NovelToon NovelToon
THE VEIL OF AEDHIRA

THE VEIL OF AEDHIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:360
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah fahra

Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.

Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.

Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 RAHASIA DI BALIK KABUT

 Rahasia di Balik Kabut

Lyra bangun dengan rambut acak-acakan, mata setengah merem, dan rasa haus seperti habis minum tiga ember garam semalam.

“Kaelen…?” gumamnya sambil ngeloyor keluar kamar, masih pakai baju lusuh penuh noda debu tempur kemarin. “Lo nyimpen air di mana sih?”

Dia gak nyangka bakal disambut pemandangan Kaelen yang lagi duduk bersila di meja dapur… sambil pakai masker lumpur dan irisan buah aneh di matanya.

“Lu ngapain?” tanya Lyra, antara pengin ketawa dan khawatir.

Kaelen membuka sebelah mata. “Self care, bestie. Dunia mau kiamat bukan alasan muka gue jadi breakout.”

Lyra cuma geleng-geleng. Tapi jujur, itu momen lucu pertama sejak semalam. Dan dia butuh itu.

Tapi kesegaran pagi gak bertahan lama.

Begitu Lyra keluar, dia menemukan Arven sedang berdiri dengan ekspresi kaku di depan markas. Di tangannya, selembar gulungan tua yang baru dikirim oleh para penjaga Pilar dari utara.

Isinya? Nama Lyra. Dicetak dengan tinta merah. Di bawahnya: “Keturunan Kabut Perak. Dicari oleh Dewan Tertinggi.”

“Oh great,” keluh Lyra. “Sekarang gue buronan di dua dunia.”

Lyra berdiri di depan markas kecil mereka sambil menatap gulungan itu. Namanya tertera jelas. Merah darah. Dengan simbol mata bersayap dan stempel lilin hitam yang udah keburu bikin jantungnya drop duluan.

“‘Dicari oleh Dewan Tertinggi’? Gila, ini kayak poster buronan versi fantasi,” gumamnya, setengah panik, setengah pasrah.

Arven mengangguk pelan. “Itu bukan poster sembarangan. Kalau nama lo udah masuk daftar mereka, artinya... ya, game on.”

“Game on apanya? Gue bahkan belum tahu peraturan gamenya.”

Kaelen muncul dari balik pintu, sekarang udah bersih dari masker lumpur dan siap tempur. “Tenang, kita semua ikut main, kok. Lu nggak bakal sendirian.”

Lyra menghembuskan napas keras. “Oke. Jadi sekarang gue secara resmi dikejar-kejar oleh Dewan Tertinggi Aedhira, yang... siapa sih mereka sebenernya?”

Kaelen mengambil gulungan itu dan menjatuhkannya ke atas meja. “Dewan itu kumpulan bangsawan dan penyihir tua yang mikir mereka tahu segalanya. Mereka mengatur sihir, jalur perdagangan, bahkan ritual tahunan buat narik hujan.”

“Serius, ritual narik hujan?” tanya Lyra, setengah tak percaya.

“Yap. Tahun lalu gagal, jadi turun salju.”

Arven duduk dan mulai menjelaskan dengan lebih serius, “Dewan Tertinggi juga yang menjaga rahasia besar soal Aedhira. Mereka punya akses ke Arsip Tertutup — tempat semua naskah, ramalan, dan kutukan kuno disimpan. Kalau mereka nyari kamu, berarti mereka tahu sesuatu yang kita belum tahu.”

Lyra menggosok wajahnya. “Great. Jadi gue bukan cuma bagian dari ramalan, tapi juga bahan skripsi di perpustakaan rahasia dunia sihir.”

Kaelen tertawa. “Ya ampun, kalau gitu jangan lupa kutip nama lo di footnote.”

 

Malamnya, Lyra duduk sendirian di luar, menatap langit Aedhira yang dipenuhi bintang-bintang aneh berbentuk spiral, garis, bahkan ada satu yang kayak ikon ‘loading’ di browser.

Angin dingin menerpa wajahnya, tapi pikirannya lebih dingin lagi.

