terlalu kejam Pandangan orang lain, sampai tak memberiku celah untuk menjelaskan apa yang terjadi!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Permenkapas_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa dia?
“Apa kau kenal dengan laki-laki berhodi hitam itu?” tanyanya pada Oline saat mereka menikmati sarapan di meja makan.
Oline tersedak, cepat-cepat Bara menuangkan air dan memberikannya kepada Oline.
“Sudah baikan?” tanyanya khawatir, raut wajah khatirnya tidak bisa disembunyikan, itu membuat Oline geli melihatnya.
“Lelaki berhodi hitam?” tanya Oline balik.
Bara memandang Oline dan mengangguk.
“Aku tidak tahu, kita tidak sengaja bertabrakan di jalan, saat aku baru pulang sekolah. Gara-gara hodi miliknya semua orang menganggap akulah dalang dari kematian Zola!” ucapnya geram.
Bara menelisik wajah Oline dengan saksama, tetapi sepertinya keponakannya mengatakan semuanya dengan jujur.
“Apa kau sempat melihat wajahnya?”
Oline menggeleng lemah.
“Bahkan aku penasaran seperti apa bentuk wajahnya,” ucapnya sambil menyuap nasi ke dalam mulutnya.
“Memangnya ada apa? Kenapa Paman bisa tau tentang laki-laki berhodi hitam itu?”
“Yang pertama jangan panggil aku paman! Kedua aku tidak sengaja melihat lelaki itu selalu menawasimu.”
“Mengawasiku?”
Oline meletakkan sendoknya di atas piring, dia bersiap mendengar cerita pamannya.
Bara mengangkat salah satu alisnya melihat ekspresi wajah Oline yang tampak serius.
“Habiskan cepat makananmu, dan cepat berangkat ke sekolah.”
“Tapi ....”
“Nanti akan ku beritahu,” potongnya cepat.
“Mau janji lagi? Kau masih memiliki janji kepadaku tentang rahasia besar ayah,” sungutnya kecewa.
“Double janji,” balas Bara mengangkat dua jari sejajar dengan telinganya.
Oline memutar mata jengah.
“Baiklah aku berangkat sekolah dulu.”
“Habiskan dulu nasinya,” perintah Bara.
“Hanya tinggal sesuap.”
“Nanti nasinya nangis,”
Oline melihat nasi dipiringnya dan langsung memakannya.
Di sekolah baru Oline tampak gugup, di ruang kepala sekolah, dia meremas rok nya kuat-kuat. Tadi dia diantar oleh sopir Bara, karena Bara masih ada urusan penting di luar kota dan berjanji akan cepat pulang setelah urusannya selesai.
“Namanya Caroline Deneta Antoni Wijaya?” tanya seorang perempuan yang tak lain adalah kepala sekolah.
Oline mengangguk ragu-ragu.
“Keponakan dari Bara Wijaya?”
Oline terkesiap, bagaimana dia tahu kalau Oline adalah keponakan Bara? Oline kagum, ternyata nama pamannya cukup terkenal di daerah itu.
“Baiklah Oline, mari Ibu antar kamu ke kelas baru, dan semoga betah berada di sini.”
Kepala sekolah menggandeng tangan Oline menuju ke kelas. Semua murid terdiam saat Oline memasuki kelas bersama sang kepala sekolah.
“Hari ini kalian kedatangan murid baru, namanya Oline. Ibu harap kalian bisa ramah sama dia,” ucapnya kepada semua murid.
“Baik, Bu,” jawab mereka serempak.
Oline dipersilahkan duduk di kursi kosong tepat di samping seorang gadis berkulit sawo matang, hidungnya Bangir tetapi cantik menurut Oline. Gadis itu tersenyum manis kepada Oline dan langsung memperkenalkan dirinya.
“Hai Oline ... aku Vanya,” sapanya.
“Hai Vanya,” jawab Oline.
“Kamu keponakannya Kak Bara ya? Dia orang berpengaruh di daerah ini loh, dia orangnya baik. Dia juga donatur tetap sekolah ini, anggap aja pemilik sekolah, karena tanah yang di bangun yaitu tanah dia,” jelasnya tanpa di minta.
“Pantas saja semua orang mengenalnya,” pikir Oline.
Sekarang dia tahu alasan kenapa pamannya sangat di sanjung dan dikenal di daerah itu, ternyata dibalik sifat antagonisnya terdapat hati selembut kapas. Oline tersenyum mengingat pamannya, dia tidak menyangka akan memiliki paman berhati malaikat. Untuk saat ini dia tidak tahu sekejam apa sifat Bara kepada orang yang tidak dia sukai, dia bahkan lebih sadis dari Antoni—ayahnya Oline, tetapi dia melakukan semua rencananya secara halus sehingga semua orang berpikir dialah malaikat yang berhati lembut.
