Kakak dan adik yang sudah yatim piatu, terpaksa harus menjual dirinya demi bertahan hidup di kota besar. Mereka rela menjadi wanita simpanan dari pria kaya demi tuntutan gaya hidup di kota besar. Ikuti cerita lengkapnya dalam novel berjudul
Demi Apapun Aku Lakukan, Om
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Bayangan pria itu terus menghantui, membuatnya merasa seperti anak kecil yang nekat mencari perhatian orang dewasa dan takut jika niat pria itu ternyata gelap. Napasnya tercekat, hatinya mencengkram takut akan sesuatu yang belum siap ia hadapi. Namun tekad muncul dari balik keraguan itu,
“Aku masih muda. Belum waktunya.” Tubuhnya akhirnya rileks perlahan saat kantuk menjemput, membawa Salwa ke dalam mimpi yang damai, melarikan diri sejenak dari gelisah yang menyesakkan.
Di dalam mimpinya, sosok Tuan Marcos tiba-tiba berubah menjadi pangeran dari dongeng masa kecil yang selalu ia kagumi. Salwa merasakan kehangatan yang aneh saat pria duda itu memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskan. Napas Marcos terasa berat di dekat wajahnya sebelum tiba-tiba bibir itu menyentuhnya dengan penuh gairah.
Jantung Salwa berdegup kencang, campuran rasa bingung, bahagia, dan takut melingkupi dirinya. Hidupnya seolah terseret ke dalam kisah cinta yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Pria itu dengan lembut menuntunnya ke ranjang, di mana ketakutannya perlahan mencair menjadi kenikmatan yang sulit dijelaskan.
"Gadis kecil, aku menyukaimu," bisik Marcos dekat telinganya, suaranya serupa angin hangat yang membuat dada Salwa bergetar. Dengan suara gemetar, Salwa membalas,
"Om, aku juga menyukai om Marcos," rasa campur aduk berkecamuk di dalam hatinya, menambah berat beban mimpi yang tak bisa ia lepaskan.
Salwa menutup matanya pelan, napasnya tersengal samar.
"Kenapa aku merasa nyaman banget kalau di dekat dia?" pikirnya, tangan gemetar kecil menyentuh dada yang berdetak lebih cepat.
Setiap kata Tuan Marcos terngiang, hangat tapi juga membuat hatinya berputar. Dia bertanya-tanya dalam hati, apakah ini cuma kebiasaan atau benar-benar jatuh cinta? Rasa ragu menyelusup, pikirannya membelah antara harapan dan kekhawatiran. Usia yang terpaut jauh, pengalaman hidup yang berbeda, semuanya berbisik membuatnya takut. Tapi saat Tuan Marcos memeluknya, mencium keningnya dengan lembut, dunia di sekeliling seolah hilang. Salwa memilih diam, membiarkan hangat itu menyelimuti, sambil mencari jawaban tentang apa yang sesungguhnya ia inginkan dari semuanya ini.
Semakin lama, hati Salwa bergejolak hebat saat matanya terperangkap melihat pria itu menelusuri samudra indah miliknya, wilayah yang seharusnya masih tersembunyi, belum pantas ia lewati. Ada ketakutan yang merayap dalam dadanya, disusul kemarahan yang membara.
“Kenapa harus aku yang mengalami ini?” pikirnya getir.
Namun, keberanian itu enggan muncul, terkepung oleh pesona pria dewasa yang seperti menghipnotis, membuatnya lupa caranya mempertahankan kehormatan sebagai wanita muda. Di dalam diam, Salwa menekur lidah, suaranya hanya bergema dalam hati,
“Salwa, beranilah melawan...”
Tapi tubuh mungilnya tetap membeku, seolah tak berdaya menghadapi badai yang mendera. Melihat ketidakberdayaan itu, nafsu pria itu membara semakin liar, menyeretnya untuk menyelam lebih dalam ke ruang tanpa batas menuju langit ke tujuh yang menakutkan.
Salwa menahan napas, dadanya sesak, seolah ada badai di dalam hatinya. "Tidak, jangan! Salwa, tolak dia! Lawan!" jerit suara kecil dalam benaknya, penuh kepanikan yang mengoyak jiwa.
Tapi tubuh Salwa tetap diam, tak kuasa bergerak, seolah energi kehidupan itu ikut terkuras bersama bayangan kelam di depan matanya. Matanya berlinang, dan sepi menyergap, seperti dirinya terperangkap dalam kehancuran tanpa jalan keluar. Dia menunduk, menggumam dalam hati,
“Apakah ini hukuman dari Tuhan? Karena aku tak mampu melindunginya dari bahaya dunia?”
