Gendis baru saja melahirkan, tetapi bayinya tak kunjung diberikan usai lelahnya mempertaruhkan nyawa. Jangankan melihat wajahnya, bahkan dia tidak tahu jenis kelamin bayi yang sudah dilahirkan. Tim medis justru mengatakan bahwa bayinya tidak selamat.
Di tengah rasa frustrasinya, Gendis kembali bertemu dengan Hiro. Seorang kolega bisnis di masa lalu. Dia meminta bantuan Gendis untuk menjadi ibu susu putrinya.
Awalnya Gendis menolak, tetapi naluri seorang ibu mendorongnya untuk menyusui Reina, putri Hiro. Berawal dari menyusui, mulai timbul rasa nyaman dan bergantung pada kehadiran Hiro. Akankah rasa cinta itu terus berkembang, ataukah harus berganti kecewa karena rahasia Hiro yang terungkap seiring berjalannya waktu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Lepas Hubungan
Bibir Gendis terkatup rapat. Dia tidak sanggup mengungkapkan alasannya berubah. Dulu dia begitu menyukai kopi susu dan pancake untuk sarapan.
Kini Gendis harus mengesampingkan keinginan dan kesukaannya demi Reina. Bayi mungil yang bahkan tidak ada hubungan darah dengannya. Kini dia juga merasa akan segera dijauhi oleh Ayaka, sahabat yang datang menolong ketika Gendis ada di titik terendah.
"Ndis, jawab!" Nada bicara Ayaka mulai meninggi.
Gendis sempat tersentak. Mata perempuan tersebut berkaca-kaca ketika menatap sang sahabat. Dadanya sekarang terasa seperti diimpit dengan berton-ton batu.
"Aku ...." Gendis terdiam sejenak, menarik napas dalam, dan mengembuskannya kasar.
"Aku akan menjadi ibu susu Reina, Aya. Aku hanya ingin hidup dan dekat dengannya. Sekarang alasanku tetap bertahan hidup lebih kuat dengan melihat Reina." Suara Gendis bergetar dan matanya semakin berkabut.
"Bukankah aku sudah bilang untuk menjauhi keluarga itu? Kenapa kamu nekat? Mereka hanya akan memberikan luka kepadamu." Suara Ayaka terdengar begitu dingin layaknya es kutub utara yang sulit mencair.
"Kenapa aku harus menjauhi mereka? Katakan!" Suara Gendis berubah menjadi lebih tinggi dengan dada yang kini naik turun.
"Jika kamu percaya padaku, maka jauhi saja. Jangan pernah tanya apa alasannya. Itu sangat menyakitiku, Ndis." Ayaka menyambar tasnya dari atas meja dan berjalan cepat menuju pintu.
"Jika kamu benar-benar peduli, maka ungkapkan alasannya! Itu akan lebih masuk akal, Aya! Bukannya hanya diam ketika aku menanyakan alasan kenapa harus menjauhi mereka!" Air mata Gendis tumpah karena rasa sesak yang terus menghantam dada.
Ayaka tetap melangkah menjauh. Dia menggenggam tuas pintu dan berdiam sejenak. Perlahan, perempuan itu menoleh.
Tatapan Ayaka datar, tetapi seperti menyimpan rasa sakit. Bibirnya sedikit berkedut ketika mengulaskan senyum yang terasa kaku. Perlahan perempuan tersebut membuka bibirnya.
"Aku sudah memperingatkanmu, Ndis. Sebenarnya aku kecewa karena kamu nggak mau dengerin aku. Tapi, ketika kamu merasakan apa yang kurasakan suatu hari nanti, kamu akan tahu alasan kenapa aku mau kamu menjauhi mereka." Ayaka kembali menatap pintu di hadapannya.
"Jika saat itu tiba, datang dan minta maaf kepadaku. Aku nggak akan ke mana-mana."
Satu detik, dua detik, tiga detik, perempuan itu diam-diam sedang menunggu perubahan keputusan Gendis. Namun, yang dia dapatkan hanya keheningan yang menjerat. Ayaka akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Gendis.
Setiap langkah yang diayunkan oleh Ayaka, sebanyak itu juga terlontar doa dalam hati. Dia tidak mau Gendis bernasib sama dengannya. Dia mulai masuk ke elevator, tetap menatap pintu apartemen Gendis hingga pintu besi di depannya tertutup rapat.
Sementara itu, Gendis kembali terjerat oleh sunyi. Kini dia benar-benar tak memiliki siapa pun. Ada sedikit rasa bersalah terhadap Ayaka.
"Maaf, Aya ... aku hanya ingin benar-benar merasa hidup setelah kehilangan bayiku."
***
Hari-hari berikutnya, tubuh Gendis mulai bisa menyesuaikan. Lidahnya kadang merindukan rasa yang biasa dicecap, tetapi setiap kali keinginan muncul, dia mengingat tatapan Reina. Itu cukup membuatnya bertahan.
Empat minggu berjalan seperti maraton. Pemeriksaan rutin, diet ketat, hingga tubuh Gendis terbiasa. Wajahnya sedikit pucat, tetapi matanya justru lebih tenang.
