"Harusnya dulu aku sadar diri, bahwa aku sama sekali nggak pantas untuk kamu. Dengan begitu, mungkin aku nggak akan terluka seperti sekarang ini" ~Anindhiya Salsabila
Tindakan bodoh yang Anin lakukan satu tahun yang lalu adalah menerima lamaran dari cowok populer di sekolahnya begitu saja. Padahal mereka sama sekali tidak pernah dekat, dan mungkin bisa dikatakan tidak saling mengenal.
Anin bahkan tidak memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya. Hingga cowok dingin itu sama sekali tidak pernah mengajak Anin berbicara setelah meminta Anin untuk menjadi istrinya. Mereka hanya seperti orang asing yang tinggal di atap yang sama.
--------------------------------------------------------------------------
Bagaimana mungkin aku hidup satu atap dengan seorang pria yang bahkan tidak pernah mengajakku berbicara? Bagaimana mungkin aku hidup dengan seorang suami yang bahkan tidak pernah menganggapku ada?
Ya, aku adalah seorang gadis yang tidak dicintai oleh suamiku. Seorang gadis yang masih berusia sembilan belas tahun. Aku bahkan tidak tau, kenapa dulu dia melamarku, menjadikan aku istrinya, kemudian mengabaikanku begitu saja.
Terkadang aku lelah, aku ingin menyerah. Tapi entah kenapa seuatu hal memaksaku untuk bertahan. Aku bahkan tidak tau, sampai kapan semua ini akan menimpaku. Aku tidak tau, sampai kapan ini semua akan berakhir.
~ Anindhiya Salsabila~
Mau tau gimana kisah Anindhiya? Yuk cuss baca.
Jangan lupa like, komen dan vote ya. Jangan lupa follow ig Author juga @Afrialusiana
Makasih :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afria Lusiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 8
"Lo mau kemana?" Tanya Stevan masih memegangi tangan Anin.
Anin melirik ke bawah. "Aku mau duduk di balkon Stev." Jawab Anin memaksakan senyuman. Jujur saja hati Anin terasa sangat sakit sekarang ini. Anin ingin menangis, tapi Anin berusaha menahannya, gadis itu hanya saja tidak mau memperlihatkan kesedihannya pada Stevan.
"Nggak usah. Di balkon dingin. Lo temenin gue disini aja" Ucap Stevan yang berhasil membuat Anin kaget. Karena bisa dibilang ini adalah kali pertama Stevan mau mengajak Anin berbicara lagi. Apalagi meminta di temani seperti saat ini.
"Hmm. Tapi Stev..." Jawab Anin gugup. Anin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal bingung.
Stevan tidak peduli, tangan Stevan tiba-tiba saja menarik tangan Anin hingga membuat Anin kaget.
Tubuh Anin terbaring ke tempat tidur lebih tepatnya di samping Stevan. Sementara Stevan masih saja diam tanpa suara, memeluk Anin dan menenggelamkan kepala Anin di dada bidangnya.
"Disini aja. Temenin gue, jangan kemana-mana" Lirih Stevan kemudian memejamkan matanya sambil mendekap tubuh Anin.
Sungguh, jantung Anin berpacu begitu cepat dibuatnya. Anin tidak tau apa maksud Stevan melakukan ini semua. Tapi jujur saja, desiran darah Anin kini mengalir begitu cepat. Tidak bisa dipungkiri bahwa Anin merasa nyaman di dalam pelukan pria ini. Tanpa Anin sadari, bulir bening itu berhasil menetes begitu saja di pipi Anin.
Anin tau, besok-besoknya Anin akan kembali terluka seperti sebelumnya. Tapi Anin tidak mau munafik, bahwa Anin juga ingin merasakan seperti ini bersama Stevan meskipun hanya kali ini saja. Entah mengapa Anin merasa nyaman.
Stevan masih memejamkan matanya. Tapi pria itu jelas merasakan ada guncangan dari tubuh Anin. Stevan jelas tau bahwa Anin saat ini sedang menangis. Tapi Stevan memilih untuk diam, Stevan memilih pura-pura tidak mengetahui apa apa.
Lima belas menit kemudian, Stevan membuka matanya kembali. Karena memang, sedari tadi Stevan memang tidak tertidur. Stevan hanya pura-pura tidur, dan kini, justru Anin yang tampak tertidur lelap di pelukannya.
Stevan sedikit meregangkan pelukannya hati-hati agar Anin tidak terbangung. Tangan Stevan menyibakkan rambut Anin sebagian yang menutupi wajahnya.
Stevan menatap lekat wajah itu. Wajah yang jelas sekali masih basah karena barusan gadis itu baru saja menangis. Stevan menatapnya lekat.
"Maaf" Lirih Stevan kemudian mengecup kening Anin. Setelahnya Stevan kembali mengeratkan pelukannya sebelum kembali memejamkan mata dan ikut terhanyut ke alam mimpi bersama Anin.
***
Pagi harinya, Anin terbangun lebih dulu dari Stevan. Mengerjap beberapa kali, Anin merasakan sesuatu masih melingkar di pinggangnya. Detik kemudian, mata Anin terbuka dengan sempurna.
