NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:398
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32 - Wajah Dibalik Pelaku Anak Panah

Yarun’ru Beta menatap Raka dengan heran.

Ia mengira itu pasti terkena anak panah.

Tapi saat diperhatikan, tubuh Raka mulus tak satu pun luka.

Barulah ia sadar… Raka menghindari serangan itu

Napasnya sempat terhenti saat melihat anak panah pertama melaju tepat ke dada Raka.

Namun tubuh Raka tidak jatuh, tidak roboh justru berdiri tegak, hanya beberapa helai rambutnya yang terhempas oleh angin serangan itu.

Saat diperhatikan, Yarun’ru akhirnya sadar:

Raka menghindar.

Bukan kebetulan, bukan gerakan acak tapi seperti seseorang yang benar-benar melihat datangnya serangan itu.

Belum sempat ia memahami apa yang terjadi,

WHIIP!!

Anak panah kedua kembali terbang ke arah Raka.

Dan sekali lagi, Raka memiringkan tubuhnya sesaat sebelum panah itu menyentuh kulitnya seolah ia sudah tahu titik lintasannya sejak awal.

Yarun’ru terpaku.

“Apa… bagaimana kau...”

TENG!!

Sebuah anak panah meluncur menghantam tepat helm jirah Yarun’ru.

Benturan keras itu membuat kepalanya terdorong, pandangannya goyah beberapa detik.

Namun helm ketebalan 3 mm itu menahan semuanya; tidak ada retakan, tidak ada darah.

Hanya gema metalik yang membuat telinganya berdenging.

Raka menatapnya sambil berteriak,

“Yarun’ru! Kenapa hanya berdiri di situ!? Musuhnya di balik pohon sana! Kau bisa lihat jelas, bukan!?”

Kata-kata itu menghantam Yarun’ru jauh lebih keras daripada anak panah barusan.

Ia tersentak dari kebingungannya. Selama ini ia membayangkan Raka akan tewas, tidak mampu menghindar, atau terlalu lambat menghadapi serangan kejutan.

Tapi kenyataannya?

Raka bergerak seperti orang yang sudah tahu kapan maut akan datang.

Seolah-olah waktunya lebih panjang dari orang biasa.

Khawatirnya mendadak berubah menjadi keyakinan baru.

“Baik,” gumam Yarun’ru, sorot matanya mengeras.

Ia mencabut pedang dari sarungnya dan berlari ke arah pepohonan tempat panah itu berasal.

Daun-daun terbagi oleh larinya, tanah pecah di bawah pijakannya.

Kini giliran sang penembak yang harus berhadapan dengan anak dari penguasa Lakantara yang tidak lagi ragu.

Yarun’ru menggertakkan gigi, bangkit kembali pada nalurinya sebagai petarung.

Dengan tumpuan penuh tenaga, ia berlari, pedang terhunus tinggi.

Desingan panah kembali datang.

Dua panah. Tiga panah.

Yarun’ru menepis semuanya dengan pedangnya.

Setiap tepisannya kuat dan cepat CRAK! batang panah terbelah dua seperti ranting rapuh.

Itulah tanda ia sudah dekat dengan pemanahnya.

Pelaku itu bertubuh kurus namun gesit melompat dari balik semak dan mencoba kabur ke sisi pohon lain. Yarun’ru mengayunkan pedang dengan kekuatan penuh.

DUAAGH!

Bukan tubuh musuh yang ia hantam, tetapi batang pohon besar.

Pedangnya tersangkut dalam-dalam ke batang kayu.

Pelaku memanfaatkan celah kecil itu. Ia mencabut belati batu dari pinggangnya, lalu mengayunkannya ke punggung Yarun’ru.

TRAAK!!

Suara belati pecah memantul di udara.

Mata pelaku membesar.

Wajahnya pucat di balik kain penutup.

Seolah ia baru saja mencoba menusuk batu.

