Sebuah kumpulan cerpen yang lahir dari batas antara mimpi dan kenyataan. Dari kisah romantis, misteri yang menggantung, hingga fantasi yang melayang, setiap cerita adalah langkah di dunia di mana imajinasi menjadi nyata dan kata-kata menari di antara tidur dan sadar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Rush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita Kita
Ujian akhir sudah selesai.
Sekolah terasa berbeda lebih sepi, lebih ringan. Tak ada lagi teriakan guru, tak ada lagi suara Bastian ribut di koridor. Semua sibuk memikirkan hasil dan perpisahan.
Nina duduk di bangku taman sekolah, menatap halaman yang mulai kosong. Buku catatan yang dulu penuh coretan kini hanya diam di pangkuannya.
Angin sore berhembus pelan, mengibaskan anak rambut di wajahnya.
Langkah kaki terdengar dari belakang.
Bastian datang, dengan seragam yang kini terlihat lebih rapi dari biasanya.
Tanpa jaket hitam, tanpa tawa berlebihan. Hanya dia apa adanya.
“Sendirian?” tanya Bastian, suaranya tenang tapi sedikit ragu.
“Ya. Temen-temen udah pada pulang.” jawab Nina tanpa menatapnya.
Bastian duduk di bangku sebelahnya, menjaga jarak satu lengan.
“Jadi... udah gak marah?”
Nina menghela napas. “Gue gak marah, Bas. Cuma... belajar jaga jarak.”
Bastian menatap rumput di depan kakinya, jemarinya saling menggenggam.
“Gue pikir, setelah semua yang gue lakuin, lo bakal bener-bener benci sama gue.”
Nina menatapnya sekilas, lalu berkata pelan.
“Kalau gue benci, gue gak bakal duduk di sini.”
Bastian terkekeh kecil, senyum samar muncul di wajahnya.
“Gue udah stop taruhan, Nin. Doni sama Aldo juga udah gue ajak minta maaf ke guru BP. Gak ada lagi yang kaya dulu.”
Nina menatap langit. “Bagus. Dunia ini udah cukup rusak tanpa lo tambah-tambahin.”
“Kasarnya masih sama,” ucap Bastian pelan sambil menunduk. “Tapi gak apa. Gue suka Nina yang begini.”
“Jangan mulai, Bas.” jawab Nina cepat, tapi pipinya mulai bersemu.
“Serius, Nin. Dulu gue pikir suka itu cuma permainan. Tapi pas lo beneran menjauh... gue baru tahu rasanya kehilangan orang yang gak pernah jadi milik gue.”
Hening.
Nina diam lama. Angin sore makin dingin, membawa suara anak-anak yang bermain dari kejauhan.
“Lo berubah, Bas.” katanya akhirnya. “Tapi jangan berubah cuma karena gue.”
“Gue gak berubah karena lo,” jawab Bastian pelan, menatapnya. “Gue berubah karena gue gak mau nyakitin orang yang gue peduliin lagi.”
Nina terdiam.
Kata-kata itu menancap dalam, tapi dia tetap menahan senyum yang ingin keluar.
“Lo mau mulai dari mana?” tanya Nina akhirnya.
Bastian tersenyum kecil. “Dari minta maaf sekali lagi. Tapi bukan buat yang dulu... buat yang sekarang.”
“Sekarang?” Nina mengernyit.
“Karena masih berani bikin lo bete.” katanya sambil menunduk malu.
Nina menatapnya lama.
Lalu tertawa kecil, untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
“Gue terima maafnya. Tapi gak janji bakal ngelupain semuanya.”
“Gak apa. Asal lo masih mau ngobrol sama gue.”
“Ngobrol boleh. Tapi jangan bikin taruhan baru.”
“Enggak,” Bastian menatapnya lembut. “Sekarang taruhannya cuma satu: gue harus bisa buktiin kalau gue bener-bener berubah.”