Arven muncul membawa dua gelas teh herbal yang katanya bisa bikin orang tidur nyenyak. Jujur, baunya kayak campuran rumput basah dan kayu bakar.

“Gue tahu rasanya overwhelming,” kata Arven pelan. “Waktu pertama kali tahu darah gue bisa manggil iblis air, gue juga pengin kabur ke gunung.”

Lyra melirik, nahan ketawa. “Iblis air?”

“Iya. Namanya Vo'rash. Dia sensitif sama nada tinggi. Pernah gue nyanyi lagu kampung, dia langsung mogok muncul seminggu.”

Lyra nyengir. “Berarti kita harus duet. Gue pernah bikin satu desa pingsan gara-gara nyanyi.”

Mereka tertawa kecil bersama.

Tapi kemudian suasana jadi hening. Serius.

“Lo tahu, Lyra,” Arven menatapnya dalam. “Ada alasan kenapa lo bisa buka gerbang ke Aedhira. Kenapa lo satu-satunya yang bisa keluarkan kabut perak. Dunia ini nggak milih sembarang orang.”

“Lo ngomong kayak... kayak dunia ini punya otak.”

Arven mengangguk. “Kadang, gue rasa memang begitu.”

Lyra menatap bintang spiral di atas mereka. “Kalau gitu... kenapa gue? Gue cuma cewek biasa dari desa kecil yang bahkan nggak pernah lulus akademi sihir.”

“Karena lo bukan ‘cuma’. Lo itu kunci. Dan kunci nggak harus ngerti dulu kenapa dia dibuat. Dia cuma harus tahu kapan dan di mana dia dibutuhkan.”

 

Keesokan paginya, mereka bersiap untuk perjalanan ke Menara Arkais, tempat satu-satunya orang yang mungkin bisa menjelaskan asal-usul kabut perak: seorang penyihir tua bernama Il’Naem, yang katanya hidup setengah abadi karena dikutuk jadi penjaga rahasia.

“Dia agak... nyentrik,” kata Kaelen saat mereka menaiki tunggangan mirip kuda tapi punya ekor api.

“Nyentrik gimana?” tanya Lyra sambil mencoba menyeimbangkan diri di pelana.

“Kalau lo nginjak karpet di ruangannya tanpa izin, dia bisa sulap rambut lo jadi tali jemuran.”

“Noted. Jangan nginjek karpet.”

Perjalanan menuju Menara Arkais butuh dua hari, dan medan yang mereka lewati seperti diambil langsung dari gabungan mimpi buruk dan dongeng aneh — hutan yang berbisik, danau yang membeku dari dalam ke luar, serta gerombolan kelinci berarmor yang mencoba merampok mereka (dan itu nggak bohong).

“Kelinci pake armor, men,” Kaelen masih ngakak saat mereka berhasil kabur. “Aedhira emang nggak punya standar normal.”

Hari kedua perjalanan ke Menara Arkais dimulai dengan cara yang... nggak bisa dibilang normal.

Lyra terbangun karena suara jeritan Kaelen, yang ternyata panik karena seekor burung ungu sebesar kambing numpang duduk di atas perapian.

“Itu burung! Itu burung, Lyra! DIA NGANCAM SARAPAN KITA!” teriaknya sambil menunjuk hewan itu, yang tampaknya lebih tertarik pada kentang bakar daripada jiwa manusia.

Lyra menatapnya malas. “Kaelen, burung itu literally lagi makan kentang. Bukan nyawa kita.”

“Ya tapi... dia ngilerin termos gue!”

Akhirnya Arven keluar dari tenda, rambut acak-acakan, mata masih ngantuk. Dia melihat burung itu sebentar, lalu... bersiul.

Burung ungu itu langsung terbang, meninggalkan sejumput bulu bercahaya dan—percaya atau nggak—sendok perak kecil di tanah.

Lyra mengedip. “Dia... kasih kita sendok?”

“Dia spesies kuno penjaga hutan, simbol perdamaian,” jelas Arven, mengambil sendoknya.