Mata Anin menatap wajah Stevan yang masih terlelap.
Tangan Anin terulur memegang pipi Stevan dengan lembut. "Kenapa?" Lirih Anin dengan suara begitu pelan. Sesaat kemudian, Anin tidak ingin berlarut dalam kesedihan. Anin hendak bangkit dari tempat tidur.
Namun, Stevan yang sebenarnya sudah terbangun dari tadi, menahan tubuh Anin untuk tidak bangkit. Tangan Stevan menahan tubuh Anin agar masih terbaring. Mata Anin membulat, Anin merasa bingung dengan sikap Stevan kali ini.
"A-ada apa Stev?" Tanya Anin ragu.
"Mau kemana lo?" Tanya Stevan dingin.
"A-aku mau ke kamar mandi. Aku ada kuliah pagi. Kamu aku tinggal dulu nggak papa kan? Atau kita perlu ke rumah sakit dulu sebelum aku ke kampus?" Tanya Anin gugup dan beruntun.
"Nggak usah" Sahut Stevan singkat.
"Oo nggak usah. Yaudah. Nanti aku siapin makanan dulu ya sebelum berangkat ke kampus" Ucap Anin.
"Maksud gue nggak usah ke kampus. Temenin gue disini" Ucap Stevan yang lagi dan lagi membuat Anin terdiam. Gadis itu benar-benar merasa bingung. Ada apa dengan pria ini? Kenapa sikap Stevan menjadi aneh?
"Tapi Stev. Aku..."
"Jangan bantah!!"
Anin menghela nafas. Ia hanya hanya bisa selain menurut? Entahlah, rasanya Anin tidak bisa menolak. Karena Anin tau, sebagai seorang istri ia harus menuruti dan patuh dengan apa yang dikatakan oleh suami.
"Yaudah, tapi aku mau mandi dulu Stev." Ucap Anin hendak menyingkirkan tangan Stevan dan beranjak dari tidurnya. Namun, lagi dan lagi Stevan menahan tubuh Anin.
"Jangan gerak. Biarin gini aja" Stevan justru semakin mengeratkan pelukannya.
"Tapi kamu udah meluk aku dari semalam lo Stev" Protes Anin, mengingat pria itu bahkan tidak melepaskan pelukannya dari Anin sedetikpun dari semalam.
"Suka suka gue. Lo kan istri gue. Jadi ya sah sah aja. Gue juga nggak akan berdosa. Tangan juga tangan gue nggak minjem tangan orang lain ataupun tangan lo untuk juga" Sahut Stevan seenak jidatnya.
Anin mematung dan sontak terdiam. "Istri? Haha Istri? apakah seperti ini yang dinamakan istri? dia bahkan cuma mentingin dirinya sendiri. Dia bahkan nggak pernah mikirin gimana sakitnya aku selama ini. Tapi sekarang dengan gampangnya dia bilang istri?" Lirih Anin dalam hati.
***
Anin baru saja selesai menyuapi Stevan makan siang. Hari ini Anin benar-benar tidak pergi ke kampus karena mengikuti keinginan Stevan.
Kini, Anin sedang duduk sendiri di balkon kamarnya dan juga Stevan. Entah apa yang saat ini ada di fikiran Anin, yang jelas gadis itu kini tengah melamun menatap kosong ke arah depan.
"Lagi mikirin apa lo?" Tanya Stevan yang tiba-tiba dari belakang Anin. Hal itu sontak membuat Anin kaget. Tangan Anin dengan cepat menghapus air mata yang menetes di pipinya sebelum Stevan melihatnya.
Tapi siapa yang tau, diam diam Stevan tetap sudah melihatnya karena pria itu sedari tadi tak behenti memperhatikan Anin dari dalam sana.
Anin menoleh ke arah belakang. "Nggak ada. Nggak ngapa ngapain" Sahut Anin singkat kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke depan.
Stevan diam. Kemudian ikut mendudukkan tubuhnya di samping Anin.
"Lagi liatin apa?" Tanya Stevan.
Anin menoleh ke samping. "Cuma liatin awan mendung dan menantikan awan itu kembali cerah dan terang" Sahut Anin penuh sindiran.
"Lo sadar kan, nggak selamanya awan itu mendung. Suatu saat dia akan berubah cerah. Begitu juga kebahagiaan. Mungkin, sekarang belum saatnya. Tapi jika saatnya sudah tiba, kebahagiaan itu akan menghampiri dengan sendirinya"
Kening Anin tertaut. Pandangan Anin beralih ke arah Stevan menatap Stevan bingung. Anin tidak bisa mencerna ucapan Stevan yang penuh maksud tersebut.
"Maksud kamu?" Tanya Anin.
"Nggak ada maksud" Sahut Stevan kemudian Stevan kembali bangkit. Stevan kembali berjalan ke dalam kamar dan meninggalkan Anin yang sudah merasa penasaran di balkon sendiri.
Anin menatap punggung Stevan yang semakin lama semakin menjauh sembari bertanya tanya sendiri dalam hati tentang apa yang dimaksud oleh pria itu.
tinggalin saja laki kek gt, harga diri lah.. terlalu lemah
boleh tanya kah mbak gimana buat novel biar cepet dan konsisiten