Tumbuh dewasa di bawah asuhan sebuah panti sosial, membuat Vanila berinisiatif untuk pergi keluar kota. Dengan bekal secarik kertas pengumuman lowongan kerja di salah satu usaha, yang bergerak di bidang cuci & gosok (Laundry).
Nahas, biaya di Kota yang cukup tinggi. Membuat Vanila mencari peruntungan di bidang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggika15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8 (IUD)
“Van!”
Fuji langsung bereaksi ketika menyadari keberadaan gadis itu, dia menatapnya khawatir. Namun, kepergian mobil sedan yang terlihat melalui kaca pembatas membuat raut wajah Fuji seketika berubah.
“Pagi mbak?”
Dengan senyuman manis Vanila menyapa sosok yang sudah ia anggap sebagai ibunya.
“Pak Irgi?”
Vanila menoleh ke arah luar, dimana mobil yang tadi mengantarnya sudah menghilang. Lantas kembali menatap Fuji, kemudian menganggukkan kepala.
“Aku jadi pembantu di rumah bosnya pak Irgi. Lumayan mbak, dikasih makan sama tempat tinggal gratis. Sementara gaji aku bakalan tetap utuh,” dengan senyum bahagia Vanila menjelaskan.
“Ga gratis, Van. Kamu bayar pake tenaga!”
“Di sini juga aku pake tenaga, tapi ga dapet makan sama tempat tinggal.”
“Iya juga ya?”
“Gajian bulan depan aku lunasin hutang aku sama mbak,” tutur Vanila.
“Di cicil saja, memangnya gaji kamu segede apa sampe mau lunasin hutang. Lagian mbak tuh ikhlas bantuin kamu, ada buat bayar sok, ga ada juga gapapa.”
“Kalo aku ga bayar kasian adek-adek aku, uang jajannya kepake. Mana ga di balikin nya lama banget lagi,” Vanila terkekeh.
“Jadi nanti kamu tidak kerja disini lagi?”
Vanila terdiam, dia bingung. Edgar tidak melarang sama sekali, tapi aneh saja. Masa pembantu bisa kerja di luar juga?
Yang ada mereka curiga nanti.
“Nggak, hehehe.”
“Padahal tidak usah minta kerjaan sama pak Irgi, tetap di sini saja. Urusan tempat tinggal bisa di rumah mbak dulu,” kata Fuji.
“Yang ada mbak repot, lagian nanti kalo aku di kasih izin kita bisa keluar bareng.”
“Repot apa sih!?”
Vanila menimpali jawaban Fuji dengan senyum samar.
“Aku simpan tas di loker dulu, mbak!” Vanila menepuk pundak wanita itu, kemudian melanda langkah ke arah belakang dimana loker-loker pekerja berada.
****
“Ci?”
Vanila memberanikan diri mendekati bosnya yang kini duduk di kursi meja kasih.
“Hum? Kenapa?”
“Hari ini saya izin pulang lebih awal,” Vanila berpamitan seraya merogoh tas miliknya dan mengeluarkan sesuatu dari sana.
“Sisa hutangnya,” Vanila meletakan amplop itu di atas meja, kemudian menggesernya.
Wanita yang akrab disapa ci Mey itu menatap amplop dan wajah Vanila bergantian. Ekspresinya terlihat aneh, sekaligus kebingungan dan bertanya-tanya.
“Dapat uang dari mana, lu?”
“Pinjaman dari calon bos.”
“Bos? Hebat bener dia udah mau kasih lu pinjam!”
Vanila menganggukkan kepala.
“Terus kerjaan lu disini gimana, Van?”
“Aku berhenti, ci. Maaf kalau selama kerja disini cici banyak dapet komplain,”
“Mau kerja apa, lu?” Ci Mey menatap Vanila curiga.
“Asisten rumah tangga.”
“Ohhh, pembantu.”
Vanila mengangguk lagi.
“Hutang saya lunas ya, ci. Makasih!”
Setelah mengatakan itu Vanila memutar tubuh, berjalan meninggalkan wanita yang mulai membuka amplop dan menghitung nominal uang yang Vanila berikan.
“Van serius, Van?”
“Ga ada pilihan. Aku udah ga sanggup bayar kost, … jadi kerja bantu-bantu kayaknya lebih baik deh.”
“Lah kita sama mbak Fuji mau di tinggal? Tega ih!”
“Kalo ada jatah libur, nanti aku main kesini sambil bawa martabak. Semangat ya guys!” Kata Vanila sambil memperlihatkan senyum riang.
Bukan tidak sedih, tapi jika tidak begitu maka tangis teman-temannya akan pecah. Jadi, senyuman adalah cara terbaik untuk membuat situasi agar tetap kondusif.
Terlihat, mobil sedan muncul dan berhenti di depan toko. Hal yang membuat Vanila segera memeluk semua rekannya satu-persatu, dan pergi.
“Sudah diberikan uangnya?”
Pertanyaan itu langsung Vanila terima saat dirinya baru saja membuka pintu.
“Sudah.”
“Apa katanya?”
Irgi memundurkan kendaraan roda empat milik bosnya, menatap kedua kaca spion dengan kedua tangan bergerak cepat memutar stir mobil. Sementara pandangan Vanila tertuju ke arah luar, menatap Fuji yang berdiri mengantar kepergiannya dengan mata berkaca-kaca.
“Ga ngomong apa-apa.”
“Parah!”
Irgi menekan klakson, di balas lambaian tangan oleh Fuji.
Irgi menoleh.
Dan mendapati Vanila yang sedang diam menatap lurus kedepan.
