Di antara pertemuan yang tidak disengaja dan percakapan yang tampak sepele, terselip rasa yang perlahan tumbuh. Arpani Zahra Ramadhani dan Fathir Alfarizi Mahendra dipertemukan dalam takdir yang rumit. Dalam balutan nilai-nilai Islami, keduanya harus menavigasi perasaan yang muncul tanpa melanggar batasan agama. Bersama konflik batin, rahasia yang tersembunyi, dan perbedaan pandangan hidup, mereka belajar bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang kesabaran, keikhlasan, dan keimanan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lautt_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Doa dan Harapan
Ada saatnya hati harus memilih — antara terus berharap atau sepenuhnya menyerahkan segalanya kepada Allah."
Pertemuan yang Tertunda
Hari itu, hujan turun dengan deras di kota Malang. Di dalam kamar sederhana pondok pesantren Al-Furqan, Fathir Alfarizi Mahendra duduk di dekat jendela, memandangi bulir hujan yang menetes perlahan. Hatinya masih berat setelah percakapan terakhir dengan Arpani Zahra Ramadhani beberapa malam lalu.
Mereka saling mengakui perasaan yang tumbuh, tapi juga sepakat untuk menjaga jarak dan saling mendoakan. Namun, jauh di lubuk hatinya, Fathir tak bisa membohongi diri sendiri. Rasa rindu itu tetap ada, sekuat apapun ia berusaha mengendalikannya.
Irwansyah Pratama masuk ke kamar dengan membawa dua cangkir kopi. Ia melihat Fathir termenung, lalu duduk di sebelahnya.
“Masih kepikiran dia?” tanya Irwansyah sambil menyerahkan kopi.
Fathir tersenyum kecil. “Iya… Kadang aku mikir, apa aku terlalu keras sama diri sendiri?”
Irwansyah mengangguk bijak. “Perasaan itu fitrah, bro. Tapi yang bikin beda itu gimana cara kita ngejaganya.”
Fathir menghela napas. “Kadang aku pengen banget ketemu dia lagi. Tapi aku juga takut perasaan ini makin besar.”
Irwansyah menepuk pundaknya. “Kalau memang Allah mau mempertemukan kalian, Dia pasti kasih jalan. Tapi lo harus siap sama hasilnya, apapun itu.”
Kata-kata Irwansyah membuat Fathir merenung lebih dalam. Ia sadar, semua tentang menyerahkan hati sepenuhnya kepada Allah — antara harapan dan keikhlasan.
Di Rumah Arpa
Sementara itu, Arpa duduk di kamarnya, membolak-balik halaman jurnal pribadinya. Di sana, ia sering menulis doa-doa dan puisi sederhana. Satu halaman membuatnya terdiam cukup lama.
“Jika dia takdirku, kuatkan kami menjaga hati ini. Tapi jika bukan, hapus rasa ini perlahan tanpa menyakiti.”
Ia menarik napas dalam-dalam. Setelah percakapan terakhir dengan Fathir, hatinya lebih tenang, tapi bukan berarti rasa itu hilang sepenuhnya. Ia rindu, tapi ia juga takut jika rasa itu menjadi beban.
Nayla Azzahra tiba-tiba menelepon.
“Assalamualaikum, Arpa!” suara Nayla yang ceria langsung terdengar.
“Waalaikumsalam, Nay. Ada apa?”
“Cuma mau nanya kabar. Kamu kelihatan beda banget akhir-akhir ini,” tanya Nayla penasaran.
Arpa tersenyum tipis. “Aku baik kok. Cuma… lagi belajar ikhlas.”
Nayla terdiam sejenak sebelum bicara, kali ini dengan nada lembut. “Ikhlas soal Fathir, ya?”
Arpa mengangguk, meski Nayla tak bisa melihatnya. “Iya. Kami sepakat buat saling menjaga hati. Tapi jujur, Nay… susah banget.”
Nayla tertawa kecil. “Namanya juga perasaan. Tapi aku salut sama kamu dan Fathir. Kalian saling jaga walau suka.”
Arpa tersenyum haru. “Doain ya, Nay. Aku cuma pengen hati ini tetap bersih.”
“Pasti. Aku yakin kalau memang dia jodohmu, Allah nggak akan memisahkan kalian.”
Sebuah Kabar Tak Terduga
Keesokan harinya, saat Arpa sedang mengajar mengaji anak-anak di teras rumahnya, ibunya, Siti Rahmawati, keluar dari dalam rumah dengan wajah sedikit cemas.
“Arpa, tadi ibu ditelepon Tante Rani. Kamu ingat sepupumu, Rafa?”
Arpa mengangguk. “Iya, kenapa Bu?”
“Ia bilang ada acara pengajian keluarga besar minggu depan di Malang. Semua diminta hadir.”
Arpa mengerutkan kening. Ia belum pernah ikut pengajian keluarga besar di Malang sebelumnya. “Iya, Bu. Kita pergi?”
Bu Rahma tersenyum. “Iya, kita berangkat. Siapa tahu ada hikmah dari acara itu.”
Arpa mengangguk setuju, tapi hatinya berdebar aneh. Malang... kota tempat Fathir kuliah dan nyantri.
Di tempat lain, Fathir juga mendapatkan kabar dari Ustadz Abdul Muhaimin bahwa pondok akan mengadakan pengajian terbuka minggu depan, mengundang keluarga dan alumni.
Tanpa alasan yang jelas, hatinya ikut berdebar.
Di waktu yang hampir bersamaan, Arpa dan Fathir duduk di tempat masing-masing, menatap langit malam yang dipenuhi bintang.
Arpa menggenggam tasbih kecil di tangannya, berbisik lirih,
"Ya Allah, aku pasrahkan semuanya. Jika ada pertemuan yang Kau rencanakan, biarlah terjadi dalam ridho-Mu."
Sementara itu, Fathir melafalkan doa serupa,
"Jika ini jalan-Mu, kuatkan hatiku. Tapi jika tidak, jauhkan aku dari rasa yang salah."
Malam itu, dua hati yang saling menjaga kembali terhubung dalam doa — menanti jawaban dari takdir yang telah digariskan oleh Sang Pemilik Hati.
“Terkadang, jawaban dari doa bukan tentang mendapatkan apa yang kita minta, tapi tentang dipertemukan di waktu yang paling tepat.”