Sebuah insiden kecil memaksa Teresia, CEO cantik umur 27 tahun, menikah dengan Arga, pemuda desa tampan umur 20 tahun, demi menutup aib. Pernikahan tanpa cinta ini penuh gengsi, luka, dan pengkhianatan. Saat Teresia kehilangan, barulah ia menyadari... cintanya telah pergi terlalu jauh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Helliosi Saja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 19
Malam itu, rumah keluarga adrian Dinata tampak hangat.Di meja makan, hidangan tersaji rapi, aromanya menggoda. Tere duduk di antara Papa Adrian dan Mama linda.
Papa Adrian meletakkan gelas air putihnya, menatap Tere dengan lembut namun penuh makna.
“Tere… kapan kamu rencananya mau nengok suamimu di kampung? Papa pikir sudah waktunya kamu ajak dia ke sini. Kita juga mau kenal lebih dekat, Nak.”
Tere terdiam sesaat, lalu menghela napas.
“Pa… aku… aku belum sempat. Lagian, aku juga nggak merasa benar-benar menikah sama dia. Pernikahan kami kan cuma dadakan, Pa… karena suatu insiden aja. Bukan karena kami saling cinta. Aku nggak lihat alasan kenapa harus ngajak dia ke sini…”
Mama linda berhenti menyuap, menatap Tere dengan sorot mata keibuan yang penuh sayang.
“Nak, menikah itu bukan perkara cinta semata. Kamu sudah menikah, dan sah di mata agama. Itu berarti kamu punya tanggung jawab. Jangan menilai pernikahanmu hanya dari cara ia dimulai…”
Papa Adrian mengangguk pelan, suaranya tegas tapi lembut.
“Kami tahu kamu masih menyimpan perasaan pada Rio. Tapi takdir berkata lain, Tere. Kalau Tuhan sudah atur begini, mungkin ada maksudnya. Jangan kamu abaikan begitu aja. Jangan sampai kamu menyesal karena mempermainkan pernikahanmu sendiri.”
Tere menggigit bibir, dadanya terasa sesak mendengar nasihat orangtuanya. Akhirnya ia menarik napas panjang, memberanikan diri bicara jujur.
“Sebetulnya… Arga nggak di kampung, Pa, Ma. Dia sudah di Jakarta. Dia kerja jadi pelayan café…”
Papa dan Mama saling berpandangan, sedikit terkejut mendengar pengakuan Tere.
Tere melanjutkan, nada suaranya pelan tapi penuh ganjalan.
“Lihat, Pa… Ma… aku CEO, aku punya segalanya. Sementara dia… dia cuma pelayan café. Gimana aku bisa jalanin pernikahan ini? Aku nggak ngerti…”
Mama menghela napas panjang, menatap Tere dalam-dalam.
“Nak, bukan itu yang utama. Papa dan Mama nggak lihat dia dari pekerjaannya. Kita lihat dulu hatinya. Jangan kamu menilai Arga dari penampilan luarnya aja…”
Papa Adrian menimpali, suaranya mulai mengeras sedikit, tegas penuh wibawa.
“Dengar baik-baik, Tere. Kamu nggak boleh mempermainkan pernikahanmu. Kalau memang dia sudah di Jakarta, kamu temui dia. Jangan cuma lihat status atau pekerjaan dia. Coba kamu beri dia kesempatan. Jangan biarkan gengsi menutupi hatimu sendiri.”
Tere menunduk. Hatinya berdebar tak karuan. Rasa bersalah, bingung, dan ragu bercampur jadi satu. Ia menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan, lebih untuk dirinya sendiri.
“Baik, Pa… Ma…”
Setelah makan malam selesai, Tere tak ingin berlama-lama di rumah. Ia segera mengambil kunci mobil, pamit pada kedua orangtuanya.
“Aku pergi sebentar, Ma, Pa…”
Tanpa banyak kata lagi, Tere mengemudi menuju café tempat Arga bekerja. Malam Jakarta yang temaram membuat hatinya makin gelisah. Sesampainya di café Aluna, ia memilih duduk di sudut, tak jauh dari pintu. Ia memesan secangkir kopi dan sepiring camilan ringan, menunggu sambil menatap kosong ke arah meja-meja lain. Dalam hatinya, ia tak tahu apakah yang ia lakukan ini benar, atau justru akan membuat hatinya makin bimbang.
Dan di balik itu semua, ia tahu… malam ini, semuanya akan mulai berubah.
