Langit yang berwarna biru cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung, seperti janji yang pernah terucap dengan penuh keyakinan, namun pada akhirnya berubah menjadi janji kosong yang tak pernah ditepati.
Awan hitam pekat seolah menyelimuti hati Arumni, membawa bayang-bayang kekecewaan dan kesedihan, ketika suaminya , Galih, ingkar pada janjinya sendiri. Namun perjalanan hidupnya yang tidak selalu terfokus pada masa lalu, dapat membawanya ke dalam hidup yang lebih baik.
Akankah Arumni menemukan sosok yang tepat sebagai pengganti Galih?
ikuti terus kisahnya! 😉😉
Mohon kesediaannya memberi dukungan dengan cara LIKE, KOMEN, VOTE, dan RATING ⭐⭐⭐⭐⭐ 🤗🤗 🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Restu Langit 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pantulan wajah Galih
Hari itu Galih pulang malam, ia mendapati Mita yang tengah kesakitan, memegangi pinggangnya sambil merintih, sesekali ia mengatur napas. Sementara seseorang yang Galih perintahkan untuk menjaganya sedang tidak berangkat karena ada suatu kepentingan.
Galih yang baru masuk rumah, seketika berlari menghampiri Mita. "Mita, kamu kenapa Mita!"
Karena panik, Galih pun segera melarikan Mita ke rumah sakit. Galih bahkan belum tahu bahwa Mita akan segera melahirkan. Keringat mengucur di dahinya ditambah suara rintih kesakitan, membuat Galih tidak tega meninggalkan Mita di ruang bersalin.
Galih memegang erat tangan Mita, mencoba memberi kekuatan dan dukungan yang Mita butuhkan. Galih dapat merasakan rasa sakit dan kelelahan di wajahnya. Galih merasa seperti berada di tengah badai, tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya.
Suara Mita terdengar lemah, namun penuh dengan kekuatan dan ketabahan. "Aku bisa... Aku bisa!" Lirihnya mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Tiga puluh menit terasa seperti selamanya, akhirnya bayi mereka pun lahir. Sebuah momen yang tak terlupakan bagi Galih, ia langsung memeluk Mita sambil menangis tergugu.
"Selamat, pak! bayi anda laki-laki." kata salah satu perawat yang bertugas.
Galih mengangguk pelan, sebuah senyuman yang dipadukan dengan isak tangis, seolah menambah kesan haru mengiringi kebahagiaan mereka.
"Terimakasih ya, mas, sudah menemani ku sampai pada detik ini?" Lirihnya sambil menyeka air mata, Mita menyadari bahwa dengan lahirnya anak Galih, maka berakhir pula hubungan mereka.
Belum sempat Galih menjawab, seorang perawat sudah memberikan sang bayi pada mereka, dan menyuruh Galih untuk segera mengadzani. Hatinya bergetar, ketika Galih melantunkan suara adzan di telinga kanan sang bayi dan iqamat di telinga kiri, dengan suara yang begitu lembut dan merdu. Tanpa terasa cairan bening pun tumpah membasahi pipi Galih, kala ia menatap pantulan wajah dirinya dalam diri sang bayi.
"Mita, dia anak ku?" Lirihnya sambil menatap wajah bayi dalam buaiannya.
Mita menganguk. "Iya, mas!" isak tangis pun kembali memenuhi ruangan itu.
Galih meletakkan bayinya dalam box bayi yang berada di samping tempat tidur Mita. Galih tak dapat menahan betapa ia sangat berterimakasih pada Mita, karena sudah melahirkan seorang bayi munggil berwajah persis dirinya. Galih memeluk Mita, namun Mita menghalangi saat Galih ingin membenamkan sebuah kecupan di keningnya.
"Jangan, mas!" ucapnya sambil mendorong wajah Galih.
Galih pun kebingungan, bahkan ia tak sadar bahwa pernikahannya dengan Mita memiliki sebuah perjanjian. Setelah melahirkan anaknya, Mita bukan lagi istri Galih. Galih pun terduduk lemas, seolah tak rela jika Mita dan anaknya akan pergi meninggalkan Galih dan semua kenangan.
**
Malam semakin larut, sejak pagi Galih belum menelpon Arumni, ia segera merogoh saku blazer yang masih ia kenakan sejak berangkat ke kantor pagi tadi. Baru saja Galih membuka ponsel ingin menelpon Arumni, tiba-tiba nama Arumni tertulis di layar ponsel dalam pangilan masuk.
"Arumni?" bisiknya sambil berjalan keluar dari ruang rawat Mita. ia segera mengeser tombol hijau demi menghubungkan pangilan.
"Arumni, baru saja aku mau menelpon, ternyata kamu sudah lebih dulu." suara Galih terdengar berdengung, tidak seperti biasanya.
"Kamu seperti habis nangis, mas? kenapa?" tanya Arumni. "Mita baik-baik saja, kan?" Entah apa yang ada dipikiran Arumni, sampai ia memikirkan Mita, seorang wanita yang sudah membuat jarak diantara mereka.
"Iya, Mita dan bayinya sehat!" kata Galih, tanpa perlu ditutup-tutupi.
Arumni membenarkan posisinya, yang tadinya rebahan kini ia duduk bersandar sambil memeluk bantal, bersiap dengan cerita yang akan Galih sampaikan. "Kamu sudah jadi bapak, mas? Selamat, ya?" ucapnya dengan napas tercekat.
