Hanya karena ingin membalas budi kepada Abram, lelaki yang telah menolongnya, Gisela memaksa menjadi istri lelaki itu meskipun ia harus mendapat perlakuan kasar dari Abram maupun mertuanya. Ia tetap bersabar.
Waktu terus berlalu, Gisela mengembuskan napas lega saat Abram mengajak tinggal di rumah berbeda dengan mertuanya. Gisela pikir kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Namun, ternyata salah. Bak keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa, Gisela justru harus tinggal seatap dengan kekasih suaminya. Yang membuat Gisela makin terluka adalah Abram yang justru tidur sekamar dengan sang kekasih, bukan dengannya.
Akankah Gisela akan tetap bertahan demi kata balas budi? Atau dia akan menyerah dan lebih memilih pergi? Apalagi ada sosok Dirga, masa lalu Gisela, yang selalu menjaga wanita itu meskipun secara diam-diam.
Simak kisahnya di sini 🤗 jangan lupa selalu dukung karya Othor Kalem Fenomenal ini 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AMM 08
"Kenapa kamu melihatku seperti itu!" bentakan Abram menggema di kamar. Lelaki itu merasa tidak nyaman karena semenjak keluar dari kamar mandi, Gisela terus saja menatapnya dengan tatapan yang penuh selidik.
Gisela yang kala itu masih memegang kemeja milik Abram pun langsung mendekati suaminya dan menunjukkan bekas lipstik yang masih terlihat di kerah karena ia sam sekali tidak menghapusnya. Hal itu sontak membuat Abram terdiam saat itu juga.
"Ini bekas lipstik siapa, Mas?" tanya Gisela begitu menuntut jawaban.
"Bukan urusanmu!" Abram merampas kemeja tersebut lalu melemparkan secara sembarang. Wajah lelaki itu tampak menahan amarah, sedangkan Gisela hanya bisa menghela napas panjang. Ia berusaha menguatkan hatinya karena ia yakin setelah ini semaunya tidak akan baik-baik saja.
"Mas, seharusnya aku yang marah di sini bukan kamu." Dengan segala keberanian yang masih tersisa. Gisela berusaha untuk berani melawan Abram karena tidak ingin ada kesalahpahaman.
Mendengar ucapan Gisela tersebut, sudut bibir Abram pun tersenyum sinis. Menatap mengejek ke arah wanita yang sudah resmi sebagai istrinya. Meskipun waktu terus berlalu, tetapi Abram sama sekali belum bisa membuka hati untuk Gisela.
"Mas, aku ingin berbicara padamu dan aku ingin kamu tidak menggunakan emosi," kata Gisela.
"Berani sekali kamu memerintah!" Abram hendak kembali marah, tetapi melihat sorot mata sang istri membuat lelaki itu hanya bisa mendes*hkan napas ke udara secara kasar. "Katakan!"
"Mas, aku tahu kamu sebenarnya tidak menginginkan pernikahan ini."
"Memang! Kalau bukan karena ayahmu yang bersimpuh di depanku saja, aku tidak akan sudi!" Abram memotong ucapan istrinya.
"Aku belum selesai bicara, Mas. Aku mohon hargai aku sedikit saja." Tatapan Gisela masih sangat memelas. Abram merasa benci, tetapi ia pun berusaha untuk mendengarkan.
"Mas aku tahu kamu terpaksa, tapi apakah kamu tidak ingin belajar mencintaiku? Tidak belajar membuka hatimu untukku sedikit saja? Seperti aku yang menaruh perasaan padamu sejak saat itu. Lima tahun lalu." Gisela menghela napas panjang saat teringat pertemuannya dengan Abram meskipun hanya sekali.
"Lima tahun lalu? Aku tidak mengingat kapan kita bertemu. Bahkan, aku sepertinya belum pernah bertemu kamu sekalipun." Kening Abram mengerut dalam. Ia berusaha mengingat, tetapi sepertinya ingatan lelaki itu sedang buruk. Sama sekali tidak bisa mengingatnya.
"Kamu pasti tidak akan ingat, Mas. Tapi aku masih sangat ingat bahkan tidak bisa melupakan wajahmu sama sekali."
"Katakan yang jelas, jangan terlalu banyak basa-basi!" Abram mulai tidak sabar. Ia merasa kesal pada dirinya sendiri karena sama sekali tidak bisa mengingat kejadian itu.
"Aku saat itu hampir diperkosa, wajahku sudah babak belur karena dipukuli saat aku melawan. Apa kamu masih ingat kejadian di gang sempit dekat jembatan merah?" Gisela masih berusaha membuat Abram mengingat kejadian itu. Namun, Abram sama sekali tidak menjawab dan hanya diam.
"Kamu datang menolongku, mengusir orang jahat itu. Meskipun aku hanya menatapmu sekilas, tapi aku bisa mengingat wajahmu dengan baik. Kamu menyuruh anak buah agar membawaku ke klinik, dan dari situ aku bisa mengetahui namamu saat mereka menyebut nama Tuan Abram," ungkap Gisela. Raut wajah Abram mendadak susah dijelaskan. Antara terkejut dan tidak percaya. Bahkan, tatapan Abram begitu lekat ke arah Gisela, tetapi ia sama sekali tidak bisa mengingat kejadian itu.