Kaelen memandangi sendok itu dengan serius. “Gue harap dia tahu gue dendam karena dia makan semua kentang.”

 

Menjelang sore, kabut mulai turun. Aneh, karena langit masih cerah. Tapi kabut ini bukan kabut biasa — dia muncul dari tanah, padat, dan... berbisik?

Lyra berhenti di tengah jalan. “Denger gak? Ada yang ngomong.”

Kaelen menegang. “Itu kabut roh. Biasanya muncul di sekitar tempat yang menyimpan rahasia tua.”

“Bagus. Karena kita lagi jalan ke menara tempat penyihir tua dikutuk buat jaga rahasia.”

Arven mengangkat tangannya. “Kita jangan ngomong sembarangan. Kabut ini... suka ngintip isi kepala orang.”

Lyra spontan diam. Tapi justru karena diam, dia malah dengar lebih jelas.

“…darahmu… membuka… kunci…”

“…menara… tahu siapa kau…”

“…kabut… perak… warisan terlarang…”

Lyra berpegangan pada sabuk pelana. Kepalanya berdenyut. Kata-kata itu terasa seperti tusukan.

“Apa kabut ini bisa bohong?” tanya Lyra, suara pelan.

“Bisa,” jawab Arven. “Tapi biasanya, dia cuma menyampaikan apa yang udah ada di dalam diri kita. Pikiran tersembunyi. Ketakutan. Harapan.”

Kaelen nyengir. “Jadi kalau kabut itu bilang gue jomblo akut, berarti emang gue insecure soal itu?”

“Lebih ke... kamu butuh pelukan,” jawab Lyra sambil tertawa kecil.

 

Akhirnya, ketika matahari tenggelam, mereka sampai di depan Menara Arkais.

Menara itu tinggi, gelap, dan terlihat seperti dibuat dari tulang naga dan kaca retak. Setiap jendela berbentuk mata, dan salah satu jendela... berkedip.

“Gue benci tempat ini,” gumam Kaelen.

Lyra menatap tangga spiral yang menjulur ke atas menara. “Gue mulai curiga tempat ini nggak punya lift.”

“Selamat datang di Aedhira. Di mana teknologi mati karena sihir terlalu egois,” kata Kaelen.

Saat mereka menaiki tangga, udara makin dingin dan cahaya makin redup. Lyra merasa seolah ia diawasi — bukan oleh sesuatu di luar, tapi oleh bangunan itu sendiri.

Akhirnya, mereka tiba di pintu kayu hitam dengan simbol pusaran kabut.

Arven mengetuk tiga kali. Lalu hening.

Lalu… pintu terbuka sendiri. Berderit pelan. Dan suara dari dalam menyambut mereka.

“Masuklah, Pewaris Kabut. Il’Naem sudah menunggumu.”

Lyra menelan ludah. “Oke. Itu... nggak menyeramkan sama sekali.”

 

Di dalam, ruangan itu dipenuhi buku-buku mengambang, tinta yang menulis sendiri di udara, dan meja-meja yang bergerak setiap kali seseorang terlalu dekat.

Di tengah ruangan, duduklah Il’Naem — pria tua dengan jubah lusuh, rambut putih panjang sampai ke lantai, dan mata yang seperti... tahu terlalu banyak.

“Kau datang terlambat,” katanya datar.

“Gue bahkan nggak tahu gue diundang,” jawab Lyra, mencoba terdengar berani.

Il’Naem mengangguk pelan. “Kau membawa kabut itu dalam darahmu. Warisan dari mereka yang telah dikubur sejarah.”

“Siapa ‘mereka’ itu?”

Il’Naem berdiri. Bayangannya memanjang seperti terbuat dari asap. “Mereka yang pertama kali membuka gerbang antara dunia. Mereka yang menguasai kabut untuk menyembunyikan, melindungi… dan membunuh.”

Lyra membeku. “Jadi… gue punya darah pembunuh?”

“Tidak,” jawab Il’Naem. “Kau punya darah penjaga. Tapi kabut... tidak bisa dibentuk tanpa tujuan. Dan dunia ini… sedang kehilangan arah.”

