Selama ini, Rambo mengutuk diri dalam kehidupan nikah paksa yang terjadi antaranya bersama Erin 3 bulan belakang. Sayang, tak ada ruang untuk Erin dalam kehidupan Rambo yang masih memendam cinta lama.
Hingga semua berubah ketika waktu mempertemukannya kembali dengan sang pujaan hati di masa lalu, Marwah.
Dipertemukan kembali dalam keadaan yang sama-sama telah menikah, Rambo yang tak bisa menahan rasa cintanya pada Marwah, akhirnya terjebak dalam konflik terlarang dalam kehidupan rumah tangganya. Dengan ancaman yang semakin banyak, terutama pada Marwah yang sering mendapat kekerasan dari suaminya, juga Erin yang tak mau melepaskan Rambo, mampukah Rambo melindungi wanita yang dicintainya... Atau haruskah ia menerima hidup bersama Erin selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 08 - Latar Belakang Pernikahan yang Jahat
"Kamu benar, Om. Aku bohong tapi tidak semua." Ucap Marwah sambil menyeka air matanya. "Tadi ku katakan hidup di jalanan itu keras. Aku pontang-panting banting tulang di trotoar, bukan itu saja aku kerja apa pun hanya agar bisa bertahan hidup. Sampai aku dicurangi, aku tak tahu apa yang terjadi, tiba-tiba aku bangun buka mata ada di rumah orang lain, asing. Ya, itu rumah yang aku dan suami tempati sekarang."
Isakan yang keluar dari mulut Marwah, membuat Rambo hancur ke dalam-dalam. Sakitnya lebih sakit dari kisah hidupnya sendiri saat terpaksa harus menikahi Erin. Marwah terlalu berharga, begitu juga air matanya.
"Tak apa," Jawab Rambo menguatkan. "Katakan lebih tenang, aku di sini. Tapi kalau memang tak sanggup, tak usah dipaksakan. Aku akan tunggu kapan pun kamu siap."
"Tidak Om, harus ku ceritakan sekarang. Biar kepalang lebar dan tuntas." Marwah kembali menjelaskan, dan Rambo mengangguk setuju. "Aku sungguh tak tahu apa yang terjadi, malam itu aku cuma kerja jual tisu, tiba-tiba bangun sudah di rumah dia. Dia bilang rasaku enak, seakan dia telah menodai ku waktu itu. Aku sungguh gila saat itu Om, aku merasa kotor, perempuan murahan, hidupku hancur. Merasa tak pantas untuk hidup! aku disekap, disakiti, sampai berbulan-bulan... hingga dia memaksa ku untuk menikah, aku benar-benar sudah hilang arah dan pegangan hidup. Seperti manusia tanpa arwah, hanya ikuti saja alur yang dia buat."
"Brengsek!" Rambo berkata keras-keras. Sambil memukul meja beton tempat masak. "Memang minta dihabisi! kenapa kamu tidak minta cerai?!"
"Aku takut hamil."
"Selain hari itu, kalian sering berhubungan badan?" Tanya Rambo kembali.
Marwah menggeleng pelan. "Selama menikah, aku tak pernah bersentuhan dengannya, aku bakal histeris dan gila meski cuma pura-pura. Aku selalu tak siap, membayangkannya saja aku tak sanggup. Tapi seperti yang aku katakan, dia jarang di rumah, kalau pun pulang, cuma untuk marah-marah dan pukul aku sampai puas."
Entah ini kabar baik atau bagaimana, selama pernikahan memang Marwah belum pernah bersentuhan dengan suaminya. Namun berjuta pertanyaan hadir bercabang dalam otak cerdas Rambo ketika itu, Apa yang terjadi di malam saat Marwah diculik? benarkah diperkos4? tapi kalau diperkos4 kenapa korbannya tidak langsung dibunuh, tapi malah dinikahi? Aneh! siapa suami Marwah? preman kah? tapi masa preman cuma nafsu dengan wanita satu kali saja? apa lagi kalau sudah jadi istri, seharusnya.... itulah....
Suami Marwah memiliki daya tarik tersendiri sekarang dalam bayangan Rambo.
"Jangan takut, sudah ada aku di sini! aku pasti akan melindungi kamu dan kamu aman bersama ku. Tinggal lah di sini, jangan kembali dulu ke situ. Kalau dia kembali atau kasih kabar mau balik, kamu beritahu aku. Aku tidak akan biarkan siapa pun lagi sentuh badan kamu bahkan seujung jari. Kamu adalah milikku, sampai aku mati." Tegas Rambo diplomatis.
"Maksudnya?"
Rambo kemudian membenarkan posisi, sedikit membungkuk untuk menyamakan posisinya dengan Marwah. "Kamu mau hidup bersama ku, kan? kita bisa mulai kisah kita dari sekarang. Aku tahu memang harus sembunyi-sembunyi dulu sampai ku selesaikan semua masalah ini. Beri waktu untuk rumah tangga kita masing-masing sampai selesai, dan ku usut sampai tuntas suamimu, tentang apa yang dilakukannya malam itu. Ada banyak yang mengganjal, dan aku harus siapkan dari sekarang."
