Gyantara Abhiseva Wijaya, kini berusia 25 tahun. Yang artinya, 21 tahun telah berlalu sejak pertama kali ia berkumpul dengan keluarga sang papa. Saat ia berusia 5 tahun, sang ibu melahirkan dua adik kembar laki - laki, yang di beri nama Ganendra Abhinaya Wijaya, dan Gisendra Abhimanyu Wijaya. Selain dua adik kembarnya, Gyan juga mendapatkan sepupu laki-laki dari keluarga Richard. Yang di beri nama Raymond Orlando Wijaya. Gracia Aurora Wijaya menjadi satu-satunya gadis dalam keluarga mereka. Semua orang sangat menyayanginya, tak terkecuali Gyan. Kebersamaan yang mereka jalin sejak usia empat tahun, perlahan menumbuhkan rasa yang tak biasa di hati Gyan, yang ia sadari saat berusia 15 tahun. Gyan mencoba menepis rasa itu. Bagaimana pun juga, mereka masih berstatus sepupu ( keturunan ketiga ) keluarga Wijaya. Ia pun menyibukkan diri, mengalihkan pikiran dengan belajar. Mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin Wijaya Group. Namun, seiring berjalannya waktu. Gyan tidak bisa menghapus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Mencari Jodoh Yang Setara.
"Kamu makan siang dengan siapa, sayang?" Tanya mami Renata pada sang putri.
Keluarga Johannes Richard Wijaya kini tengah menikmati makan malam di kediaman mereka.
Cia yang sudah selesai dengan makanan utamanya, dan sedang memakan buah jeruk pun seketika tersedak mendengar pertanyaan sang mami.
'Pasti ibu yang memberitahu mami.'
Gadis itu mendengus dalam hatinya.
"Makan siang bersama siapa? Apa maksudmu, sayang?" Belum sempat Cia menjawab, sang papi lebih dulu mengajukan pertanyaan pada istrinya.
"Gista mengirim pesan, katanya putri kita makan siang bersama seorang pria."
Ternyata benar dugaan Cia. Kalau bukan ibu Gista pelakunya, siapa lagi?
"Wah... Siapa, kak? Bukan kak Gyan 'kan?" Raymond ikut menimpali.
Gadis bernama lengkap Gracia Aurora Wijaya itu tak langsung menjawab. Membuat ketiga anggota keluarga yang lain menatap kearahnya penuh tanya.
"Pak Bima, Pi." Ucap Cia kearah sang papi, karena tatapan pria dewasa itu yang paling tajam.
Wajar saja. Pria berusia enam puluh enam tahun itu sangat posesif pada sang putri tunggal.
"Siapa pak Bima?" Tanya mami Renatta dan Raymond secara bersamaan. Membuat wanita paruh baya itu mendengus kearah sang putra bungsu.
"Kita memang sehati dan sejiwa, mi." Ucap Raymond dengan senyum lebar.
Mami Renatta tak menanggapi ucapan pemuda itu. Ia kembali beralih menatap Cia.
"Kepala Devisi Keuangan?" Tanya papi Rich lagi.
Dan Cia menjawab dengan anggukan pelan.
"Papi tau pria itu?" Tanya mami Renatta penasaran.
"Pasti tau, mi. 'Kan bawahannya papi." Raymond kembali menjawab.
Mami Renatta mendelik tajam, membuat Raymond menutup mulutnya.
"Apa kalian dekat?" Tanya papi Rich. Pria dewasa itu menggeser piring kotor ke samping kiri meja makan. Kemudian duduk bersandar sembari menatap Cia yang berada di sebelah kanannya.
"Kami berteman baik, Pi. Tidak terlalu dekat. Tapi kami nyambung jika sedang mengobrol." Jelas Cia.
Gadis itu tidak lagi melanjutkan memakan buah jeruknya setelah melihat tatapan sang papi.
'Papi dan Gyan sama saja.'
"Papi harap tidak ada hubungan lebih diantara kalian, selain pertemanan." Ucap papi Rich kemudian.
Tak hanya Cia, mami Renatta dan Raymond pun mengerutkan kening setelah mendengar ucapan sang kepala keluarga.
"Lho, memangnya kenapa?" Tanya mami Renatta.
Papi Rich menghela nafas pelan. "Cia putri satu - satunya keluarga Wijaya. Dia hidup dimanjakan sejak bayi. Ketika waktunya untuk menikah, tentu harus dengan pria yang juga bisa memberikan kasih sayang yang sama seperti kita."
"Jadi papi melihat orang dari latar belakangnya?" Tanya Cia tak percaya.
"Apa kamu menyukai Kepala Devisi itu?" Sang papi berbalik melempar tanya.
"Tidak. Aku hanya menganggap sebagai teman." Jawab Cia dengan jujur.
"Ya sudah. Untuk urusan masa depan kamu, biar papi yang mencarikan jodoh. Jangan membantah, karena papi ingin yang terbaik untuk kamu."
"Pi-- mami Renatta hendak bersuara, namun sang suami mengangkat satu tangannya, membuat wanita paruh baya itu terdiam.