Lyra berdiri diam, berusaha mencerna kalimat terakhir Il’Naem. “Kau punya darah penjaga. Tapi kabut… tidak bisa dibentuk tanpa tujuan.”

Apa maksudnya? Apakah dia ditakdirkan untuk sesuatu yang lebih besar… atau sekadar alat untuk agenda orang lain?

“Tujuan apa?” tanya Lyra, akhirnya berani membuka suara. “Kalau gue pewaris atau apalah itu, seharusnya gue tahu dong.”

Il’Naem melangkah pelan menuju rak buku, tangannya menyentuh satu gulungan tua yang langsung bersinar. “Tujuan tidak ditentukan oleh darah. Ia ditentukan oleh pilihan. Tapi darahmu... memberi kemampuan untuk melihat apa yang tersembunyi oleh dunia ini.”

Kaelen yang dari tadi berdiri di belakang Lyra, berbisik, “Oke, makin serem nih. Lyra, lo yakin nggak mau kabur balik ke hutan aja?”

Lyra memutar bola matanya. “Sedikit telat buat nyesel, ya?”

Il’Naem menatap Kaelen dengan senyum kecil. “Yang bersamamu ini, tidak hanya pembawa lelucon. Ia juga pembawa cahaya.”

Kaelen terdiam, wajahnya bingung antara tersanjung atau panik.

Arven maju satu langkah. “Apa yang bisa dilakukan Lyra? Maksudku, pewaris kabut itu nyata, oke. Tapi kenapa semua pihak kayaknya heboh banget karena dia ada di sini?”

Il’Naem membuka gulungan itu. Di dalamnya tergambar lambang aneh: pusaran kabut di dalam matahari patah.

“Karena jika dia jatuh ke tangan yang salah,” katanya, “kabut tak hanya menyembunyikan… ia bisa memakan dunia.”

 

Lyra menatap simbol itu lama. Ada sesuatu dalam gambar itu yang mengguncang perutnya. Seolah... ingatan lama yang belum sempat terbentuk.

“Simbol itu… kenapa familiar?”

Il’Naem mengangguk. “Karena ingatanmu dikunci saat kau masih bayi. Kau bukan dari dunia ini, Lyra. Tapi kau juga bukan dari luar.”

Lyra tercengang. “Gue... bukan manusia?”

“Kau adalah jembatan. Setengah darah Aedhira. Setengah darah Dunia Atas.”

Kaelen melongo. “Gue tahu! Gue pernah bilang dia beda, kan?! Lo tuh kayak... nasi goreng pake keju. Aneh tapi unik.”

“Terima kasih, Kaelen,” gumam Lyra sambil menepuk dahinya sendiri.

 

Il’Naem membalik halaman gulungan dan menunjukkan sebuah peta yang hanya bisa dilihat ketika Lyra menyentuhnya.

“Tempat ini,” katanya sambil menunjuk danau dalam kabut. “Di sinilah Warisan Kabut disegel. Tapi tak seorang pun bisa melihatnya kecuali pemilik darah.”

Lyra menelan ludah. “Lo nyuruh gue ke sana?”

“Tidak,” jawabnya. “Aku menyuruhmu memilih.”

Lyra menatap peta yang kini menyala dalam sentuhan tangannya. Rasanya... benar. Tapi juga menakutkan.

“Apa yang terjadi kalau gue nolak?”

Il’Naem menatapnya serius. “Orang lain akan mencoba mengambil kekuatan itu. Dan mereka... tidak akan menggunakannya untuk melindungi.”

Sebuah guncangan mendadak membuat seluruh ruangan bergetar. Buku-buku beterbangan, gulungan terlempar dari rak, dan meja hampir terbalik.

Arven menarik pedangnya. “Apa itu?!”

Il’Naem menggeleng, wajahnya pucat. “Mereka datang lebih cepat dari yang kuduga.”

Lyra berdiri. “Mereka siapa?”

“Bayangan dari Barat,” gumam Il’Naem. “Pasukan Raja Kelam. Mereka sudah mencium kabut dalam darahmu.”