Yarun’ru menoleh perlahan. Tatapannya berubah menjadi tatapan yang membuat nyali runtuh.

Ia melepaskan pedang yang tersangkut.

Tidak membutuhkan itu.

Dengan tangan kosong, ia melayangkan tinju berat seperti palu.

Pelaku merunduk cepat refleksnya hebat.

Ia memutar tubuh dan menendang kaki Yarun’ru, mencoba menjatuhkannya.

Dan berhasil.

Yarun’ru jatuh terduduk… tapi hanya sebentar.

Pelaku bangkit kembali, namun langsung meringis.

Ia memegang kakinya sendiri, wajahnya terkejut dan kesakitan.

Tendangannya tadi…

seperti menendang batang pohon kecil.

Tubuh Yarun’ru tidak hanya dilindungi jirah.

Tubuhnya sendiri adalah senjata.

Mereka kini berdiri lagi, saling menatap.

Yarun’ru dengan kedua tangan tinju yang terangkat dan rahang mengeras.

Pelaku membuka kedua telapak tangan dalam posisi bertahan, mereka bergerak menyamping.

Keduanya menunggu momen sempurna.

Sebuah ranting jatuh dari atas.

Dan itu menjadi aba-aba perang.

Keduanya menyerang di detik yang sama.

Yarun’ru mengayunkan tinju ke arah kepala.

Pelaku menghempas lengan Yarun’ru ke samping, lalu tangan lainnya menghantam dagu Yarun’ru dengan tapak tangan terbuka.

DUAGH!

Kepala Yarun’ru terdongak cukup keras gertakan gigi.

Tubuh Yarun'ru terdorong mundur mau jatuh tapi momen itu kaki Yarun'ru menendang pelaku.

TUGGG!

Tendangannya menghantam dagu pelaku dengan kekuatan lebih keras.

Pelaku terlempar ke belakang, menghantam tanah sambil menggeser daun-daun kering.

Pertarungan jarak dekat pun baru saja dimulai, lebih sengit dari apa pun yang dibayangkan Yarun’ru pagi itu.

Keduanya sama–sama terhuyung.

Hantaman telapak tangan di dagu membuat kepala Yarun’ru berputar beberapa detik.

Sementara tendangan sepatu jirah ke dagu membuat pelaku kehilangan fokus sekejap, pandangannya bergoyang.

Mereka sama–sama menggoyang kepala, mencoba mengusir pusing dengan napas berat.

Lalu… keduanya kembali berdiri.

Mata mereka saling mengunci.

Tidak ada kata-kata, hanya ketegangan yang menggantung di antara dua petarung setara.

Pelaku menarik napas dalam-dalam, tangannya perlahan meraih sesuatu dari balik punggungnya.

Sebuah pisau batu yang tajam, ringan, dan jelas telah banyak menelan korban.

Yarun’ru sedikit menurunkan pusat gravitasinya.

Ia menarik dua belati perunggu dari sarung di kedua kakinya perunggu itu memantulkan cahaya coklat keemasan dari sela pepohonan.

Pelaku sempat menatap belati-pergelangan kaki itu.

Sudut matanya berkedut mengingat sesuatu:

Hantaman belatinya ke punggung Yarun’ru sebelumnya.

trak!

Pisau batu miliknya pecah seperti memukul batu.

Ia menatap lagi jirah coklat Yarun’ru.

Bahan itu… warnanya mirip dengan belati perunggu yang kini berada di tangan lawannya.

“…Tidak mungkin,” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.

Tangan yang memegang pisau batu bergetar sedikit.

Ia tahu pisau itu tak akan berguna.

Kilatan putus asa muncul di matanya.

Ia mencoba menimbang peluang bertarung dengan tangan kosong?

Melarikan diri?

Atau bertahan hingga kesempatan lain muncul?

Namun ketika ia kembali menatap jirah Yarun’ru, pilihan itu terasa habis.

Pisau batu itu akhirnya ia turunkan.

