Tapi dia memarahiku. Dia bilang aku bicara seperti ini karena ayahnya menginginkan cucu dari kami.
“Aku juga tahu kau sangat mencintai Zea dan akan memilihnya. Atau kau memang berubah pikiran dan jatuh cinta padaku setelah melihatku sakit? apakah... itu benar ? atau kau hanya kasihan padaku, hemmm?” ujarnya sambil menatapku.
“Hmm, menurutmu?”
Tanpa aku sadari, jarak di antara kami menguap. Ujung hidungku hampir menyentuh miliknya. Matanya bergetar, tapi tak berpaling. Jantungku berdetak kacau, entah karena rasa bersalah, atau karena saat ini terlalu dekat denganku.
Kami saling menatap satu sama lain. Wajahnya langsung berubah gugup dan menjedotkan kepalanya ke kepalaku.
Kami pun tertawa bersama.
Keesokan harinya, Serafim memaksa masuk kerja. Aku pun mengantarkannya ke kantor.
“Kalau ada apa-apa, kabari aku. Jangan matikan GPS-nya, oke?”
Dia pun mengangguk, manut seperti anak anjing yang nurut sama pemiliknya.
Aku juga pamit ke kantor. Setiba di perusahanku baru juga masuk ke ruangan, handphone-ku berdering. Panggilan dari Zea.
Awalnya aku abaikan, tapi dia terus menghubungiku. Zea bicara dengan suara gemetar dan ketakutan.
“Zephyr, tolong! Aku… Zephyr, aaaaaargh!”
lalu suara dari ujung telepon menjadi hening dan terputus.
“Zea…!”
Bersambung.