Cerita ini lanjutan Aku Yang Tidak Sempurna.
Bakat yang di milikinya adalah warisan dari sang mama yang seorang pelukis terkenal.
Namun ia lebih memilih menjadi pelukis jalanan untuk mengisi waktu luangnya. Berbaur dengan alam itu keinginannya.
Dia adalah Rafan Nashif, seorang pelukis jalanan dan sekaligus seorang CEO di perusahaan.
Namun tidak banyak yang tahu jika dirinya seorang CEO, bahkan pacarnya sendiri pun tidak tahu.
Sehingga ia di hina dan di selingkuhi karena di kira hanya seorang seniman jalanan yang tidak punya masa depan.
Bagaimana kisah selanjutnya? Jika penasaran, mampir yuk!
Cerita ini hanyalah fiksi belaka, jika nama tempat, nama orang ada yang sama itu hanya kebetulan semata dan tidak bermaksud untuk menyinggung siapapun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pa'tam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 8
Laki-laki itu tersenyum bersama kekasihnya melihat lukisan yang di buat oleh Rafan. Sangat indah seperti lukisan itu nyata.
Padahal hanya menggunakan pensil berwarna khusus, tidak menggunakan cat atau sejenisnya.
"Terima kasih Mas," ucap Rafan setelah laki-laki itu mentransfer sejumlah uang.
"Sama-sama Mas, terima kasih juga lukisan indahnya, kita akan rekomendasi kan ke orang-orang tentang lukisan Mas," ujar laki-laki itu.
"Terima kasih Mas," ucap Rafan lagi.
Lalu keduanya pun pergi sambil bergandengan tangan. Lukisan itu akan mereka abadikan sebagai momen terindah untuk hubungan mereka berdua.
"Rafan, kamu dengar gak sih!"
"Tidak perlu teriak, aku tidak budek. Lagipula kamu tidak di perlukan di sini."
"Rafan...! Tidak bisakah kamu beri aku peluang sekali lagi? Aku rela putus dengan Jeremy karena ingin kembali kepadamu."
"So what. Bukan urusanku, aku sudah banyak berkorban untukmu, namun apa? Tapi aku bersyukur karena kamu memutuskan aku."
Rafan acuh tak acuh, begitulah sikapnya kalau sudah di sakiti. Cintanya tulus, namun walau sekali saja di perlakukan seperti itu, ia tidak akan perduli lagi dengan orang itu.
"Pergilah, kamu tidak di butuhkan di sini. Aku hanya seorang pelukis jalanan yang tidak memiliki masa depan," ucap Rafan mengulangi kata-kata yang pernah di ucapkan oleh Renata.
"Rafan aku ...."
"Cukup, sekarang pergilah, atau aku yang akan pergi," ucap Rafan memotong perkataan Renata.
Renata akhirnya pun pergi dari situ, Rafan hanya tersenyum miring melihat kepergian Renata. Kemudian ia mengemasi barang-barang.
Mood nya sudah hilang, jadi ia akan pergi saja. Rafan mengirim pesan kepada Farrel, mengatakan jika dirinya akan kembali.
Farrel yang sedang makan es krim bersama Rafli pun mengiyakan saja. Nanti mereka akan menyusul kemudian.
Namun Rafan bukannya kembali, ia malah mengendarai motornya tanpa tujuan yang pasti.
Tiba di sebuah kompleks, Rafan melihat sekumpulan ibu-ibu dan bapak-bapak. Ia pun penasaran dengan apa yang terjadi?
Ternyata sekumpulan ibu-ibu dan bapak-bapak itu sedang mengantri untuk membeli ketoprak.
"Ku pikir ada kejadian apa? Gak tahu nya mereka sedang mengantri untuk membeli ketoprak. Seenak apa sih?" Rafan bergumam, ia juga penasaran sampai-sampai mereka rela mengantri untuk membeli.
Rafan juga baru sadar kalau dirinya memasuki sebuah kompleks perumahan. Rumah-rumah di sini hanya ada beberapa buah saja yang mewah.
Selebihnya adalah rumah kontrakan sederhana yang harganya terjangkau. Rafan duduk santai di motornya di bawah pohon.
Ia terus mengamati orang yang sedang ngantri, hingga satu persatu mereka pergi dari situ.
Rafan yang penasaran akan rasanya pun mendekat. Lestari tersenyum manis melihat pembeli yang datang.
"Mau beli Mas?" tanya Lestari.
"Satu porsi saja," jawab Rafan.
Kebetulan ini sudah waktunya makan siang. Belum sempat Lestari membuatkan nya, suara adzan pun berkumandang dari masjid terdekat.
"Maaf ya Mas, aku mau sholat dulu," ucap Lestari.
Lestari rela meninggalkan pelanggannya untuk segera melaksanakan kewajibannya. Dia tidak takut kalau kehilangan pelanggan, tapi dia lebih takut kalau melalaikan sholat.