Bahunya jatuh perlahan, bukan dalam kekalahan mutlak… tapi dalam kesadaran bahwa senjatanya tidak lagi berarti.

Yarun’ru hanya menatap dari balik helmnya, napasnya masih teratur.

Ia tidak bergerak menyerang.

Pelaku menghela napas panjang, seolah menelan rasa tidak percaya.

Ia menggumam lirih penuh frustasi:

“Pisau batu… tidak mempan padamu.”

Pertarungan itu tidak ditentukan oleh kekuatan tetapi oleh kenyataan bahwa manusia yang ia lawan memakai jirah yang baginya… sama kerasnya dengan batu itu sendiri.

Yarun’ru berdiri tegak, kedua belati perunggu terpegang kokoh di tangannya.

Namun ketika melihat pelaku menurunkan pisau batu dan menatapnya dengan putus asa, amarah di dadanya berubah menjadi kekesalan yang lebih dalam.

Ia melempar kedua belatinya ke tanah. Logam itu menancap miring di tanah lembap.

Yarun’ru maju dua langkah cepat, mencengkeram kerah kain kasar yang menutupi leher pelaku, lalu menariknya hingga wajah keduanya hanya berjarak sejengkal.

“Apa maksudmu menyerang kami?” suaranya rendah namun bergetar, bukan karena takut melainkan marah.

Pelaku itu terengah, napasnya belum pulih setelah benturan tadi. Tatapannya bergetar, namun tidak seperti penjahat yang tertangkap. Lebih seperti orang yang terpojok terlalu lama.

Dengan suara parau, ia menjawab,

“A… aku menyerang bukan karena ingin membunuh.

Aku hanya bertahan hidup… dari tentara Lakantara.”

Ia menelan ludah, menahan gemetar di tangannya.

“Aku… salah satu korban tragedi api hijau.

Aku satu-satunya yang selamat.

Siapa pun yang terlihat bersenjata kayu… aku pikir mereka Lakantara. Aku takut… aku tak punya apa-apa lagi.”

Yarun’ru membeku seketika.

Genggamannya di kerah pelaku perlahan melemah, hingga akhirnya ia melepaskannya sama sekali.

Pelaku jatuh terduduk, memegangi lehernya sambil terbatuk ringan, namun tidak berani bangkit.

Yarun’ru mundur selangkah, wajahnya tertutup bayangan pepohonan, namun sorot matanya dipenuhi kejengkelan yang menekan dada.

Tanpa mengatakan apa pun, Yarun’ru melepas helm jirahnya lalu melemparkannya ke tanah keras.

Helm itu berguling dua kali sebelum berhenti, suara logamnya memantul di antara batang-batang pohon.

“Tragedi api hijau…” gumam Yarun’ru, rahangnya mengeras. “Lagi dan lagi… selalu membawa masalah. Selalu mengancam nyawa kami.”

Raka mendekat dari belakang, masih waspada namun tidak seagresif sebelumnya.

Ia menatap Yarun’ru, kemudian menatap pelaku yang ketakutan.

Yarun’ru menghembuskan napas panjang, berat, seolah semua beban pertempuran barusan tak ada apa-apanya dibanding kenyataan pahit itu.

“Kalau begini terus,” ucapnya lirih namun tajam,

“Lakantara bukan hanya membakar desa… mereka membakar hidup orang-orang hingga takut pada bayangan sendiri.”

Ia berjalan mendekati pelaku, namun kali ini tidak dengan amarah melainkan seperti seseorang yang memahami betapa pedihnya luka itu.

“Tapi seranganmu tetap hampir membunuh kami,” katanya datar. “Kau beruntung kami bukan lagi Lakantara.”

Pelaku hanya menunduk dalam-dalam, tak mampu membalas apa pun.

Raka maju perlahan, menaruh tombak batu di tanah sebagai tanda bahwa ia tidak berniat melukai siapa pun.

