Arga adalah remaja SMA yang selalu terlihat ramah dan polos, bahkan dikenal sebagai kuli pikul yang tekun di pasar tiap harinya. Namun di balik senyumnya yang tulus, Arga menyimpan rahasia kelam yang hanya diketahui sedikit orang. Ia diam-diam menyelidiki siapa dalang pembantaian keluarganya yang tragis, terbakar oleh tekad balas dendam yang membara. Perjalanan mencari kebenaran itu membawanya bertemu dua gadis tangguh bernama Kinan dan Keysha, yang ternyata juga anak-anak mafia dari keluarga besar yang menyamar sebagai murid SMA biasa namun tetap memiliki jiwa petarung yang kuat di sekolah. Bersama ketiganya, kisah penuh intrik, persahabatan, dan konflik berseteru di dunia gelap mafia pun dimulai, menyingkap tabir rahasia yang tersembunyi jauh di balik wajah polos mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komang basir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
minta pertolongan
Wanita itu berhenti dari gerakannya. Dengan pelan ia meletakkan bungkusan di meja, lalu membalikkan tubuhnya menghadap Arga. Tatapannya menusuk meski tersembunyi di balik topeng yang tak biasa.
Arga sempat terdiam, alisnya sedikit berkerut. Biasanya wanita itu selalu memakai topeng yang hanya menampakkan dua mata—dingin, penuh misteri, sulit ditebak. Namun kali ini berbeda. Topeng yang ia kenakan terbuka sampai ke bibir, memperlihatkan lekuk mulutnya yang samar tersenyum tipis.
“Topeng baru?” tanya Arga dengan nada rendah, matanya menyipit menatap penuh selidik. Ada nada sinis, tapi juga ketertarikan dalam suaranya.
Wanita bertopeng itu mengangkat dagunya sedikit, bibirnya melengkung ke atas. “Kadang seseorang harus menunjukkan lebih banyak… agar bisa dipercaya. Atau justru… agar lebih mudah menipu.”
Arga menyeringai tipis, langkahnya maju satu tapak lagi. " kamu pikir dengan bibirmu yang kelihatan itu, aku akan lebih percaya padamu?”
Wanita bertopeng itu berjalan pelan, langkah kakinya terdengar jelas di lantai rumah kosong yang bergema. Saat ia berhenti tepat di hadapan Arga, jarak mereka begitu dekat hingga Arga bisa merasakan hembusan nafasnya di balik topeng.
Dengan nada tenang namun menusuk, wanita itu berkata,
“Topeng ini versi terbaru… cukup rapat untuk tetap menjaga identitasku, tapi juga cukup terbuka agar aku bisa makan… atau berbicara dengan jelas. asal kamu tahu, aku sangat benci bicara setengah-setengah.”
Arga menatapnya lurus, senyum kecil tersungging di bibirnya. Ia tidak bergeming meski jarak di antara mereka begitu tipis. Matanya mengamati detail topeng itu, lalu kembali naik menatap kedua mata wanita tersebut.
“ jadi sekarang kamu sudah bisa bicara dengan jelas padaku tanpa harus sembunyi di balik suara datar itu?” Arga menunduk sedikit, wajahnya makin dekat. “Atau… kamu hanya ingin aku melihat senyummu?”
Wanita itu tidak mundur. Justru menatap balik dengan tatapan tajam, senyum samar di bibirnya tetap terjaga. Aura tegang menggantung di udara, seperti dua predator yang saling uji nyali.
Bagi Arga, kedatangan wanita bertopeng yang tiba-tiba dan juga sering membuatnya sedikit curiga. Ia menyipitkan mata lalu berkata dengan nada datar,
"Aku ingin tahu, sebenarnya apa yang kamu inginkan dariku?"
Wanita bertopeng tersenyum tipis. Perlahan ia mengangkat tangan, menaruhnya di atas bahu Arga. Sentuhan itu dingin, kontras dengan tatapan matanya yang tenang di balik topeng.
"Aku datang ke sini hanya untuk membawakan kamu makanan. Kamu pasti lapar sekarang, apalagi setelah membunuh beberapa orang tadi."
Ucapan itu membuat Arga sempat tersenyum samar, namun alisnya langsung berkerut.
"Dari mana kamu tahu aku membunuh seseorang?" tanyanya dengan nada menekan.
Wanita bertopeng tidak langsung menjawab. Ia justru mendekatkan wajahnya hingga hanya berjarak beberapa senti dari wajah Arga. Dari celah topengnya, senyum itu makin jelas.
"Tidak perlu banyak tanya. Yang jelas aku tahu semua yang sudah kamu lakukan sejak pagi tadi."