Kaelen memelototi jendela. “Bro, nggak bisa nggak serem dikit ya? Serius. Kita bisa ketemu musuh yang rada... nyantai dikit gitu?”

 

Di luar menara, langit berubah merah tua. Kabut membentuk tangan-tangan raksasa yang mencengkeram pepohonan. Suara teriakan—entah manusia atau bukan—menggema dari kejauhan.

Arven bergerak cepat. “Kita harus pergi sekarang.”

“Tunggu!” Il’Naem mengangkat tangannya dan menciptakan sebuah kristal bercahaya biru. Ia menyerahkannya pada Lyra.

“Ini akan membimbingmu ke danau. Tapi hanya akan bekerja jika hatimu yakin.”

Lyra menggenggam kristal itu. “Bagaimana dengan lo?”

Il’Naem tersenyum kecil. “Aku sudah cukup lama hidup. Lagipula, seseorang harus menahan mereka agar kalian bisa pergi.”

Kaelen menatap pria tua itu, lalu menyentuh bahunya. “Kakek, lo keren banget. Jangan mati cepet-cepet ya.”

“Aku akan mencoba.”

 

Mereka melesat keluar dari Menara Arkais, melewati lorong-lorong yang kini dipenuhi bayangan yang mencoba meraih mereka. Beberapa berbisik nama Lyra—tapi dengan suara yang seolah berasal dari mulut dunia lain.

“LYRA… DARAH KAMI… DARAHMU…”

Kaelen mengayunkan pedangnya ke bayangan yang terlalu dekat. “Gue sumpah, ini kayak mimpi buruk pas gue abis makan rendang basi.”

Saat mereka keluar dari menara, Lyra melihat langit telah dipenuhi awan hitam, dan sesosok raksasa berjubah bayangan berdiri di puncak bukit, memandang langsung ke arahnya.

Arven menggertakkan gigi. “Itu… bukan sekadar prajurit. Itu tangan kanan Raja Kelam.”

Lyra merapatkan genggaman pada kristal biru di tangannya. Di dadanya, sesuatu terasa bergolak. Takut? Iya. Tapi ada juga… keberanian.

Untuk pertama kalinya, dia merasa ini bukan lagi pelarian.

Ini awal dari pertempuran.

Angin di luar menara menusuk seperti duri. Langit yang tadinya kelabu kini berubah ungu tua—warna yang nggak pernah muncul di dunia normal. Dunia ini, Aedhira, jelas bukan tempat buat yang lemah hati.

“Cepat!” seru Arven, menarik Lyra turun melalui jalur batu yang melingkar di sisi tebing.

Di belakang mereka, bayangan-bayangan mengejar tanpa suara. Kayak kabut hidup, tapi lebih... jahat. Dan jelas nggak ada tombol pause.

“Gue nggak ngerti,” kata Lyra sambil berlari. “Gue bahkan belum tahu cara make kekuatan kabut ini, tapi mereka semua udah ngincer gue kayak gue semacam tokoh utama dalam drama kehidupan mereka.”

Kaelen tertawa pendek di belakangnya. “Well, technically, lo emang tokoh utama di hidup lo. Cuma... ini levelnya udah kayak season akhir.”

Mereka mencapai tanah datar di bawah menara. Di sana, seekor makhluk mirip rusa—tapi bersayap dan matanya bercahaya biru—menunggu. Itu Zevran, tunggangan penjaga.

“Naik,” kata Arven, loncat ke punggung makhluk itu dengan lincah banget, seolah udah biasa numpang hewan mitologi.

Lyra ragu-ragu. “Eh, gue takut jatuh. Gue belum pernah naik beginian. Di dunia gue, gue naik motor aja masih belajar.”

Kaelen menepuk pundaknya. “Tenang. Kalo jatuh, kita jatuh bareng. Jadi nggak sendirian.”

“Ngomong gitu kok nggak bikin tenang, ya?” gumam Lyra, tapi akhirnya naik juga.