“Sombong banget ga pamitan sama temennya, padahal dia antar sampai keluar tadi.”
Vanila tidak menyahut, tampaknya perempuan itu sedang menahan sesuatu yang menyeruak di dalam dirinya.
“Ga udah nangis, kamu masih bisa kesana nanti.”
“Siapa yang nangis?”
“Dasar wanita, udah ketauan juga masih aja ngeles.”
Vanila merapat punggung pada sandaran kursi, lantas menoleh ke arah samping untuk menghindari pria yang kini duduk dibalik kemudi.
“Oh. Nanti malam kamu sama pak Edgar nikah, beliau sudah mengurus semuanya.”
“Ck!” Vanila tersenyum getir. “Kenapa orang-orang berduit itu suka semena-mena sih? Ga bisa apa ya baik hati aja gitu, kasih pinjam duit tanpa harus ada embel-embel gila kayak gini.”
“Di dunia ini ga ada yang gratis, Van.”
Vanila menoleh dan mengubah posisi duduknya.
“Ga gratis. Aku kan bayar nyicil nanti!”
Irgi menggaruk kepalanya yanh tiba-tiba terasa gatal.
“Pak Irgi udah jerumusin saya ke lubang dalem banget ini.”
“Yang penting lima ratus juta, Van. Bahkan gaji saya aja ga se fantastis itu loh! Padahal saya sudah 10 tahun sama beliau.”
“Selama itu ngapain aja? Pak Irgi bukan aspri pak Edgar ‘kan?”
“Ya itu ngurus rumahnya, … bukan asisten pribadi sih. Tapi kartu as pak Edgar ada di saya semua.”
“Keren sampe di kasih mobil mewah,” sindir Vanila.
“Ini masih mobil pak Edgar, saha cuma dikasih wewenangan memakainya saja kemanapun saat saya pergi,” terang Irgi.
Vanila menghela nafas.
“Jadi ke dokter kandung mau apa?”
“Lho, pasang kb. Ga mungkin pasang kawat gigi!”
“Maksudnya kb apa?”
Irgi terlihat berpikir sebentar, sampai keadaan menjadi cukup hening. Hanya suara gemuruh samar yang terdengar, juga klakson-klakson dari mobilitas sekitar.
“Yang ditanam itu namanya apa ya lupa!”
“Tanam?”
“Iya. Katanya kb paling aman itu!”
“Tanam di perut?”
“Hu'um.Tapi lebih tepatnya di dalam area pribadimu sih,” jelas Irgi.
Raut wajah Vanila langsung berubah. Matanya memicing tajam, alis melengkung dengan kening mengkerut hebat.
“GA MAU!” Dengan suara datar dan kencang Vanila menolak.
Dia menggelengkan kepalanya.
“Aku ga mau kalau sesuatu harus di tanam di dalam tubuh!” Tegas Vanila.
“Terus? Ini perintah pak Edgar Ngomong-ngomong. Kalau mau protes silahkan kamu saja sendiri, saya ga berani!”
“Ada banyak macam kb kenapa harus yang itu!?” Pekik Vanila.
“Baiklah.”
Irgi memutar setir ke kiri dan memberhentikan mobil di bahu jalan.
Pria itu mengambil ponselnya.
“Kamu yang ngomong!”
Tuuuuutttt, …
Vanila menerima handphone yang diberikan Irgi.
‘Ya, kenapa Irgi? Ada kendala?’
Saat mendengar suara itu, reflek Vanila menatap Irgi yang juga sedang menatapnya.
“Ngomong!” kata Irgi tanpa suara.
Vanila berdehem.
“Ini saya, pak.”
‘Oh hii girl. Kenapa sayang?’
Vanila meringis, mimik wajahnya memperlihatkan jika dia sedang merasa jijik.
‘Van? Kalian sudah di rumah sakit?’
“Saya ga mau pakai kb tanam!” Vanila tanpa basa-basi.
‘Kenapa? Pakai pengaman dari saja tidak cukup, harus double.’
“Ada banyak cara. Pill, atau suntik! Kenapa harus menaruh benda asing di tubuh saya!?”
‘Pill tidak aman, kemungkinan kamu lupa minum itu sangat besar.’
“Suntik aman, kebanyakan orang memakai ini.”
‘Oh ya?’
“Iya. Suntik rutin ada yang sebulan sampai tiga bulan sekali.”
‘IUD sekali pasang langsung lima tahun!’
“Saya ga mau tapi!!”
‘Ah terserah saja, pakai apapun asal jangan pill. Nanti kamu jebak saya dengan kehamilan itu!’
Vanila memutar kedua bola matanya.
Padahal tidak ada sedikitpun pikiran ke arah sana, tapi kenapa Edgar terus mengulangi kata-kata itu?
‘Cepat pergi temui dokter, ada satu lagi yang harus segera diselesaikan. Saya tidak bisa menunggu lebih—’
Belum selesai Edgar bicara, Vanila menekan tombol merah lebih dulu dan memberikan handphone kembali pada pemiliknya.
Irgi melongo, menatap Vanila tidak percaya.
“Kamu berani sekali!”
“Ya berani ga berani. Mumpung beliau lagi obses, manfaatin dulu!”
“Kamu ciut kalo liat dia marah nanti, jadi jangan coba-coba. Sudah, … turuti saja keinginan pak Edgar, terima lima ratus juta beserta bonusnya nanti. Lalu hidup bahagia.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Like, gift, komen & voteee cuyung, jangan lupa biar othor makin semangat 😍😍