Arga membeku sejenak. Matanya menatap tajam, seakan mencoba membaca niat tersembunyi lawan bicaranya. Senyumnya kini berubah, bukan senyum lega, melainkan senyum yang sarat tantangan.
"Kamu terdengar seperti bayangan yang selalu mengikutiku. Tapi ingat, cepat atau lambat aku bisa saja bisa hancurkan semuanya."
Wanita bertopeng terkekeh pelan. Tawanya lirih, namun cukup untuk membuat udara di ruangan terasa menegang. Tangannya turun perlahan dari bahu Arga lalu menepuk dadanya ringan.
"Kalau aku hanya bayanganmu, silakan hancurkan. Tapi bagaimana kalau aku lebih dari itu? Bagaimana kalau aku tahu apa yang kamu cari, siapa yang kamu incar, dan rahasia apa yang kamu sembunyikan dari dari orang lain?"
Arga terdiam, matanya menajam. Suasana dapur yang tadi hanya sepi kini berubah menjadi ladang ketegangan.
Omongan itu membuat Arga seketika terdiam. Hatinya bergetar, antara terkejut dan marah. Wanita bertopeng ini terlalu lihai, seolah tahu persis apa yang ia rencanakan selama ini.
"Dari mana kamu tahu semua tentang diriku?" suara Arga terdengar rendah, penuh tekanan.
Wanita bertopeng hanya tersenyum tipis, lalu tanpa ragu merengkuh tubuh Arga dalam pelukannya.
"Aku tidak sengaja mendengar semuanya tadi malam, saat kamu sedang mengobrol lewat telepon," ucapnya pelan namun jelas.
Jawaban itu membuat dada Arga panas. Ia diam, tapi sorot matanya menyalakan amarah. Kedua tangannya bergerak, meraih pinggang wanita bertopeng, lalu mencengkeramnya dengan kuat. Cukup kuat hingga membuat wanita itu meringis menahan sakit.
Dengan tatapan tajam menusuk, Arga mendesis, "Jangan main-main sama aku."
Wanita bertopeng mendongak. Tidak ada lagi senyum licik di wajahnya, hanya tatapan tulus yang menembus balik mata Arga. Suaranya lembut, nyaris seperti bisikan,
"Aku tidak akan mengungkap rencanamu, Ar... justru aku ingin membantumu."
Nada ucapannya begitu jujur, sampai-sampai untuk pertama kalinya Arga ragu: "apakah ini jebakan, atau justru pertolongan yang selama ini ia butuhkan.? " Batin nya.
Dengan sorot mata yang tetap tajam, Arga menahan napas sejenak sebelum membuka mulut.
"Kenapa kamu bisa berkata seperti itu? Apa yang membuatmu ingin membantuku?" tanyanya dingin, nada suaranya seperti ujian yang tak boleh dijawab sembarangan.
Wanita bertopeng tidak melepaskan pelukannya. Justru ia semakin mengeratkan rangkulan meski pinggangnya masih dalam genggaman keras Arga yang menyakitkan.
Dengan suara pelan tapi mantap ia menjawab,
"Karena kamu orangnya baik, Ar. Semua yang kamu lakukan... hanya demi membalas dendam, bukan karena keserakahan atau kejahatan."
Arga terdiam. Rautnya tetap tegas, tak ada perubahan pada sorot matanya, tapi di dalam hati, kata-kata itu menimbulkan sesuatu yang sulit ia abaikan. Meski akalnya penuh curiga, ada bagian kecil dalam dirinya yang merasakan ketulusan. Entah kenapa, hatinya seperti ingin memberi celah, sebuah kepercayaan pada wanita bertopeng itu—meski ia tahu setiap kepercayaan bisa jadi pisau yang menusuk balik.
Dengan hati yang masih bergetar, Arga akhirnya membuka suara.
"Bagaimana aku bisa percaya sama kamu, sedangkan wajahmu saja aku tidak tahu?" tanyanya pelan namun penuh tekanan.
Wanita bertopeng melepaskan pelukan dengan tenang. Ia menatap Arga, sorot matanya lembut tapi tegas.
"Suatu saat kamu pasti akan tahu siapa aku sebenarnya," ucapnya mantap, tanpa ragu sedikit pun.
Arga terdiam. Ia mencari kebohongan di balik mata itu, tapi yang ia temukan hanyalah ketulusan. Perlahan, genggamannya di pinggang wanita itu melemah. Ia menarik tangannya, seolah melepaskan beban, lalu benar-benar melepaskan wanita bertopeng dari cengkeramannya.
Setelah terlepas, wanita bertopeng tersenyum tipis lalu berbalik menuju bungkusan yang tadi ia taruh di meja. Dengan gerakan tenang, ia mengambilnya dan kembali melangkah mendekat ke arah Arga.
"Ayo kita makan dulu. Kamu pasti udah lapar," ucapnya sambil meletakkan bungkusan itu di hadapan Arga.