Begitu semua duduk, Zevran langsung mengangkasa. Angin menampar wajah mereka, tapi entah kenapa pemandangan di bawah masih sempat bikin Lyra terdiam—hutan-hutan berkabut, danau yang memantulkan cahaya ungu, serta… pasukan bayangan yang terus merambat dari barat.

“Berapa lama lagi kita harus kabur kayak gini?” tanya Lyra.

Arven menatap ke arah utara. “Sampai kita tiba di danau. Di sana, kau akan tahu siapa dirimu sebenarnya.”

“Gue pikir gue udah tahu siapa gue,” jawab Lyra lirih. “Gue cuma gadis dari dunia lain yang dituduh hal aneh dan terjebak di dunia mistis. Simpel.”

“Tapi dunia ini nggak percaya hal simpel,” balas Kaelen.

 

Perjalanan mereka berlangsung cepat, tapi juga penuh rintangan. Makhluk-makhluk udara mencoba menjatuhkan mereka, dan kabut jahat sempat membekukan sayap Zevran sebentar. Tapi dengan kekuatan gabungan mereka (dan sedikit keberuntungan), mereka berhasil mendekati tempat yang disebut Arven: Danau Embun Malam.

Itu bukan danau biasa. Airnya berkilau dalam cahaya redup, memantulkan bintang meskipun langit mendung. Di tengah danau, berdiri sebuah altar kecil dari batu hitam yang tampak kuno dan… penuh aura.

Zevran mendarat dengan mulus di tepian. Arven turun lebih dulu, membantu Lyra.

“Ke sana,” katanya, menunjuk altar itu. “Kristalmu akan membawamu ke inti warisanmu.”

Lyra menggenggam kristal biru yang kini bersinar lebih terang. Ia melangkah ke dalam air… tapi anehnya, airnya membelah, seolah dunia tahu ia tak boleh basah.

Kaelen berseru dari belakang, “Oke, itu keren. Gue nggak iri sih... cuma, ya... sedikit.”

Langkah demi langkah, Lyra sampai di altar. Di sana, ada cermin. Tapi bukan cermin biasa. Permukaannya bukan pantulan dirinya, melainkan gambar-gambar yang muncul dan menghilang—seperti rekaman masa lalu yang rusak.

Dia menyentuh permukaan cermin.

Dan tiba-tiba... BLINK.

Dunia menghilang.

 

Ia berada di tempat lain. Di aula istana dengan dinding kaca, langit-langit tinggi, dan cahaya ungu pekat di luar jendela. Di hadapannya, berdiri dua sosok: seorang wanita berambut perak dan seorang pria bermata hitam yang menyala.

“Aku akan menyembunyikan dia di dunia atas,” kata si wanita.

“Dan aku akan membekukan kemampuannya,” sahut si pria. “Jika tidak, Raja Kelam akan menemukannya sebelum ia siap.”

“Aku hanya berharap dia memaafkan kita suatu hari nanti,” gumam si wanita.

“Aku yakin… dia akan membenci kita,” balas si pria.

Lyra ternganga. Mereka bicara tentang dia. Dia.

Suara dari balik layar berkata, “Bangunlah, Lyra. Warisanmu... telah menunggu terlalu lama.”

BZZZT—Dunia runtuh lagi.

 

Ia terjatuh kembali ke altar, napasnya memburu. Kristal biru di tangannya kini retak, tapi dari dalamnya, cahaya mulai menyelimuti tubuhnya. Bukan hanya warna biru, tapi juga ungu dan perak—campuran dari dua dunia.

Arven membelalakkan mata. “Dia... dia membangkitkannya.”

Kaelen tersenyum, walau sedikit bingung. “Lo keliatan kayak lampu disko, Lyra. Tapi keren.”

Dari balik kabut, suara tawa dingin terdengar.

“Akhirnya… warisan bangkit. Dan saat ia jatuh, aku akan merebutnya.”

Seseorang melangkah dari balik kabut.

Pakaian hitam. Rambut abu-abu panjang. Mata seperti lubang neraka.

Raja Kelam.

Dan Lyra... baru saja jadi target utama dunia.

1
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
kau terasing di dunia nyata
tapi kau di harapkan di dunia edheira
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!