"Lalu katakan padaku kenapa kamu memintaku menikahimu?" tanya Abram menuntut jawaban.
"Karena aku ingin balas budi. Aku ingin berbakti kepadamu sebagai tanda terima kasih kamu sudah menolongku dulu."
"Aku tidak butuh terima kasih dengan cara seperti ini. Aku tidak membutuhkan balasan apa pun." Abram mulai terlihat kesal karena menganggap apa yang dilakukan oleh Gisela adalah hal yang sangat bodoh.
"Tapi hanya itu yang bisa aku lakukan. Aku siap menerima apa pun, asal hatiku merasa tenang karena tidak memiliki hutang," tutur Gisela lembut. Namun, Abram justru berdecih.
"Ingat, aku tidak butuh balasan apa pun atas apa yang pernah aku lakukan dulu. Kamu tahu, dengan cara seperti ini justru membuatku muak kepadamu dan ini sangat membebaniku. Apalagi saat Pak Hendarto terus memohon padaku."
"Maafkan aku, Mas. Aku yang sudah menyuruh Papa agar terus merayumu."
"Sudahlah. Anggap saja hutang itu sudah lunas dan aku akan men—"
"Jangan, Mas. Aku mohon." Gisela bersimpuh di kaki Abram hingga membuat lelaki itu menutup rapat mulutnya. Sorot mata Abram pun tampak penuh kebingungan.
"Aku mohon, jangan ceraikan aku. Aku akan menerima apa pun perlakuan kamu asal jangan sampai kita berpisah. Aku tidak ingin keluargaku menanggung malu, Mas. Perceraian itu seperti sebuah aib." Gisela begitu memohon. Kedua tangannya sudah tertangkup di depan dada dan bola matanya tampak basah.
"Aku tidak peduli. Memangnya kamu menerima apa pun yang akan aku lakukan?" Abram menatap Gisela sangat lekat. Dengan cepat Gisela mengangguk mengiyakan.
"Kalau begitu bersiaplah. Satu minggu lagi kita akan pindah. Aku tidak ingin kita tinggal di sini," kata Abram.
Gisela mengangkat kepala dan menatap Abram tidak percaya. Mungkinkah lelaki itu akan membuka lembaran baru. Hidup hanya berdua. Hati Gisela merasa senang karena akan jauh dari Farah dan ia akan lebih bebas. Bahkan, jika mereka sudah memiliki rumah sendiri, Gisela akan berusaha melakukan apa pun yang terbaik untuk Abram.
"Maksudnya kita akan berumah tangga mandiri, Mas?" tanya Gisela memastikan kesimpulannya itu benar.
"Jangan bertanya hal yang kamu sendiri sudah tahu jawabannya." Abram mulai terlihat ketus.
"Baik, Mas. Terima kasih banyak kalau akhirnya kamu bersedia memulai semua dari awal. Terima kasih juga sudah menerimaku dan aku yakin kamu perlahan bisa mencintaiku," kata Gisela penuh percaya diri. Namun, seringai justru terlihat dari sudut bibir Abram hingga membuat perasaan Gisela mendadak tidak nyaman.
"Jangan senang dulu. Nanti di rumah itu kita akan tinggal bertiga." Abram berbicara sangat tenang, sedangkan Gisela sudah mengerutkan keningnya dalam.
"Be-bertiga? Dengan siapa?"
"Kekasihku." Abram menjawab santai tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.
"Mas, jangan bercanda!" Gisela mulai naik darah, tetapi ia berusaha agar bisa meredam emosinya.
"Asal kamu tahu, aku sudah menjalin hubungan kekasih selama empat tahun dan karena keinginan bodohmu ini, kami harus menjalani hubungan diam-diam karena aku tidak ingin kekasihku dicap sebagai pelakor. Kalau kamu mau, maka kita akan tinggal bertiga, kalau tidak mau maka aku akan men—"
"Baiklah. Aku mau, Mas!" Gisela menjawab cepat.
"Kamu yakin?"
Gisela mengangguk cepat. Abram pun hanya bisa tersenyum licik.
"Kalau begitu lebih baik sekarang tidur saja. Kalau kita sudah tinggal bersama, kuharap kamu tidak membuat ulah dengan kekasihku. Termasuk saat aku sedang bercinta dengannya."
Abram merebahkan tubuhnya secara kasar di atas ranjang, sedangkan Gisela berdiri terpaku di tempatnya. Masih berusaha mencerna semua itu. Setelah cukup lama hanya diam, Gisela pun beranjak naik ke atas ranjang dan tidur di samping Abram.
Ia sangat berharap semoga esok ketika tinggal bertiga, hal itu tidak akan menjadi mimpi buruk untuknya.
😜😜😜
Yaelah, Gisela bodohnya 😆
Pengen aku rem*s 😜😜