Arga menatap bungkusan tersebut dengan raut penuh curiga. Pikirannya langsung dipenuhi kemungkinan buruk—racun, jebakan, atau tipu daya lain. Tangannya mengepal, jelas ia menahan diri untuk tidak langsung menepis pemberian itu.
Wanita bertopeng menyadari tatapan penuh waspada dari Arga. Ia menarik napas pendek, lalu duduk bersila di lantai. Tanpa banyak kata, ia membuka bungkusan nasi itu dengan tangannya sendiri. Aroma lauk sederhana langsung menyebar memenuhi ruangan.
"Aku tahu kamu pasti curiga," katanya pelan, lalu mulai mencampur nasi dan lauknya menjadi satu. Dengan sengaja ia mengambil sendok, menyendok suapan pertama, lalu memasukkannya ke mulutnya sendiri. Ia mengunyah perlahan, memastikan Arga melihat jelas.
Setelah menelan, ia menatap Arga lagi. "Lihat? Aman. Tidak ada racun, tidak ada tipu daya. Aku cuma ingin kamu makan."
Arga tetap diam, matanya tajam memandangi setiap gerakannya, tapi dalam hati ada sedikit celah keyakinan yang mulai tumbuh.
Karena perutnya sudah mulai perih menahan lapar, ditambah keyakinan yang perlahan tumbuh setelah melihat wanita bertopeng memakan nasi itu lebih dulu, Arga akhirnya menarik napas panjang lalu duduk bersila di sampingnya.
Wanita bertopeng tersenyum lega, tanpa berkata apa-apa langsung menyodorkan sendok ke tangan Arga. Mereka mulai makan bersama dalam diam, hanya suara sendok yang beradu dengan kotak makan terdengar memenuhi ruangan sepi itu.
Sesekali tatapan mereka bertemu. Arga cepat-cepat mengalihkan pandangan, tapi wanita bertopeng malah tersenyum tipis di balik topengnya. Ia sengaja menyenggol siku Arga pelan.
"kamu kenapa sih, makan kok kaku banget," ucapnya ringan, nada suaranya terdengar seperti sedang menggoda.
Arga menoleh dengan ekspresi datar, tapi ada sedikit senyum yang muncul tanpa bisa ia tahan. "Aku bukan orang yang suka makan bareng sambil bercanda."
"Tapi sekarang kamu makan bareng aku," balas wanita bertopeng cepat, kembali menyenggol sikunya dengan lebih iseng.
Arga menghela napas, mencoba tetap tenang, namun dalam hatinya ada rasa aneh—campuran antara curiga, hangat, dan bingung terhadap sosok misterius di depannya.
Setelah selesai menyantap nasi yang mereka makan, suasana hening sejenak. Wanita bertopeng kini menatap Arga dengan sorot mata serius.
“Ar… aku boleh minta tolong enggak sama kamu?” tanyanya pelan.
Arga menoleh, keningnya berkerut. “Minta tolong apa?”
Wanita bertopeng menghela napas, raut wajahnya sedikit murung. “Aku… aku nggak bisa bilang sekarang. kalau Kamu mau ikut aku nanti malam, aku akan kasih tahu semuanya.”
Kalimat itu membuat Arga terdiam. Rasa curiga langsung menyelinap. Benaknya berputar—jangan-jangan nasi tadi hanya pancingan agar ia luluh. Tatapan Arga pun berubah tajam, penuh keraguan.
Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, wanita bertopeng itu meraih tangannya.
Sentuhannya lembut, kontras dengan nada tegang di antara mereka. “Aku nggak akan berbuat apa-apa padamu,” ucapnya tulus. “Yang jelas… aku benar-benar butuh pertolonganmu. Tapi untuk membuktikan itu, kamu harus ikut aku malam ini. karena hanya itu yang akan membuat kamu percaya dengan apa yang hendak aku lakukan.”
Sorot mata yang tersembunyi di balik topeng itu tak bisa Arga baca sepenuhnya, tapi ada ketulusan yang membuat hatinya kembali bimbang—antara curiga atau percaya.
Arga masih terdiam. Keraguan berputar di kepalanya, seperti benang kusut yang sulit diurai. Namun di sisi lain, ia mencoba meneguhkan hati. " Aku pasti bisa melewati apa pun kalau memang akan terjadi sesuatu." batinnya, mencoba menenangkan diri.
Di tengah pergulatan pikirannya, tiba-tiba wanita bertopeng itu menunduk. Bahunya bergetar halus, lalu air mata jatuh meski ia berusaha menahannya. Tangisannya terdengar tertahan, seperti seseorang yang mencoba tetap tegar meski luka begitu dalam.
nunggu banget nih lanjutannya