Hingga akhirnya, hari itu tiba. Pagi terasa asing bagi Gendis ketika sebuah mobil hitam berhenti di depan apartemennya. Ren turun dari kursi penumpang, mengenakan setelan jas. Rambut hitamnya tertata rapi, mata tajamnya menyapu lingkungan sekitar dengan cepat.
“Naiklah, Bu. Saya diminta Pak Hiro untuk menjemput Anda,” kata Ren singkat.
Gendis mengangguk, memasukkan tas kecil ke bagasi. Perjalanan terasa panjang meski kota hanya dipenuhi hiruk pikuk seperti biasa. Tak banyak kata terucap di antara mereka, hanya terdengar suara mesin mobil dan deru angin yang menyusup lewat kaca.
Sesampainya di kediaman Hiro, gerbang besar terbuka perlahan, memperlihatkan halaman luas dengan pepohonan yang tertata. Rumah itu tampak megah, tetapi bagi Gendis, bangunan itu seperti benteng tinggi yang akan menelan kebebasannya.
Ren menoleh sekilas, menatap Gendis dengan tatapan yang sulit dibaca. Tak ada senyuman pada bibirnya. Tatapannya pun datar sepeeti biasa.
“Semoga Anda nyaman tinggal di sini,” kata Ren dengan suara lirih, hampir seperti bisikan.
Lelaki tersebut turun lebih dulu, kemudian membukakan pintu untuk Gendis. Gendis keluar dari sana dan langsung diantar menemui Hiro. Begitu pintu terbuka ruangan bernuansa merah muda dengan hiasan ala-ala putri dalam dongeng menyapa penglihatannya.
"Pak, Bu Gendis sudah datang." Suara Ren memecah keheningan ruangan itu.
Hiro menoleh, lalu tersenyum tipis kepada Gendis. Dia mengangguk pelan dan meminta Gendis untuk duduk di dekatnya. Ren keluar dari kamar Reina, barulah perempuan tersebut melangkah mendekati Hiro.
Namun, alih-alih duduk di depan Hiro, Gendis memilih untuk mendekati kotak bayi tempat Reina tertidur pulas. Perempuan tersebut menyentuh pipinya dengan lembut, sehingga membuat bayi tersebut menggeliat. Pipi Reina menggembung sehingga membuat kulitnya berubah kemerahan.
"Lucunya," gumam Gendis sambil tersenyum tipis.
"Ayo kita bicarakan lagi soal kontrak." Suara Hiro terdengar begitu tenang dan dingin.
"Aku sudah menandatanganinya, bukan? Jadi tidak perlu dibahas. Aku sudah menyetujui semua meski mungkin terasa menyesakkan. Bagiku sekarang, Reina adalah duniaku. Tak peduli dengan kehidupanku yang akan tak nyaman, selama Reina aman dan nyaman dalam dekapanku ... semuanya tak akan menjadi masalah." Gendis terus menatap Reina tanpa mau menoleh sedikit pun kepada Hiro.
"Kalau begitu istirahatlah. Kamu akan tinggal di sisi Reina. Aku minta bantuannya." Hiro beranjak dari kursi.
Lelaki tersebut berjalan menuju pintu yang tak benar-benar tertutup rapat. Ketika memegang tuas pintu, dia berhenti sejenak. Hiro menoleh ke arah Gendis dan menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Sore harinya, Reina dibawa keluar dari kamar bayi. Wajah bayi tersebut cerah, matanya berbinar, seolah mengerti sesuatu yang istimewa akan terjadi. Gendis duduk di sofa, jantungnya berdegup lebih kencang daripada biasa.
Hiro menyerahkan Reina ke pelukannya. “Cobalah. Dia sudah siap.”
Jemari Gendis bergetar saat menyentuh kulit halus itu. Wajah Reina menempel di dada, mencari-cari dengan gerakan kecil. Air mata hampir jatuh di sudut mata Gendis, tetapi dia menahannya.
Wajah Hiro mendadak berubah kemerahan ketika Gendis mulai membuka kancing kemejanya. Lelaki itu berdeham, kemudian membuang pandangan. Pengasuh Reina tersenyum simpul melihat tingkah sang majikan.
Baru saja Gendis hendak menyusui Reina untuk pertama kali, tiba-tiba terdengar suara ribut di luar rumah. Suara langkah kaki cepat, bentakan samar, dan dentuman pintu pagar yang keras membuat suasana hening buyar seketika.
Hiro segera menoleh ke arah jendela, rahangnya menegang. “Tetap di sini,” katanya singkat, lalu bangkit.
Pelukan Gendis pada Reina semakin erat. Bayi itu merengek kecil, terganggu oleh kegaduhan yang tiba-tiba muncul. Pada detik itu, Gendis sadar apa pun yang sedang menunggu di luar, akan menguji bukan hanya keberaniannya, tetapi juga keputusan besar yang baru saja dia ambil.
Semua bersumber dari otak jahat Reiki