Raymond tak berani bersuara. Ia tidak mau ikut campur dalam urusan masa depan sang kakak.
"Baiklah. Aku harap papi bisa mendapatkan pria yang setara seperti papi. Tidak hanya kasih sayangnya tetapi juga kekayaannya." Ucap Cia kemudian.
"Sayang." Mami Renatta menganga mendengar kalimat terakhir yang Cia katakan.
"Papi ingin yang terbaik untuk aku, mi. Dan yang terbaik menurut aku itu adalah pria yang seperti papi." Ucap Cia dengan tegas dan penuh rasa bangga.
Selama ini, ia begitu mengagumi sang papi dan papa Dirganya. Apalagi setelah mengetahui jika selama hidup, papi Rich hanya mencintai seseorang wanita yaitu mami Renatta.
Cia selalu berharap bisa mendapatkan jodoh pria yang mirip dengan sifat sang papi. Jika tidak, minimal seperti papa Dirga, yang hanya berhubungan dengan dua wanita dalam hidupnya.
"Kamu tenang saja. Papi pasti akan mencari pemuda yang terbaik untuk kamu."
"Apa tadi siang kamu melihat Cia di kafe, nak?" Tanya ibu Gista pada Gyan yang tengah membantu menyiapkan makan malam.
Mereka kini hanya berdua di ruang makan. Si kembar masih berada kampus karena ada kegiatan mahasiswa. Sementara itu, ayah Dirga baru saja pulang dari kantor, dan sedang membersihkan diri di kamarnya.
Gyan tidak langsung menjawab. Jika ia mengatakan tidak, sang ibu pasti sudah mendapatkan laporan dari pramusaji di kafe.
"Hmm." Pemuda itu bergumam lirih.
"Kenapa tidak ikut bergabung makan siang bersama Cia dan temannya itu?" Tanya sang ibu lagi.
Gyan memilih pergi ke dapur untuk mengambil lauk yang telah siap di masak oleh para asisten rumah.
"Aku ada urusan lain, Bu." Jawabnya ketika kembali dari dapur, dan mendapati tatapan penuh tanya sang ibu.
"Oh, jadi tadinya mau gabung?"
Gyan mengedikkan bahu pelan. Ia mengambil alih nasi panas yang di bawa oleh salah orang asisten rumah.
"Mungkin." Sahut pemuda itu acuh.
Ia kemudian mengambil tempat duduk, kemudian meneguk air putih sembari menunggu kedatangan sang ayah.
"Ibu kira kamu cemburu karena melihat Cia makan siang dengan pria lain."
Seketika Gyan tersedak air yang ia minum. Ibu Gista dengan sigap menepuk punggung sang putra.
"Cia makan siang dengan pria lain? Siapa?" Tanya ayah Dirga dari ambang pintu ruang makan.
Ibu Gista menoleh ke arah sang suami. Kemudian menarik kursi kepala keluarga untuk di tempati oleh pria paruh baya itu.
"Kamu tau sesuatu?" Tanya ayah Dirga pada sang istri.
"Itu tadi siang aku tanpa sengaja melihat Cia makan siang bersama seorang pria." Jelas ibu Gista sembari mengambilkan makanan untuk sang suami.
"Siapa? Kamu pasti sempat berkenalan 'kan?"
Ibu Gista mengangguk pelan. "Kepala Devisi Keuangan di kantor." Ucapnya.
Tangan Gyan terkepal di bawah meja. Cia bahkan mengenalkan Kepala Devisi itu pada sang ibu.
"Bima?" Tanya ayah Dirga meyakinkan.
"Iya siapa lagi? Memangnya ada berapa Kepala Devisi Keuangan di kantor?" Ibu Gista berbalik melempar tanya.
Wanita paruh baya itu kemudian meletakkan piring yang telah terisi di hadapan sang suami.
"Sini piring kamu."
Namun Gyan menolak. Ia memilih untuk mengambil makanannya sendiri.
"Kenapa Gyan harus cemburu jika Cia makan siang bersama Bima?" Tanya ayah Dirga kemudian.
Gyan menghela nafas berat. Ia menjadi tidak berselera makan, jika mengingat Cia yang bisa dengan santai makan siang bersama pak Bima.
"Ya, 'kan selama ini Cia kemana - mana selalu bersama Gyan. Sudah seperti saudara kembar." Ibu Gista menekankan kalimat terakhir yang ia ucapkan agar Gyan tersadar dengan hubungannya dan Cia.
"Kalau sudah seperti saudara, kenapa harus cemburu?" Imbuh ayah Dirga lagi.
"Ya---
"Bisakah kita makan dengan tenang tanpa membahas hal yang tidak penting, Bu?" Sela Gyan kemudian.
Melihat tatapan tak bersahabat sang putra, Ibu Gista pun menjawab dengan anggukan kecil.
Keluarga itu kemudian makan malam dengan tenang, tanpa banyak bicara.
'*Aku semakin yakin jika Gyan memang cemburu melihat Cia bersama pak Bima itu*.' Monolog ibu Gista dalam hatinya.
...\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*...