Rafan tidak keberatan, karena ia juga akan melakukan sholat. Rafan berjalan lebih dulu menuju masjid.
Di masjid, Rafan tidak melihat Lestari. Sampai selesai sholat pun ia tidak melihatnya. Rafan berpikir jika Lestari sholat sendiri di rumahnya.
Benar saja, saat Rafan tiba di tempat Lestari jualan, Lestari sudah berada di kiosnya. Lestari sekali lagi meminta maaf.
"Jadi beli Mas?" tanyanya.
"Jadi Mbak, oh ya jangan terlalu pedas ya, sedang saja," jawab Rafan.
Lestari mengangguk lalu sibuk mengulek kacang tanah yang sudah di goreng. Rafan melihat tidak ada tulisan di kios ini, jadi ia berinisiatif untuk menambah tulisan agar menarik banyak pembeli.
"Mbak, ada kain putih?" tanya Rafan.
"Ada mas, tapi untuk apa ya?"
"Ada deh, nanti Mbak lihat saja hasilnya."
Lestari melanjutkan ngulek bumbu ketoprak, hingga siap di sajikan kepada pelanggan. Kemudian Lestari masuk ke dalam rumah untuk mengambil kain putih.
Dia menunggu Rafan selesai makan, baru akan menyerahkan kain putih tersebut. Tidak terlalu panjang, hanya setengah meter saja.
"Ini Mas kain putihnya," ucap Lestari menyerahkan kain tersebut.
Rafan mengangguk lalu ia mengambil tas ranselnya yang di simpan di motornya. Rafan merentangkan kain tersebut dan menancapkan paku agar tidak kendor.
Lestari hanya memperhatikan saja saat Rafan mengeluarkan cat pilok. Rafan menoleh ke Lestari dan bertanya.
"Oh ya Mbak, siapa namanya?" tanya Rafan.
"Lestarikan keindahan alam sekitar," jawab Lestari.
"Serius Mbak?" tanya Rafan sambil tertawa.
"Bercanda Mas, nama ku Lestari Mas, biasa di panggil Tari," jawabnya.
Rafan mulai mewarnai kain putih tersebut, juga menuliskan nama Lestari dan nama makanan yang di jualnya.
Lestari begitu takjub, apalagi melihat lukisan ketoprak seperti nyata. Beberapa kali Lestari menggosok matanya untuk memastikan kalau dirinya tidak salah lihat.
"Sudah siap Mbak Tari," kata Rafan.
"Serius ini Mas? Seperti foto asli," ujar Lestari.
Rafan tersenyum, lalu memasang kain itu di tempat yang terlihat oleh orang. Lestari geleng-geleng kepala, sumpah demi apapun, dia tidak bisa berkata banyak.
"Mas siapa namanya?" tanyanya.
"Panggil Rafan saja Mbak," jawab Rafan.
"Mas Rafan seorang pelukis?"
"Hanya pelukis jalanan Mbak."
Lestari mengamati Rafan, ia melihat Rafan terlihat bersih dan tampan. Walau pun berpakaian sederhana.
"Tapi Mas Rafan lebih cocok jadi CEO deh daripada pelukis jalanan. Tapi tidak apa-apa Mas, kerja apapun yang penting halal," ujar Lestari.
Rafan tersenyum saja saat Lestari menanyakan harga lukisan yang di buat oleh Rafan. Rafan mengatakan jika itu adalah gratis.
Lestari berterima kasih, lalu melarang Rafan untuk membayar ketoprak yang di makannya. Tapi Rafan tetap mengarahkan ponselnya ke barcode yang ada di dekat Lestari.
Tidak berapa lama notifikasi uang masuk seratus ribu ke ponsel Lestari. Lestari hendak mengembalikannya, namun Rafan menolak.
Rafan kemudian pergi dengan motornya. Lestari hanya memandang, namun dia tersenyum karena ada pemuda sebaik itu.
"Tampan, baik dan soleh, uh cowok idaman banget," gumam Lestari. "Ngomong apa sih aku, sadar diri Tari," tambahnya.
Namun tidak bisa di pungkiri jika dia mengagumi Rafan. Masalah pekerjaan, bagi Lestari tidak penting. Yang penting bukan pekerjaan haram.
Lestari lagi-lagi memandang lukisan yang di buat oleh Rafan. Dia pun memotret nya dan menyimpannya di ponselnya.
"Wah sudah ada nama dan gambar ya?" tanya Bu Rita yang melihat kios tempat Lestari jualan ada perubahan.
"Iya Bu," jawab Lestari.
Rita ke mana-mana selalu membawa tas mahalnya. Dan tidak segan-segan memamerkan kepada mereka.
Tapi ada juga yang merasa jenuh karena selalu pamer tas yang itu-itu saja. Lestari sendiri masa bodo, dia juga tidak kepo dengan urusan orang.