Hari pertama sekolah Oline menyangka akan mendapatkan perlakuan buruk dari teman-teman barunya, tetapi ini justru sebaliknya, Oline menyesal karena sudah berpikiran buruk lebih dulu.
“Hai ....” sapa seorang lelaki menghampiri Oline yang tengah duduk sendirian di taman sekolah.
“Iya?”
“Boleh aku duduk?”
“Silahkan ....” jawabnya sambil menggeser tempat duduknya.
Lelaki itu duduk di samping Oline, Oline merasa canggung karena selama ini dia tidak pernah bertegur sapa sama laki-laki, jangankan punya teman seorang lelaki, teman wanita pun seperti tak sudi jika melihat wajahnya dulu.
“Perkenalkan, namaku Devanka,” ucapnya menyodorkan tangan ke arah Oline.
Oline menerima jabatan tangan Devanka, dan tersenyum.
“Oline,” jawabnya singkat.
Suasana kembali hening, sepertinya mereka masih sangat canggung, sedangkan Devanka tidak pandai mencari topik pembicaraan, sampai akhirnya Vanya datang menghampiri mereka dan mengajak Oline pergi ke kantin bersama.
“Boleh aku ikut?” tanya Devanka
“Tumben, tetapi ayoklah ... biar rame,” jawab Vanya.
Mereka bertiga jalan beriringan, di kantin sudah dipenuhi banyak siswa-siswi, untung saja ada beberapa anak yang selesai makan dan langsung keluar dari kantin, jadi mereka bisa menggantikan tempat duduk anak yang baru keluar tadi.
“Oline mau pesan apa?” tanya Devanka.
Vanya memicingkan mata melihat tingkah laku Devanka kepada Oline, Vanya paham betul bagaimana sifat laki-laki yang satu ini. Meski tidak dekat, sifat Devanka kepada orang-orang sangatlah dingin bahkan terkenal cuek, sehingga semua siswa menjulukinya dengan sebutan “si kulkas” sifat acuh dan misteriusnya sangat terkenal di daerah itu, dia juga lelaki yang sulit di tebak apa maunya. Tetapi Vanya rasa itu tidak berlaku untuk Oline, gadis yang baru beberapa jam berada di sekolah ini mampu membuat sifat es Devanka mencair.
“Apa Devanka suka ya sama Oline?” tanyanya dalam hati.
“Menu di sini apa saja?” tanya Oline balik kepada Devanka.
“Ada bakso, mie ayam, soto, nasi goreng, mie goreng, juga gorengan ada sih. Minumnya segala jus ada,” jawabnya antusias.
Oline tampak berpikir, dan memutuskan untuk memesan mie ayam dan es teh saja. Setelah mengetahui apa yang Oline mau, Devanka lalu bergegas untuk memesan makanan kepada ibu kantin.
“Hey, ini yang di tawarin si Oline doang? Aku gak ditawarin?” tanya Vanya mencegat kepergian Devanka.
“Punya kaki, 'kan? Jalan sendiri!” jawabnya ketus.
Oline dan Vanya saling melempar pandang melihat tingkah Devanka yang cepat berubah, tetapi Vanya meyakinkan Oline kalau Devanka orangnya memang seperti itu.
“Dia memang rada aneh, sikapnya sangat dingin,” jelasnya sambil meninggalkan Oline sendiri dan menyusul Devanka untuk memesan makanan.
Tak lama berselang, mereka kembali dengan membawa pesanan di tangan mereka di temani seorang siswa yang meletakkan pesanan Oline di depannya.
“Terima kasih,” ucap Oline tulus.
“Sama-sama,” jawabnya sambil berlalu pergi dari kantin.
“Oline, kamu tidak ingin kenalan?”
“Dengan siapa?” tanya Oline balik kepada Vanya.
“Cowok tadi,” jawab Vanya tersenyum sambil matanya mengarah kepada lelaki tadi yang mulai keluar dari kantin.
Oline tersenyum menggeleng, sedangkan Devanka menyaksikan tingkah gadis-gadis yang berada di depannya ini. Jika bukan karena Oline, tidak mungkin dia duduk satu meja dengan Vanya, gadis yang menurutnya cerewet ini. Entah karena apa, melihat Oline dia langsung tertarik, baginya Oline gadis yang tidak sama dengan yang lainnya, dia berbeda, cukup unik dengan daya tarik tersendiri.