"Tapi, bagaimana kalau aku sungguh hamil? aku tidak bisa pisah dengannya, om!"
"Dengar ya, kamu jangan bodoh! sudah satu tahun lewat sejak kejadian itu, kamu lihat apakah sampai sekarang kamu sudah hamil? perut kamu besar? tidak kan?! kamu juga tidak berhubungan badan dengannya selama pernikahan, otomatis tidak akan ada pembuahan. Jadi apalagi yang harus kamu takutkan? Mau pisah sekarang pun sebenarnya bisa. Hanya saja, kamu harus tahan dulu. Suami kamu masih harus ku selidiki, dari motif, latar belakang, sampai seluruhnya. Dan semua itu bisa ku gali, asal kamu masih mau jadi jalannya." Tukas Rambo kesekian kalinya menunjukkan sisi cerdas, bak seorang intel yang ahli susun rencana dan kemampuan analisis super tinggi.
"Om--- jadi aku pun harus bertahan dulu dalam pernikahan ini?"
"Tepat," Rambo menjentikkan jemari besarnya di kening Marwah yang lebar. "Aku janji bakal usut masalah kamu sampai tuntas, dan akan ku hukum pria yang jadi suami kamu sekarang setimpal. Jangan khawatir lagi."
Demikianlah Marwah dipenuhi rasa haru yang menggebu. Semilir angin yang membawa perasaan tenang untuknya begitu Rambo menjatuhkan pelukan di tubuh kecilnya yang semakin kurus. Marwah menangis lagi untuk kedua kalinya, terisak penuh kelegaan, meski ia sadar bahwa ini adalah kesalahan besar...
"Sudah lumayan siang. Nasi gorengnya, bisa kamu siapkan jadi bekal? aku akan memakannya di kantor!" Ucap Rambo setelah melepas pelukan itu.
Marwah mengangguk semangat. "Bisa, Om."
Sebutan macam apa yang cocok? sudah benarkah langkah yang mereka ambil setelah sama-sama tahu latar belakang pernikahan masing-masing? hanya Mereka dan Tuhanlah yang menentukan. Saat ini, seperti kata Rambo; jalani sampai tuntas...
Dengan Rok cantung nya Marwah berjalan ke arah rak piring. Sementara Rambo segera ambil posisi di kursi makan untuk pasang pantofel nya.
"Ini, Om. Sudah ku masukkan dalam tas makannya, ada air minum juga di dalam, air hangat kuku karena tadi Om sudah minum susu dingin. Ada permen susu, sisa cemilan ku di bus tadi. Ku masukkan juga di dalam sana, untuk cemilan Om pagi-pagi begini."
Rambo tersenyum, begitu Marwah datang dan berdiri di hadapannya sambil bawa tas kotak makan dengan bekal super lengkap. Perhatian kecil macam ini yang dia impikan dari dulu, sederhana, rukun, saling sayang, saling perhatian. Dan itu memang hanya akan didapatkannya lewat sosok Marwah.
"Terima kasih, aku kerja dulu. Maaf buat kamu kerja yang berat. Jangan lupa istirahat kalau sudah beres-beres, jangan juga terlalu disortir harus kelar saat ini juga. Kamu punya PR berat memang, karena rumah ini jarang dibersihkan secara detail. Erin bukan ibu rumah tangga, dia cuma perduli dengan pekerjaan di kantor. Maafkan aku ya." Jawab Rambo. "Aku pulang tengah malam, karena hari ini ada jadwal patroli malam. Kalau Erin mungkin jam 7 atau 8 malam nanti sudah ada di rumah. Kamu istirahat ya nanti, biar bisa sambut aku kalau pulang... "
"Aku mengerti, Om. Waktu kamu pulang nanti, rumah ini bakal ku buat bersih total jadi kamu bisa segar setelah kerja seharian. Kamu mau dibuatkan apa nanti? Puding buah? atau susu cokelat?"
"Kopi hitam pekat... " Jawab Rambo setengah melamun.
"Jangan ya, Om. Kamu harus cukup tidur, sedangkan kopi hitam bisa buat kamu terjaga. Ku siapkan susu saja ya, puding buah juga biar lidahmu segar."
Ah, ademnya... Rambo semakin terbuai tersipu-sipu. Sematang itu sifat Marwah. Sial! berapa kali rasanya Rambo ingin mengumpati nasib, mengapa dari awal bukan Marwah istrinya, mengapa dari awal bukan dia yang jadi suami Marwah?
"Yang buat aku segar itu, cuma lihat kamu waktu pulang nanti... " Katanya.
Selang beberapa menit, Pergilah Rambo. Seperti biasa, mampir ke rumah mewah tua milik sahabat karibnya dulu, jemput Anta Reza. Kebiasaan itu tak pernah hilang, begitu terus setiap pagi...
Perjalanan inti yang dibina Rambo dan Marwah kini dimulai, dalam guratan takdir yang tak seharusnya... Mereka siap terjebak dan terjerat, menikmati cinta di waktu yang salah.