Ia meraih tangan sang pelaku pemuda kurus berwajah tertutup kain serat lalu menariknya untuk duduk.

“Aku tidak datang untuk bertarung,” ucap Raka lembut.

“Dan yang disana juga bukan musuhmu.”

Pemuda itu tampak ragu, tetapi akhirnya ia mengendurkan bahunya.

Nafasnya masih memburu, kepalanya masih pusing akibat tendangan Yarun’ru, namun sorot matanya sudah tidak sekeras tadi.

Raka duduk di depannya, membiarkan Yarun’ru menjauh sejenak untuk menenangkan amarahnya yang meledak karena serangan mendadak dan kenangan pahit.

Pelan-pelan, Raka mulai bercerita.

Tentang dirinya yang sedang menjalani ujian Prahya.

Tentang perjalanan panjang dari Gunung Salak, tentang desa-desa yang mereka selamatkan, hingga tentang laki-laki bertubuh kokoh itu Yarun’ru Beta yang ternyata tidak lagi diakui keluarganya.

“Dia anak penguasa Lakantara,” ucap Raka.

“Tapi ia diburu, terusir… dan kini melawan ayahnya sendiri.

Tidak semua yang keluar dari Lakantara adalah musuh.”

Pemuda itu terdiam lama. Mata yang tersembunyi di balik balutan kain itu bergetar.

“Aku… aku pikir kalian prajurit Lakantara,” bisiknya lirih.

“Desaku habis terbakar… aku satu dari sedikit yang selamat dari tragedi api hijau itu.

Saat melihat kalian… aku pikir kalian datang untuk membungkam saksi.”

Raka menggeleng pelan.

“Kami bukan pemburu.

Kami hanya dua orang yang sedang mencari kebenaran, sama sepertimu mencari keselamatan.”

Suara langkah berat terdengar mendekat.

Yarun’ru kembali, wajahnya keras namun tatapannya sudah lebih tenang.

Pemuda itu menunduk dalam dalam.

“Maafkan aku… aku seharusnya tidak menyerang kalian. Aku… hanya takut.”

Raka menepuk bahunya.

“Kau hidup.

Itu sudah menunjukkan keberanianmu,” ujar Raka.

Untuk pertama kalinya sejak pertempuran singkat itu terjadi, ketiganya duduk dalam lingkaran yang sama bukan lagi sebagai pemburu dan buruan, tapi sebagai manusia yang sama-sama terluka oleh dunia.

Pelaku itu akhirnya menghela napas panjang, lalu meraih ujung penutup kepala dari kain serat yang menutupi wajahnya. Dengan satu tarikan pelan, kain itu terlepas.

Raka, yang duduk di hadapannya, membelalakkan mata.

Yarun’ru pun berdiri sambil menenangkan napas bahkan sempat mengumpat pelan karena kesal ikut menoleh.

Dan wajah keduanya langsung berubah.

Di hadapan mereka ternyata seorang perempuan.

Rambutnya pendek, hanya sampai seleher dipotong tidak rapi, lebih karena kebutuhan bertahan hidup ketimbang gaya.

Wajahnya keras, dipahat oleh beratnya hidup di luar wilayah penyangga.

Namun yang paling membuat keduanya terpaku adalah bekas luka bakar besar yang menutupi sebagian pipi kanannya.

Bekas itu sudah lama, tapi jelas sekali itu berasal dari api yang tidak biasa… seolah pernah dicium langsung oleh panas mengerikan dari “tragedi api hijau”.

Raka menahan napas. Yarun’ru membeku.

Perempuan itu menunduk sedikit, seolah malu memperlihatkan wajahnya.

“Aku… bukan berniat menjadi musuh kalian,” katanya dengan suara serak, jauh lebih lembut dibandingkan tadi saat mencoba membunuh mereka. “Aku hanya… ingin tetap hidup. Setelah semua yang terjadi.”

Raka menelan ludah, kini memandang perempuan itu bukan sebagai penyerang, tapi sebagai seseorang yang tersisa korban yang selamat.