Ada rasa bersalah yang menyesak, tetapi anehnya, ada juga bisikan nafsu yang sulit dia tolak. Bibir mungil Salwa tiba-tiba bergetar, suara lirihnya menyelinap,
“Om Marcos, teruskan... aku suka.”
Saat mimpi itu mulai menggulungnya lebih dalam, perlahan matanya terbuka. Salwa tercekat, napasnya tersendat, menyadari itu hanya mimpi. Namun bayang itu terus menempel, merayap dalam pikirannya seperti bisikan gelap yang tak kunjung hilang.
“Mengapa aku bisa merasa seperti ini padanya? Dia ayah dari sahabatku...” Gumam Salwa, dengan mata yang masih basah, hatinya penuh perasaan campur aduk yang tak bisa dia jelaskan.
Dia menatap kosong ke kejauhan, napasnya terasa berat seolah menahan gelombang keraguan di dada. Haruskah perasaan yang terus menggantung ini dia kubur dalam-dalam, atau justru berani melangkah mencari kebahagiaan yang selama ini tersembunyi di balik bayang? Hatinya bergolak, antara takut terluka lagi dan ingin sekali merasakan hangatnya harapan baru.
*****
Salwa terbangun di tengah malam, dadanya berdebar tanpa henti. Matanya yang mengantuk terus menatap langit-langit kamar, tapi pikirannya malah berputar liar. Perlahan, dia merangkak ke pintu kamar kakaknya, Wanda. Jarinya gemetar saat mendorong pintu, berharap menemukan Wanda sedang terlelap. Tapi kamar itu kosong, hanya tersisa suara sunyi yang menusuk telinganya. Salwa menelan ludah, napasnya memburu.
"Kerja apa sih, Kak Wanda? Kok sampai larut begini belum pulang?" gumamnya pelan, hampir seperti doa.
Dia duduk di ambang pintu, memeluk lututnya. Bayangan kakaknya terjebak di kantor atau melakukan hal lain yang tak diketahui, membuat dadanya semakin sesak. Rasa gelisah itu merayap naik, merayap dalam setiap hela napas, hingga Salwa sadar, dia takkan bisa tidur sebelum tahu keadaan Wanda sebenarnya.
Salwa duduk terpaku di tepi tempat tidur kakaknya, matanya menatap kosong ke arah pintu kamar.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" bisiknya pelan, suara bergetar menahan rasa cemas yang terus membuncah.
Tangannya ragu-ragu menggenggam ponsel, ingin sekali menelpon Kak Wanda, tapi pikirannya penuh tanda tanya. Bagaimana kalau dia sedang dalam bahaya? Atau, apa dia harus menunggu dan cuma berdoa saja? Dia berdiri perlahan, melangkah ke pintu utama rumah.
Kunci di pintu itu terpasang dari luar, tanda Kak Wanda belum pulang. Tapi Salwa tahu dia masih punya kunci cadangan, yang tersembunyi rapi di saku jaket. Jantungnya berdegup kencang saat ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mencoba lagi menelpon kakaknya. Ponselnya berdering berulang kali, tapi yang terdengar hanya nada panggilan kosong. Wajah Salwa mengeras, bibirnya bergetar menahan air mata.
"Kak, tolong..." gumamnya lirih, menatap layar ponsel yang tak juga diangkat. Dalam kesunyian kamar itu, rasa takut dan bingung semakin menyesak di dadanya.
Salwa menatap jam dinding dengan mata mulai mengantuk. Sudah lewat pukul satu malam, tapi kak Wanda belum juga kelihatan.
"Kak Wanda, kamu udah tidur belum? Tapi tidur di mana, ya?" gumamnya pelan, suara hatinya dipenuhi tanya.
Rasa gelisah berbaur sama kantuk yang semakin mendesak. Akhirnya dia mengusap wajah dan melangkah pelan ke kamarnya sendiri.
“Kakak kan udah gede, pasti punya alasan sendiri,” pikirnya, berharap besok pagi bisa bertanya langsung saat kak Wanda sudah pulang.
"Besok, aku harus tanya, sebenernya kamu bermalam di mana sih, Kak?" bisiknya sebelum akhirnya matanya terpejam.
kau ini punya kekuatan super, yaaakk?!
keren, buku baru teroooss!!🤣💪