Malam itu, café Aluna mulai sepi. Beberapa pelanggan sudah beranjak pulang. Lampu-lampu temaram menambah suasana hangat tapi juga menyisakan kesunyian. Arga sedang membersihkan meja ketika tanpa sengaja matanya menangkap sosok wanita yang duduk di sudut dekat pintu. Tere. Ia tampak anggun dengan balutan blouse sederhana berwarna krem dan celana panjang hitam. Rambutnya dibiarkan terurai, wajahnya teduh meski sedikit lelah.
Arga sempat tertegun, namun ia tak berani menaruh harapan. Di benaknya, mungkin Tere sedang menunggu seseorang, bukan dirinya.
Jaka yang dari tadi memperhatikan langsung menyikut lengan Arga, suaranya berbisik menggoda,
“Eh, Ga… tuh bini lo kayak lagi nunggu seseorang deh. Jangan-jangan nungguin lo tuh, suami dadakan yang ganteng ini…” ujarnya sambil cekikikan.
Arga cuma tersenyum tipis, menahan rasa kikuk.
“Ah, lo ada-ada aja, Jak…” katanya, pura-pura sibuk membereskan gelas.
Jaka menepuk punggung sahabatnya, makin jahil.
“Hampirin gih, siapa tau beneran dia kangen sama lo. Masa suami ditinggal begitu aja sama istri secantik itu…” godanya lagi.
Waktu terus berjalan. Pukul sepuluh malam, café mulai bersiap tutup. Para karyawan beres-beres sambil sesekali melirik ke arah Tere yang masih duduk manis di sana sambil memainkan ponsel nya. Mereka mulai bisik-bisik heran.
“Siapa sih cewek itu? Cantik banget, ngapain sendirian sampe café mau tutup…”
“Nunggu pacar kali… tapi kok keliatan galau ya…”
Arga menghela napas panjang. Tak enak rasanya membiarkan Tere terus duduk sendiri. Akhirnya ia memberanikan diri melangkah mendekat. Setiap langkah terasa berat, seolah bumi menahannya untuk tetap di tempat. Tapi, tekadnya lebih kuat.
“mba Tere…” sapanya pelan.
Tere menoleh, menatap Arga. Hatinya sempat berdesir melihat suaminya itu lebih dekat. Senyumnya masih sama, sederhana dan tulus.
“Arga… aku… aku mau ngomong sesuatu,” ucap Tere tanpa basa-basi.
Arga terdiam sejenak, jantungnya berdebar. Ada harapan kecil di hatinya, namun segera padam ketika mendengar kalimat Tere berikutnya.
“Aku ke sini karena disuruh Papa Mama. Mereka mau kamu datang ke rumah. Aku… aku nggak enak kalau ngecewain mereka…”
Arga menelan ludah, mencoba menyembunyikan rasa kecewanya. Dalam hatinya, ia sempat berharap Tere datang karena ingin bertemu, bukan sekadar menjalankan titah orangtua.
Tere menatap Arga, suaranya merendah.
“Aku minta tolong ya, jangan buat Papa Mama kecewa. Ikut aku pulang malam ini…”
Arga tersenyum tipis, menunduk.
“Baik, kalau itu maumu mba…”
Ia pun menoleh ke arah Jaka yang sedang membereskan meja kasir lalu menghampiri nya.
“Jak… gue nggak ikut pulang ke kos, ya. Ntar lo hati-hati.”
Jaka mengangkat alis, tersenyum penuh arti.
“Oalah… yaudah, bro. Selamat ya, akhirnya bini lo nyamperin juga. Gua pulang bareng Faris aja…”
Para teman mereka di café makin bingung. Mereka bisik-bisik, tak percaya melihat Arga berjalan keluar bersama perempuan secantik Tere.
“Eh itu siapa sih cewek cakep itu? Masa kenal sama Arga?”
“Pacarnya ya? Tapi kok Arga nggak pernah cerita…”
Siska yang merasa suka sama arga, melihat itu hati nya sakit. Dia merasa cemburu, tapi tidak berani untuk bertanya lansung ke pada arga.
Hanya Jaka yang tersenyum-senyum sendiri, diam menyimpan rahasia besar sahabatnya.
Malam itu, Arga dan Tere berjalan keluar café. Langkah mereka seirama, meski hati mereka masih penuh tanda tanya. Dan di balik langit Jakarta yang gelap, mungkin takdir sedang menulis cerita baru untuk mereka.