Yarun’ru perlahan melepaskan genggaman tangannya yang tadi membentuk kepalan.

Ekspresinya berubah dari amarah menjadi terkejut, lalu menjadi sesuatu yang lebih sulit dijelaskan… campuran simpati, heran, dan sedikit penyesalan.

“Perempuan…?” gumamnya lirih, hampir tak percaya.

“Kau yang barusan bertarung denganku…?”

Perempuan itu tidak menjawab, hanya menatap mereka dengan mata yang tajam namun lelah. Dalam pandangannya ada ketakutan lama yang tersimpan, tapi juga keberanian untuk tetap hidup.

Raka akhirnya memecah keheningan.

“Siapa pun kau,” katanya pelan, “kau tidak sendirian lagi.”

Yarun’ru Beta memandang perempuan itu dengan sorot mata yang berubah bukan lagi waspada, melainkan iba dan hormat pada ketabahan seseorang yang selamat dari sesuatu yang seharusnya membunuh.

“Apakah kau sendirian di sini?” tanya Yarun’ru, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.

“Di mana yang lain? Apa yang terjadi saat tragedi itu?”

Perempuan itu menelan ludah pelan, masih memegangi penutup kepala yang baru saja ia lepaskan.

Rambut pendek selehernya yang kusut bergerak tipis tertiup angin; bekas luka bakar di pipi kanannya memerah samar ketika ia akhirnya menjawab.

“Aku… Yuna,” ujarnya lirih, hampir seperti bisikan.

“Saat tragedi api hijau terjadi… aku masih kecil.

Orang tuaku menyuruhku masuk ke bawah rumah, ruang kecil tempat kami menyimpan kayu kering. Mereka menutup jalannya dari luar.”

Napas Yuna tersengal sejenak, seperti ada asap lama yang masih menempel di paru-parunya.

“Aku dengar teriakan… suara runtuhan… kemudian panas.”

Jari Yuna menyentuh pipi kanannya, perlahan. “Api itu masuk ke celah kayu. Aku tidak bisa keluar.

Aku ingat cahaya hijau itu menelan segalanya, lalu… sesuatu membakar pipiku.”

Raka menelan ludah; Yarun’ru menggenggam pedangnya lebih erat tanpa sadar.

“Aku pingsan,” lanjut Yuna.

“Waktu terbangun… semuanya sudah hilang. Rumahku tinggal arang.

Orang tuaku… semua orang… tidak ada satu pun yang hidup.”

Ia tersenyum getir senyuman yang tidak punya bahagia, hanya kebiasaan untuk menahan sakit.

“Aku bertahan sendiri. Belajar berburu. Belajar meramu makanan dari apa pun yang bisa kutemukan. Serangga, akar pahit, dedaunan yang kujajaki satu per satu apakah beracun atau tidak.”

Ia menunduk. “Aku pikir siapa pun yang datang ke wilayah ini adalah tentara Lakantara. Siapa lagi yang pakai jirah sekuat batu?”

Yarun’ru menahan napas mendengar itu.

Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa malu memakai nama keluarganya.

Raka mencoba menenangkan Yuna agar tidak merasa bersalah.

“Kini kamu tidak bersalah,” katanya lembut. “Kau mencoba bertahan hidup. Bukan menyerang.”

Yuna menatap Raka, matanya berkaca bukan menangis, tapi seperti seseorang yang lupa bagaimana rasanya ditolong.

“Kalau aku tahu kalian bukan dari Lakantara… aku tak akan menyerang.”

“Sudah cukup,” potong Yarun’ru, kini suaranya mantap.

“Kau bukan musuh kami, Yuna. Dan tragedi api hijau itu… adalah dosa Lakantara yang harus pertanggung jawabkan.”

Angin hutan berembus pelan.

Untuk pertama kalinya sejak tragedi besar itu, Yuna tidak merasa sendirian.

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!