Bukannya bahagia saat mendengar ucapan dari Arumni, Galih justru merasa tercabik, hatinya bagai tersayat sembilu. Sakit!
Tak ada sautan dari Galih, Arumni kembali menyambung ucapannya. "Aku boleh bicara dengan Mita, mas?" Tanya Arumni sambil menahan isak tangis.
"Iya!" Lirihnya sambil berjalan ke ruang rawat Mita.
Galih segera menyodorkan ponselnya ke arah Mita, Mita menerimanya dengan perlahan, hanya tatapan hampa, tanpa ada pembicaraan dari mereka.
"Ha- hallo!" ucapnya terbata.
Arumni harus menunggu beberapa saat agar ia dapat bicara dengan lega, hembusan napas yang tercekat pun terdengar di telinga Mita. Sebagai seorang wanita, Mita sangat paham dengan yang Arumni rasakan, namun semua sudah terlanjur, bagai abu yang tak mungkin kembali menjadi kayu.
"Kata mas Galih.. kamu sudah melahirkan? selamat, ya? Lalu, anaknya cewek atau cowok?" Arumni menahan tangis.
Berderai air mata saat Arumni mengatakan hal itu. "Mbak... kenapa, kenapa aku harus ada diantara kalian? kenapa, kenapa harus aku?"
Keduanya merasa sulit untuk mengucapkan kata, hanya isak tangis yang terdengar dari keduanya, Galih masih menatap kosong luar melalui jendela, namun telinganya tidak bisa mengabaikan suara mereka yang sedang bicara melalui ponsel.
Arumni ingin tahu, namun tak kuat jika mendengar semuanya, ia pun memutus pangilan secara tiba-tiba. Arumni duduk memeluk bantal, menangis sekencang-kencangnya dengan wajah tertutup bantal. Hingga rasa kantuk membawanya ke alam mimpi.
* *
Pagi pun tiba, sekilas semua terlihat baik seperti biasanya. Tak nampak sedikitpun dalam sikap dan tutur kata Arumni yang terlihat aneh, namun bu Susi yang mengetahui Arumni menangis semalam, mendorongnya ingin bertanya. Semalam pak Arif sudah melarang bu Susi untuk menghampiri Arumni yang sedang menangis, dan juga berpesan agar tidak perlu mempertanyakan sebabnya. namun rasa penasaran tetap saja mendorongnya untuk bertanya.
"Arumni, semalam kamu menangis? kenapa? "
Pertanyaan ibu mertuanya yang secara tiba-tiba membuatnya merasa bingung, pasalnya sejak tadi Arumni berusaha keras untuk menutupi, namun tetap saja bu Susi tahu. "Aku ngak nangis, bu." ucapnya sambil mengulas senyum.
"Tapi bapak dan ibu mendengar!"
Hening! wajahnya tertunduk lesu, lalu membereskan piring bekas sarapan dan membawanya ke dapur.
Tak ada sautan dari Arumni, membuat bu Susi ingin bertanya kembali. Bu Susi pun menyusul ke dapur, berdiri di belakang Arumni yang sedang mencuci piring. "Kamu berantem sama Galih?"
Pertanyaan mengejutkan kembali terdengar, membuat kedua bola matanya membulat sempurna. Arumni bingung harus menjawab bagaimana? ibu mertuanya masih mengetahui padahal ia berjuang keras menutupi. Ia pun hanya menggelengkan kepalanya pelan. Menyangkal pernyataan sang mertua.
Bu Susi menghentikan aktifitas cuci piring Arumni, memegang lengan Arumni lalu membalikkan tubuhnya menjadi saling berhadapan. "Ibu tidak akan memaksa mu untuk bercerita, Arumni! tapi ibu melihat dirimu sedang tidak baik-baik saja, kamu bilang tidak betah tinggal di Jakarta, padahal kamu tinggal bersama suamimu. Kamu bekerja dengan alasan bosan, padahal saat di rumah pun kamu sudah cukup sibuk. Lalu kini, ibu mendengar kamu menangis histeris semalam, dan kamu masih ingin menyangkal?"
"Aku dan mas Galih tidak ada apa-apa kok, bu! kita baik-baik saja." ucapnya meyakinkan, namun sorot matanya menyiratkan sesuatu, dan bu Susi dapat menangkap itu.
"Ibu lebih tua dari mu loh, Arumni! tidak papa jika kamu lebih memilih menyimpannya sendiri. Tapi ibu harap jangan berlarut-larut ya? perbedaan pendapat antara suami istri itu wajar banget kok, yang penting jangan hilang rasa."
Arumni mengulas senyum. "Iya, bu!"
"Ya sudah, ibu berangkat ke pasar dulu, ya?"
Selepas kepergian bu Susi ke pasar, Arumni kembali melampiaskan kekecewaan dalam hatinya, ia menutup mulutnya rapat-rapat mengunakan bantal, menangis sepuas hati tanpa ada yang tahu.
...****************...
Semoga Arumi menemukan kebahagiaan dgn pria lain.
Komandan sdh nunggu janda mu tu Arumi.
karna alasan galih sdh menikah diam diam, kan beres
malah seperti nya kau lebih berat dgn Si Mita daripada dengan Arumi