Nina tersenyum tipis, menatap lurus ke depan.
“Ya, semoga kali ini lo menang.”
Bastian menatapnya sebentar, lalu menatap langit yang mulai jingga.
Dan untuk pertama kalinya, dia merasa kalah bukan karena kehilangan tapi karena belajar mencintai dengan benar.
**
Hari kelulusan tiba.
Halaman sekolah penuh warnacoretan spidol di seragam, balon-balon warna-warni beterbangan, dan suara tawa yang tak ada habisnya.
Beberapa siswa sibuk selfie, sebagian lagi menulis pesan di seragam teman-teman mereka.
Nina berdiri di dekat taman kecil belakang sekolah, seragamnya juga sudah penuh tanda tangan dan coretan lucu.
Ia tersenyum kecil melihat Reyna dan Melisa yang sibuk foto bareng geng mereka.
Hatinya hangat tapi juga aneh semua terasa cepat, seolah baru kemarin mereka masuk SMA.
“Eh, Nin! Sini foto bareng, cepet!” teriak Reyna dari tengah kerumunan.
“Iya, bentar!” jawab Nina, berjalan pelan sambil menahan rambutnya yang tertiup angin.
Begitu dia sampai, Doni langsung menggamit tangannya.
“Ayo, tengah-tengah! Lo sama Bastian, biar keren di fotonya!” goda Doni.
“Apa sih, gak usah aneh-aneh!” Nina mencoba menolak, tapi Aldo sudah mendorong Bastian dari sisi lain.
Akhirnya mereka berdua berdiri bersebelahan di tengah lingkaran teman-temannya.
“Cepetan, gue pengen upload ke story!” teriak salah satu teman mereka.
Nina menatap ke depan, wajahnya datar.
“Lo gak bosan ganggu gue terus, Bas?” gumamnya pelan tanpa menoleh.
Bastian menyengir tipis.
“Bukan ganggu... cuma belum bisa berhenti aja.”
“Berhenti dari taruhan maksudnya?” balas Nina cepat.
Bastian terdiam beberapa detik, lalu menatap ke tanah.
“Enggak. Dari lo.”
“Cih, gombal murahan.” Nina mencoba menahan senyum, tapi pipinya sedikit memanas.
“Eh, jangan ngelamun! Senyum dong!” seru Doni sambil mengangkat ponselnya.
“Satu... dua... tiga... cheeseee!”
Klik!
Kilatan kamera menyala.
Nina refleks tersenyum kecil, dan entah kenapa senyum itu bikin Bastian bengong sepersekian detik.
Setelah foto, teman-teman mereka bubar sambil bercanda.
Reyna sibuk minta tanda tangan, Melisa udah sibuk selfie lagi.
Nina melangkah menjauh, mencari udara.
Tapi belum jauh, suara itu muncul lagi di belakangnya.
“Lo ngumpet, Nin?” suara Bastian pelan, tapi jelas.
Nina berhenti, menoleh setengah.
“Enggak. Cuma capek sama keramaian.”
Bastian mendekat, masih memegang spidol di tangannya.
“Boleh gue tulis sesuatu di seragam lo?”
“Jangan yang aneh-aneh.”
“Enggak kok.”
Bastian menunduk, menulis kecil di bagian belakang seragam Nina.
Nina sempat melirik pelan lewat pantulan kaca jendela.
Tulisan itu melebihi dari sederhana "Calon masa depan, Bastian !"
Nina membeku sebentar, ingin marah tapi hatinya bahagia.
Bastian melangkah mundur, menatapnya dan tersenyum tipis.
“Selamat lulus, kutu air.”
Nina menghela napas, lalu menatapnya balik.
“Selamat lulus juga, berandalan.”
Angin sore berhembus pelan.
Entah kenapa, kali ini tidak ada amarah, tidak ada sindiran.
Hanya dua orang yang akhirnya benar-benar mengerti perasaan mereka
meski mungkin, semuanya sudah terlambat.